Selasa, 18 Desember 2007

BUKAN!!!!


BUKAN. Itu kata yang terbersit di pikiran ketika hendak memulai tulisan ini. Heran juga mengapa kata itu yang muncul. Kata 'bukan' tentu berbeda makna dengan 'tidak'. Bukan sering diikuti kata benda, sedang kata 'tidak' dirangkai dengan kata kerja. Semisal kalimat: Saya bukan pencuri. Kalau menggunakan kata 'tidak' berubah menjadi: Saya tidak mencuri.
Mungkin alam bawah sadar saya tengah mengolah sebuah bentuk perlawanan. Kata 'bukan' memang bisa bermakna melawan atau menggugat. "Bukan ini keinginan saya." Apa arti kalimat itu? Sang pembicara ingin melawan sesuatu yang tidak ia inginkan.

Apa sih yang sebernanya saat ini ingin saya lawan? Bingung juga menjawabnya. Pikiran melayang ke peristiwa yang terjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu, Nusakambangan, Cilacap, Sabtu (8/12/2007) lalu. Terpidana mati kasus bom Bali I Imam Samudra mendadak mengamuk ketika ada seorang wartawan Australia mengambil gambar ibunya, Ny Embay Badriah.
Sang ibu bersama keluarga besar Imam Samudra tengah berkunjung ke Nusakambangan. Saling melepas rindu. kebahagiaan langka Imam Samudra terusik oleh langkah standar (dalam dunia jurnalistik) sang reporter asing. "Saya tak suka ibu dan keluarga saya yang perempuan diambil gambarnya," ujar Imam.
Pria asal serang itu melawan. Melawan standar jurnalistik. Sah saja, toh Imam Samudra dan keluaganya punya hak untuk melindungi privacy-nya. Bagi Imam, ibu dan keluarganya yang perempuan bukan objek pengambilan gambar untuk pemberitaan.
Abdul Azis, nama asli Imam Samudra, mengaku melakukan teror bom di Bali untuk melawan 'setan besar' . "Mereka (sang musuh) bukan kita," begitu kira-kira jalan pikiran Imam Samudra Cs. Mantan mujahid di Afghanistan itu merasa gerah melihat kondisi sekelilingnya. Bukan kayak begini kehidupan yang benar menurut keyakinan Imam Samudra.
Bisa jadi saya tengah punya perasaan seperti Imam. Lagi gerah melihat kondisi sekeliling. Kalau tak pandai mengelola, bisa berubah jadi 'teroris'. bagi orang lain. Teroris menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mengubah situasi. Blarrrrr!!! Bom itu meledak. Semua hancur lebur... Sayang tak ada perubahan seperti yang diinginkan.

Panggilan Jiwa dan Sakit Jiwa



Gila!!! Sudah dua bulan blog ini tidak saya up-date. Otak lagi puyeng, kerjaan bejibun. Baru teringat ngisi blog ketika ngobrol santai dengan Hasan Aspahani, Pemimpin Redaksi Pos Metro Batam yang juga seorang penyair. "Saya baca blognya lho mas. Bagus juga," ujar Hasan dalam obrolan santai di Hotel Goodway, Batam, Selasa (18/12/2007). Di hotel itu tengah dihelat pelantikan pengurus Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Cabang Kepulauan Riau sekaligus lokakarya mengenai manejemen pers. Kebetulan awak 'dipajang' jadi Wakil Ketua SPS Cabang Kepulaun Riau.
CEPLAS-ceplos memang gaya khas Dahlan Iskan, bos Jawa Pos Grup. Kalau bicara seolah tak ada beban. "Saya tak punya misi apa-apa. Saya menulis buku ini hanya kegatalan tangan seorang wartawan," ujar pria kelahiran Magetan, Jawa Timur, itu ketika tampil dalam bedah buku Ganti Hati, di Hotel Goodway, Batam, Selasa (18/12).
Baginya, menulis merupakan sebuah kredo yang tak bisa ditawar. Boleh dikata, kalau tak lagi mau menulis, sudah bukan wartawan namanya. Meminjam term di militer, soldier never die, boleh jadi wartawan juga bisa menggunakan istilah journalist never die.
Kalimat itu bisa bermakna ganda. Bisa ditafsirkan seorang wartawan tidak pernah bisa berhenti menulis sampai ajal menjemput. Bisa juga bermakna profesi wartawan akan selalu ada, now and forever. Apa yang membuatnya tak bisa behenti? Panggilan jiwa. Konon jiwa berbeda dengan ruh. Jiwa bisa sakit, buktinya ada istilah sakit jiwa. Jiwa bisa pula lepas dari badan wadag. Buktinya ada kalimat di koran berbunyi, "Bom Bali I Membawa 202 Korban Jiwa."
Jiwa memberi makna bagi manusia. Kalau hanya punya raga dan ruh tetapi jiwanya sakit, tidak sempurnalah hidupnya. Otak-atik gathuk, profesi wartawan baru punya makna ketika sang empunya sebutan menghasilkan karya berupa tulisan. Tapi saya tak menyebut wartawan yang tak lagi mau menulis sebagai orang sakit jiwa. Lebih tepatnya ganti profesi.
Pengalaman Dahlan Iskan menjalani operasi transplantasi lever (hati) di Tianjin, Cina, tak bermakna apa-apa kalau tak dipublikasikan kepada khalayak. Mungkin tak jadi 'heboh' kalau saja Dahlan bukan lah siapa-siapa. Kebetulan ia seorang wartawan dan bos sebuah perusahaan media. Ada panggilan jiwa plus punya sarana. Klop jadinya.
Bos Kelompok Kompas Gramedia, Jakob Oetama, juga banyak meluncurkan buku. Tentu tentang pers dan media. PK Ojong, pendiri Kompas, begitu pula. Tak heran Ketua PWI Kepri yang juga Pemimpin Umum Batam Pos, Socrates, pernah bercuap-cuap di acara buka puasa PWI Kepri mengenai tulis menulis buku. "Baru disebut wartawan senior kalau sudah menulis buku. Kalau tidak, ia hanya seorang wartawan tua," kira-kira begitu kalimat yang dilontarkan Socrates.
Ia tengah ancang-ancang meluncurkan dua buku mengenai pers/jurnalistik. "Saya mengumpulkan bahan buku itu selama 10 tahun," katanya. Waktu yang cukup panjang. late more better than nothing. Soal jadi best seller atau tidak, rasanya tidak terlalu penting.
Hasan Aspahani juga telah meluncurkan sebuah buku mengenai kiat membuat puisi. "Ini lho mas buku saya," ujarnya sambil menunjukkan buku ukuran handy bersampul putih. Mungkin kawan-kawan saya itu tak ingin disebut kehilangan jiwa wartawan. Lho, lha saya sendiri gimana? Yang jelas belum sakit jiwa... Ngaco ah, wuakakakakakakakakakaka!!!!!

Keterangan foto:

DILANTIK - Ketua harian SPS Ridlo Eisy menyerahkan pataka kepada Marganas Nainggolan, Ketua SPS Cabang Kepulauan Riau, dalam acara pelantikan di Hotel Goodway, Batam, Selasa (18/12). FOTO: IMAN SURYANTO

Senin, 08 Oktober 2007

BAHASA INDONESIA BISA JADI BAHASA INTERNASIONAL?


LAHIR di Surabaya, 15 April 1966. Wanita ini seorang pengajar di SMA Negeri 1 Waru, Sidoarjo, Jawa Timur. Mata pelajaran yang diberikan perempuan bernama Sri Ati Soeharningsih tersebut adalah Bahasa dan Sastra Indonesia.
Tak terasa sudah 16 tahun, perempuan itu menjadi pendamping hidupku dan memberi empat buah hati, semuanya perempuan. Ada Shefi, Sherly, Shena, dan si bungsu Sandra.
Kini ia tengah melanjutkan studi di strata dua (S2). Bu Sri tengah tekun mempelajari marketing, sebuah ilmu yang sangat menarik karena berhubungan dengan kiat menarik hati konsumen. Selintas ilmu baru yang tengah dipelajarinya tidak ada kaitan dengan posisi sebagai pengajar Bahasa Indonesia. Bernarkah? Jawabannya, tentu saja tidak.
Bahasa Indonesia perlu juga 'dipasarkan' biar tak kalah dengan Bahasa Inggris, kalau perlu menjadi bahasa pengantar di dunia internasional.
Kadang memprihatinkan melihat berbagai bangunan megah sebagai simbol kaum urban diberi nama dengan Bahasa Inggris. Anak-anak di metropolis lebih merasa wahh ketika ngobrol dengan Bahasa Inggris meski hanya sepotong-sepotong dan nggak jelas konteksnya.
Masih mending para santri di Ponpes Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, yang wajib menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar selain Bahasa Arab. Para pengajar di ponpes tersebut jelas nawaitu-nya, yaitu ingin para santri menguasai Bahasa Inggris dan Bahasa Arab, bukan sekadar supaya kelihatan wahh.
Perlu marketing canggih untuk menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam forum-forum internasional. Anggap saja masyarakat internasional merupakan para costumer yang perlu diedukasi agar di benak mereka munculpersepsi positif bahwa Bahasa Indonesia yang merupakan rumpun Bahasa Melayu, memenuhi syarat sebagai bahasa internasional.
Bahasa Inggris diakui sebagai bahasa internasional karena negara tersebut pernah menguasai (menjajah) dua per tiga wilayah di Planet Bumi ini. Bahasa Mandarin juga diakui sebagai bahasa internasional karena dipakai di negeri yang paling banyak jumlah penduduknya.
Bahasa Indonesia sebenarnya memenuhi syarat sebagai bahasa internasional karena dipahami oleh warga di negara yang jumlah penduduknya terbanyak nomor empat di seluruh dunia. Selain itu, warga Singapura dan Malaysia juga paham Bahasa Indonesia (Melayu). Tinggal bagaimana memasarkan dan mempromosikan dengan tepat barang bernama Bahasa Indoensia. Sebuah tantangan menarik, bukan??

NYANYIAN SI BUNGSU


PANGGILAN sayangnya Chila. Di rumah, bocah bernama lengkap Sandra Akhira Meisya Lova, kelahiran Surabaya 30 Mei 2002, itu sering dipanggil Adik. Maklum, ia anak paling kecil alias bontot dari empat bersaudara.
Hobinya menyanyi, meski lafalnya masih pelat alias cedhal. Lagu-lagu yang lagi favorit semacam Ketahuan (Matta Band), Slow Down Baby (She), Bersama Bintang (Drive), dan Sebelum Cahaya (Letto), hafal di luar kepala.
Suara Chila serak, maklum pita suaranya terganggu akibat pembengkaan. Kerongkongannya pernah difoto menggunakan kamera yang dimasukkan lewat mulut.
"Hebat, anak ini masih usia lima tahun tapi kami tak kesulitan mengambil gambar pita suaranya. Kemarin ada pasien anak usia 8 tahun gagal di potret pita suaranya karena terus menangis," ujar seorang dokter spesialis THT di Rumah Sakit Husada, Surabaya,
Sebenarnya Chila belum boleh terlalu banyak mengeluarkan suara, termasuk menyanyi. Namun, dasar anak-anak dan hobi tarik suara, begitu mendengar lagu dari televisi, ia langsung saja ia ikut menyanyi. Kasihan juga melihatnya. "Kapan aku boleh ikut les vokal lagi di Tom's Music," ujar Chila kepada sang Mama. Maklum, sejak diperiksa pakar THT Prof Dr dr Wiyadi SpT, Chila terpaksa absen dari sekolah vokal di Tom's Music, Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo.
FOTO: Chila (kanan) bersama sang kakak sulung Shefi.

Rabu, 03 Oktober 2007

PERASAAN SANG JURI


JADI juri memang gampang-gampang susah. Apalagi kalau peserta yang dinilai ada kawan sendiri. Kalau memenangkan dikira curang, kalau mengalahkan tak enak pada sang kawan.
Begitu saya alami ketika menjadi juri festival band se-Kepri pada 2006 lalu dan juri lomba penulisan kategori pelajar, mahasiswa/umum, dan wartawan, mengenai kelistrikan pada Oktober 2007.
Pada saat festival band, ada dua peserta yang para pemainnya personel Tribun Batam. Begitu pula dalam lomba penulisan, setidaknya ada tiga wartawan Tribun Batam yang ikut. Meski dalam lembar tulisan tidak tercantum nama, tapi saya tahu persis mana tulisan kawan-kawan Tribun dan wartawan media lainnya.
Dua grup band Tribun Batam dengan sangat terpaksa saya beri nilai jelek karena main tidak kompak dan vokalisnya menyanyi seperti orang kehabisan suara. Ampun deh, ikut malu rasanya melihat penampilan mereka. "Mas ini grup band dari Tribun ya," tanya juri lain di samping saya. Saya pura-pura tak mendegar pertanyaan itu untuk menutup malu.
Begitu pula ketika menilai tulisan seorang wartawan peserta lomba menulis. Ada tiga paragraf dalam tulisan itu yang mengadopsi mentah-mentah tulisan yang pernah saya buat. Dengan sangat terpaksa saya beri nilai tipis kepada sang penulis.
Juri penulisan tidak hanya saya tetapi juga Warief Djajanto Basorie (staf pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta) dan Chandra Ibrahim (Pemimpin Redaksi Batam Pos). Begitu nilai terkumpul dan dijumlahkan, juara pertama diraih Indrawan, bekas Redaktur Tribun Batam yang hengkang ke Batam News (Jawa Pos Grup), juara II M Iqbal (Batam Pos), dan Juara III Trisno Aji Putra (Tribun Batam).
"Saya sebenarnya menjagokan tulisan Trisno Aji Putra. Dalam tulisannya dia mengupas kehidupan rakyat kecil di Bintan yang memenuhi kebutuhan listrik tanpa tergantung kepada PLN. Sosok ibu yang ada di tulisan itu kan memasang sendiri pembangkit listrik tenaga matahari," ujar Warief kepada saya usai mengumumkan hasil penjurian di Hotel Planet Holiday, Batam, Rabu (3/10).
Saya sendiri sebenarnya mau memberi nilai tinggi pada tulisan Aji --wartawan Tribun di Tanjungpinang (Bintan)-- tapi nggak enak hati karena isinya agak menyimpang sedikit dari tema. Orisinilitasnya tinggi, tulisannya mengalir, dan bisa memberi pencerahan kepada orang lain untuk tak dihinggapi ketegantungan pada pihak lain.
Sayang lokasi dan subyek tulisan berada di Bintan, sebuah kawasan yang berada di luar jangkauan pelayanan PT Pelayanan Listrik Basional (PLN) Batam. Andai saja Aji sedikit mengaitkan tulisannya dengan rencana pembangunan proyek interkoneksi Batam-Bintan, sangat mungkin dia jadi juara I.
Warief berniat memberi catatan terhadap para peserta lomba itu, terutama para wartawan. Mengapa? "Saya lihat kehidupan pers di Batam berbeda dengan daerah lain. Batam ini kan bukan ibukota provinsi, tapi ada banyak media massa cetak dan elektronik di sini. Di Jawa saja hanya sedikit kota yang bukan ibukota provinsi punya media massa beragam," ujarnya.
Memang, ibukota Provinsi Kepri bukan di Batam melainkan Tanjungpinang. Namun, di Tanjungpinang justru tidak ada media massa yang terbit di kota itu. Semua media massa di Kepri berkantor pusat dan diterbitkan di Batam.
Masih mending Provinsi Kaltim. Ibukota provinsi itu di Samarinda tapi orang lebih mengenal Kota Balikpapan. Hanya satu koran yang terbit di Samarinda, yaitu Samarinda Pos, sedangkan dua koran besar, Tribun Kaltim dan Kaltim Pos, terbit di Balikpapan.
Ya, Batam dan Balikpapan punya kesamaan. Sama-sama punya bandara internasional, kesamaan jumlah penduduk (sekitar 600 ribu-750 ribu jiwa), sama-sama jadi pusat bisnis di wilayah provinsi bersangkutan, dan sama-sama menjadi tempat tinggal orang asing. Samarinda hanya punya bandara kecil, begitu pula Tanjungpinang.
Bedanya, Balikpapan termasuk wilayah yang terkena krisis listrik, sedangkan Batam tidak lah yauww... Kalau tulisan Trisno Aji Putra dibaca warga Balikpapan, setidaknya dapat memberi inspirasi bagi warganya untuk mencari pasokan listrik alternatif, tidak hanya tergantung pada PLN. Bukan mustahil penjualan solar cell meningkat tajam... Listik memang sering jadi masalah, dan PLN selalu dibenci sekaligus dicari!!!!
==========================================================
FOTO: Warief Djajanto Basoerie (Ketua Dewan Juri) ketika mengumumkan para pemenang lomban penulisan, di Hotel Planet Holiday, Batam, Rabu (3/10). Hasil jepretan IMAN SURYANTO

Selasa, 02 Oktober 2007

SYAHWAT SANG POLITISI





"BOS, tolong buka pintu, kami petugas dari Poltabes Barelang. Kami minta kerja samanya, kalau bos tidak mau malu." Teriakan itu dilontarkan Kepala Unit (Kanit) IV Satuan Intelijen dan Keamanan Poltabes Barelang, AKP Maryon di depan kamar 204 Hotel Holiday, Nagoya, Batam, Senin (1/10).

Sudah sekitar 30 menit anak buah Maryon menggedor-gedor pintu kamar hotel itu. Tak ada reaksi sedikitpun dari sang penghuni kamar. Jarum jam menunjuk pukul 23.30 WIB. "Kalau tidak mau buka, kita tunggui terus di sini sampai dia keluar. Kalau perlu kita makan sahur di sini," ujar Maryon kepada anak buahnya yang berjumlah empat orang.

Apa sih yang terjadi? Rupanya para polisi itu tengah memburu seorang anggota DPRD Kabupaten Lingga bernama M Sadri (62) yang tengah menginap di hotel itu. Lalu apa kesalahannya? Ada SMS masuk ke HP polisi menyebut Sadri berselingkuh dengan istri Hasan bernama Zakavira alias Yanti (40). Ahhhhh kasus perkelaminan yang biasa menimpa para politisi kita akhir-akhir ini, di antaranya Yahya Zaini (anggota FPG DPR) hingga Bustamam (anggota DPRD Lima Puluh Kota, Sumbar).

Gedoran pintu petugas polisi membangunkan para penghuni Hotel Holiday lainnya. Dengan mimik ketakutan mereka memandang ke arah kamar itu. Kunci duplikat hotel tak bisa dipakai polisi karena pintu kamar digrendel dari dalam. "Percuma pakai kunci duplikat, soalnya digrendel dari dalam," ujar polisi bersungut-sungut.

Penantian polisi akhirnya berbuah. Sadri membuka pintu. "Ada apa," tanyanya kalem. "Kami dari Poltabes Barelang, ingin memeriksa kamar ini," jawab AKP Maryon. "Silakan, nggak ada apa-apa di sini," jawab pria yang kelihatan sudah mulai uzur itu. "Hidupkan lampunya! Mana saklar untuk menghidupkan lampu," teriak Maryon.

Lampu di kamar itu memang dimatikan. Begitu lampu menyala, polisi dan wartawan langsung menyerbu masuk. Clap..clap..clap!!! Kilatan lampu kamera langsung mengenai wajah Sadri dan Yanti. Sadri mengenakan piyama duduk di kursi, sedangkan sang perempuan memakai kaus merah dan celana putih selutut. Rambutnya basah.

"Ibu siapa? Apa hubungan Ibu dengan Bapak ini. Ibu kan sudah punya suami," berondong polisi. "Saya janda. Kami sudah lama kenal, dan sebentar lagi mau menikah," jawab Yanti yang malam itu tidak mengenakan bra. "Ibu kan istrinya Hasan," tanya polisi lagi. "Saya tidak kenal Hasan. Saya janda. Siapa yang bilang saya istri Hasan," kilahnya.

Hotel berbintang

Polisi tak mau banyak debat di kamar sempit itu. "Udah begini saja, Bapak dan Ibu segera ganti pakaian. Kami mau bawa Anda sekalian ke Poltabes," potong Maryon. Sambil menuju ke kamar mandi, Sadri menenteng celana dalam warna putih. Ia berganti baju batik dan celana kain. Berikutnya Yanti masuk kamar mandi untuk memakai bra yang sebelumnya tergeletak di kursi. Perempuan berkulit putih dan berhidung mancung itu tetap mengenakan kaus merah dan celana putihnya

Drama perselingkuhan itu berakhir di Poltabes Barelang. Ironis. Syahwat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari manusia berubah menjadi bencana. Esok harinya, adegan di kamar hotel itu terpampang jelas di surat kabar. "Mengapa anggota DPRD itu menginap di hotel melati? Mengapa ia tidak menginap di hotel berbintang, kan pasti lebih aman," ujar seorang general manajer sebuah hotel bintang empat di Batam ketika bertemu saya dalam acara buka puasa.

Ia mengakui hotel-hotel berbintang di Batam sering dipakai para politisi untuk berselingkuh. "Saya tutup mata saja. Etika kami memang melindungi privacy para tamu. Yang penting mereka tak bikin ribut dan menggangu ketenangan tamu lain," ujar sang GM (general manajer). Saya cuma tersenyum mendengarnya. Masuk akal. Demi kepentingan bisnis, moralitas sang GM terpaksa harus disimpan dalam-dalam.

"Mari lho Mas Febby, hidangan buka puasanya dinikmati. Adzan maghrib sudah terdengar, batalkan puasanya," ujar sang GM membuyarkan lamunan saya. Saya segera mengambil sepotong buah apel di meja hidangan, padahal saya tak puasa. Buah apel ranum dan manis rasanya. Mungkin begitu lah yang dirasakan Sadri ketika berada dalam satu kamar dengan Yanti di Hotel Holiday. Siapa takut!!!! (febby mahendra)

Keterangan foto: Sadri dan Yanti sibuk bebenah ketika hendak dibawa ke Poltabes Barelang (gambar atas). Yanti diinterogasi AKP Maryon (kanan) dan seorang anak buahnya. Ogut yang pakai topi loreng ikut ngelihat. Mungkin dikira anggota polisi juga (gambar bawah)

RAYAKAN HUT DINI HARI



BYURRR!!! Mendadak sontak hujan ditumpahkan dari langit ketika rombongan Tribun Batam tengah menuju Pondok Pesantren dan Tempat Pendidikan Alquran (TPA) Az-Zainiyah, Tanjungriau, Selasa (2/10).
Jarum jam menunjukkan pukul 01.30 WIB. Saking derasnya, mobil Suzuki APV hitam yang membawa rombongan, tak bisa melaju kencang. Kecepatan wiper di mobil sudah pada level paling tinggi, tapi tak mampu membuat kaca menjadi lebih terang untuk melihat jalan aspal di depan.
Dini hari itu rombongan Tribun tidak sendiri. Rombongan Direksi dan Manajemen PT Pelayanan Listrik Nasional (PLN) Batam ikut serta menuju ke Bukit Bahagia tersebut untuk menggelar Sahur Bersama. Tak seperti sahur bersama sebelumnya, kali ini punya nawaitu (maksud) khusus yaitu mensyukuri HUT ke-7 PT PLN Batam yang jatuh pada 3 Oktober.
Di tengah hujan, untuk menuju Pondok Pesantren Az-Zainiyah bukan perkara mudah. Dari jalan beraspal, lokasi itu dihubungkan jalan tanah yang menanjak. Di sana-sini tampak rekahan tanah akibat tergerus air hujan. Kalau tak hati-hati bisa terperosok
Plang..plang...plang..plang...prok...prok!!! Kami terkejut mendengar bunyi rebana ditabuh bertalu-talu. Rupanya para santri menyuguhkan musik komplang untuk menyambut rombongan. Ya semacam musik selamat datang. Bunyi rebana bersaing dengan guyuran hujan.
Direktur Utama PT PLN Batam Ir Ifriandi Msc bersama istri terpaksa dipayungi supaya tidak basah kuyup ketika keluar dari mobil menuju masjid yang dipakai sebagai lokasi sahur bersama. Dua santri memainkan pencak silat di depan pintu masjid. Asyik juga nonton pencak silat di tengah hujan deras dini hari yang dingin.
"Terima kasih kepada Tribun yang telah memberi inspirasi kepada PLN untuk menggelar sahur bersama di tempat ini. Inilah sahur bersama pertama PT PLN Batam. Kalau buka puasa bersama sudah sering," ujar Ifriandi dalam sambutannya.
Syukur, rangkaian acara berjalan lancar dan hangat, meski hujan baru berhenti menjelang salat subuh. Alhasil saya baru sampai di rumah sekitar pukul 06.00. Hari sudah terang tanah, tapi mata kami sudah tidak bisa diajak kompromi. Maunya segera terpejam di peraduan.
Beberapa hari sebelumnya, Tribun memang menawarkan kerja sama kepada PT PLN Batam untuk menjadi bagian dari Sahur Adventure. Gayung bersambut. PT PLN Batam tertarik menggelar sahur bersama untuk merayakan HUT ke-7. Jadilah Tribun sebagai media partner dan event organizer acara itu.
Ada dua manfaat yang dapat dipetik. Tribun tak perlu keluar uang untuk memperluas cakupam brand image. Manfaat kedua, Tribun dapat pemasukan karena PT PLN memasang foto-foto acara itu sebagai advertorial. Istilah gampangnya masang iklan foto-foto. Yah, sambil menyelam minum air... (febby mahendra)

Minggu, 30 September 2007

YANG PENTING NGGAYA, MAN!!!

WOOWW!!! Keren.... Ya begini akibatnya kalau nggak kesampaian jadi tentara beneran. Jadi tentara icak-icak (pura-pura, bahasa Melayu) tak jadi soal, yang penting bisa bergaya dan main perang-perangan. Kalau perang beneran sih entar dulu Booooo... Soal gaya, tak mau kalah dengan para Gringo (tentara AS) di Irak atau Afghanistan. (Ogut nomor enam dari kiri. Lokasi: Air Soft Gun Delta Force, Pelita, Batam) FOTO: BOJONE IMAN SURYANTO

KENA TEMBAK.... NGAKU NGGAK YA?


AWAS!!!! Musuh membidik dari sisi kanan. Bubarkan konsentrasinya dengan rentetan tembakan. "Tarr!!!" Sebuah 'peluru' tepat mengarah kepala. "Mati aku!!

Ketika meraba kepala sebelah kanan, ada benjolan. Rupanya peluru plastik yang dilepaskan 'musuh' tepat menyasar jidat kanan saya. Alamakkkkk terasa perih sedikit.

Kok bisa kena ya, padahal saya membawa senjata laras panjang jenis AK-47 lengkap dengan dua (double) magazin. Berondongan peluru ke arah 'musuh' rupanya meleset. Ketika melepaskan tembakan saya keluar dari tempat perlindungan. Dengan mudah sang musuh membidik. Ruang tembak terbuka lebar. "Sorry ya Pak. Sakit ya," kata sang 'musuh' sambil tersenyum.

Sore itu kami tengah menggelar permainan air shoot gun di Delta Force, sebuah lokasi di kawasan Pelita, Batam. Sekadar buat refreshing sekalian cari keringat. Empat lawan empat. Iwan, pemilik Delta Foce, jadi lawan main kami. 'Perang' dilakukan di out door base lantai III. Ada ajang 'perang' in door di lantai II. Lebih seru di out door, tempatnya lebih lapang. Kayak perang kota beneran.

Dari empat kali permainan, saya selalu tertembak. Selain kena di jidat, juga kaki dan pantat. Berbeda dengan permainan pin ball yang menggunakan tinta, air soft gun tak menggunakan penanda apapun. Jadi kalau tidak jujur, bisa saja pemain meneruskan pertempuran meskipun tubuhnya 'tertembus peluru'. Sedangkan di pin ball, permain yang kena tembakan langsung ketahuan karena ada tinta melekat di pakaian.

Permainan air soft gun melibatkan juri yang mengawasi jalannya 'perang', terutama siapa yang terkena tembakan. Tapi mata juri kan tidak bisa mengawasi semua pemain. Saya sempat beberapa kali tak mengaku meski terkena tembakan. "Ah yang kena kan cuma tangan. Kalau perang beneran, tangan kena peluru kan tidak mati," ujar saya dalam hati.

Perbedaan lain dari pin ball, senjata yang dipakai di air soft gun, plekkk sama persis dengan senjata aslinya. Ukuran, berat, dan bentuknya sama persis dengan senapan beneran. Dengan seragam loreng, rompi dan kedok pengaman, kaus tangan, shebo, serta helm, sudah seperti pasukan antiteror. Pada saat main, saya tidak pakai helm, maksudnya biar tak bertambah berat. Alhasil, jidat saya benjol kena peluru plastik.

Mario, Manajer Studio 21 Batam, lawan main saya, satu-satunya player yang tak pernah kena tembakan. Tubuhnya yang tambun ternyata tak mudah dibidik. Ia membawa M-16 dengan magazin jumbo. Tembakannya lumayan. Kepala saya benjol ya akibat tembakan dia.

Kian banyak peminat air soft gun. Tak heran ketika Tribun Batam menggelar lomba air soft gun pada akhir Agustus 2007, pesertanya lumayan banyak. Lomba dibuka Ketua KONI Kepri yang juga Ketua DPRD Kepri, Nur Syafriadi. Usai pembukaan sebenarnya ada 'perang' klas VIP. Sayang, Nur Syafriadi buru-buru karena ditunggu rapat Partai Golkar, sedang saya sendiri lagi tak sehat.

Trettttt!!!..Trettttt!!!! Serang..... Ayo jujur kena tembakan nggak? Arena untuk belajar jujur. Tak mudah bersikap jujur. Bisa jadi dengan bermain air soft gun semakin banyak orang jujur di negeri ini... Bukan begitu Pak Iwan?

BEREBUT DOORPRIZE SAHUR BARENG




PULUHAN budak (anak, dalam bahasa Melayu) berebut menjawab pertanyaan sederhana ketika berlangsung Sahur Adventure Tribun Batam-Indosat di Kelurahan Tanjunguma, Kecamatan Lubuk Baja, Batam, Minggu (30/9) dini hari. Seru.... Lebih seru daripada sahur bersama seminggu sebelumnya di kawasan Dapur 12, Batam. Soalnya doorprize yang dibawa lebih banyak dan beragam.
Tanjunguma, sebuah kampung tua di Batam, letaknya tak begitu jauh dari kantor Tribun, sekitar 5 kilometer. Shoibul bait (tuan rumah) lebih lengkap. Ada Sekretaris Kelurahan Tanjunguma, Thahir, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarat (LPM) Zulkifli, pengurus takmir Musala An-Nur, dan tokoh masyarakat setempat. Lokasi sahur berada di halaman depan musala yang sudah tampak ringkih itu.
"Kayu-kayunya sudah banyak yang lapuk. Saya khawatir sebentar lagi roboh. Saya berharap ada pihak yang bersedia memberi bantuan. Kami berharap dapat bantuan lagi dari Pemko Batam. Indosat boleh, Tribun juga tak apa-apa," kata pengurus takmir masjid. Thahir yang duduk di samping kiri saya manggut-manggut mendengar harapan sang pengurus takmir. "Insyaallah... (mungkin maksudnya akan mencarikan jalan agar dapat bantuan dari Pemko Batam)," gumam Thahir.
Keasyikan lain, kru Tribun, Indosat, Ekstra Joss, dan McDonald harus berjalan cukup jauh dari tempat parkir mobil menuju lokasi acara. Ya sekitar 500 meter. Bukan berlenggang kangkung tapi sambil membawa berbagai perbekalan, makanan, dan minuman, untuk disantap bareng-bareng. AGJ Joko, Koordinator Liputan yang baru dua bulan dimutasikan dari Banjarmasin Post ke Batam, memanggul dua dos air mineral.
Tak pelak, sang Tuan Sinyo --julukan AGJ Joko-- berpeluh di tengah dinginya dini hari berembun itu. "Capek juga tangan saya," ujar Tuan Sinyo sambil terengah-engah. Tak apa-apalah capek sedikit yang penting, makan bareng beratap langit dan beralas tikar... Masih dua kali lagi!!!! Ayo ikutan...

Sabtu, 29 September 2007

MENYANYI SAMBIL MENULIS, ASYIK DONG!



PENYANYI yang satu ini ini memang smart, berbeda dengan para selebriti lain di negeri ini. Selain bersuara merdu, ia juga mempu menulis. Ya, menulis artikel untuk sebuah surat kabar. Bahasanya mengalir, enak dibaca, dan punya common sense cukup luas.
Setiap pekan artikel Rani, panggilan akrab Syaharani, mengenai dunia musik selalu menghiasi halaman 12 Tribun Batam. Hampir semua tulisan Rani, boleh dibilang 99 persen, yang yang mengedit.
Lho mengapa suka mengedit tulisan Syaharani? Dengan mengedit saya bisa menyerap pengetahuan soal musik dari dara kelahiran Malang, Jawa Timur itu. Tak perlu baca terbitan Tribun keesokan harinya. Dengan mengedit, saya seolah tengah berkomunikasi dengan Rani mengenai isi tulisan yang telah ia buat.
Terus terang banyak pengetahuan baru yang saya dapat dengan membaca sekaligus mengedit tulisan Rani. Saya memang suka musik tapi tentu pengetahuan saya tak seluas dan sedalam Rani. Dunia musik dan entertaiment merupakan nyawa kedua baginya.
Kalau dibalik, pengetahuan soal tulis menulis dan jurnalistik yang dipunyai Rani pasti kalah dengan saya. Dunia jurnalistik merupakan nyawa kedua saya. Kalau dilepaskan dari dunia itu, saya tak tahu apakah masih bisa hidup dan menghidupi seorang istri serta empat dara hasil perkawinan kami.
Saya tak tahu pasti, apakah Rani yang punya bakat besar dalam menulis bisa juga membuat reportase, minimal melaporkan shownya sendiri. Kalau mampu, berarti ia punya dunia sekaligus yaitu musik dan jurnalistik. Feeling saya, Rani mampu membuat reportase. Apalagi kalau dilatih sedikit saja.
Wuihhhh, saya membayangkan Rani memberikan reportase mengenai berbagai konser musik dan pernik di balik sebuah pertunjukan. Pasti luar biasa hidup, mengalir, dan tak salah dalam menggunakan term-term khas dunia musik. Penyanyi sekaligus penulis. Asyik dong. Bukan begitu Mbak Rani? (febby mahendra)

MYANMAR...OH...MYANMAR


DADANYA tertembus timah panas yang melesat dari senapan personel militer Junta Militer Myanmar (Burma). Tapi ibu jari reporter APF, Kenji Nagai (50), terus menekan tombol record handycam yang berada di tangan kanannya.
Kebrutalan rezim negara otoriter tersebut terus terpatri dalam cakram padat di handycam Nagai. Tak lama kemudian, nafasnya tersengal-sengal, lalu nyawanya melayang ke alam baka.
Kematian Kenji Nagai di Yangon, kota terbesar di Myanmar dan bekas ibukota negara itu, Rabu (26/9), menjadi berita menghebohkan seantero dunia. Kabar duka melesat bak peluru kendali ke seluruh penjuru jagad melalui saluran multimedia. Ya melalui SMS, MMS, foto, video streaming, maupun informasi para blogger di internet.
Sebelumnya aksi para biksu --para rahib Budha yang memilih hidup berselibat-- mengguncang Yangon. Mereka menggelar aksi damai, mengungkapkan suara hati yang telah terbelenggu selama 15 tahun oleh rezim junta dipimpin Jenderal Senior Than Shwe.
Than Shwe memberangus media massa lokal. Tak ada berita mengharu-biru di koran-koran harian Myanmar. Sepi, seolah tak terjadi apa-apa. Para penerbit, editor, dan reporter takut memberitakan hiruk pikuk unjuk rasa ribuan biksu dan kelompok prodemokrasi. Takut dibredel dan masuk tahanan.
Tak ada jalan lain, informasi mengalir ke seluruh penjuru dunia melalui saluran multimedia. Tak heran, penguasa Myanmar kemudian memberangus akses internet pada Jumat (28/9). Bukan hanya itu saja, militer merazia handphome dan kamera digital yang dibawa pengunjukrasa dan kelompok prodemokrasi. Supaya mereka tak bisa mengirim bad news keluar Myanmar.
Entah siapa yang menekan rezim junta, sehari kemudian akses internet dibuka lagi. Sangat mungkin akibat tekanan dunia internasional yang begitu bertubi-tubi. Konon, rezim junta mulai 'retak' di dalam. Mereka tak lagi kompak. Bahkan, mereka sudah mulai mengungsikan keluarganya keluar dari Myanmar. Reformasi dan demokratisasi tak lagi bisa dibendung.
Liberte, egalite, fraternite!!! Ada kerindungan yang tak terbendung kepada kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Indonesia pernah mengalaminya pada 1998, ketika rezim Soeharto tumbang. Sayang reformasi tak berbuah manis, tapi justru memakan 'anak kandungnya' sendiri. Ribuan nyawa melayang di tengah kobaran api di pertokoan, mall, dan plaza di Jakarta. Puluhan wanita trauma seumur hidup karena perkosaan. ribuan orang kehilangan asa karena penjarahan. Tak jelas siapa yang melakukan aksi brutal di puncak reformasi tersebut.
Myanmar bisa menarik pelajaran dari pengalam Indonesia. Jangan lagi darah tertumpah sia-sia. Demokrasi jangan sampai berubah menjadi demo crazy. Amin!!!! (febby mahendra)

Jumat, 28 September 2007

PERAMPOK CERDAS, ATAU BRI TELEDOR?


KAWANAN perampok yang satu ini boleh dibilang cerdas. Hanya dengan bermodal Rp 2 juta, dapat meraup uang Rp 941 juta di brankas BRI di Jl Tuanku Tambusai, Pekanbaru, Kamis (27/9) malam.
Betapa tidak, beberapa jam sebelum melakukan aksinya, tepatnya Kamis sore, kawanan penjahat itu menyewa ruko kosong di sebelah kantor BRI (sebelah kanan). Orang yang mengaku bernama Ahok itu baru menyerahkan uang panjar kepada pemilik ruko, sebesar Rp 2 juta. Sedang uang sewa yang disepakati Rp 35 juta setahun.
Tak perlu menunggu lama, pelaku langsung beraksi begitu menghuni ruko sewaan. Berbekal air cuka dan linggis, mereka langsung membobol tembok di lantai dua yang berhimpitan dengan tembok BRI. Turun ke lantai I, mereka membongkar brankas dengan las listrik. Sekitar pukul 23.00 WIB, para penjahat melenggang dengan mobil Toyota Innova.
Ada tiga pertanyaan menarik. Apakah sang pelaku cerdas, BRI yang teledor, atau kedua-duanya. Cukup mengejutkan, di kantor bank yang menyimpan uang Rp 1 miliar lebih tersebut tidak dilengkapi CCTV alias kamera perekam, dan alarm. Selain itu, tidak ada petugas keamanan profesional yang menjaga bank usai jam kerja.
Aneh memang. Wajar saja kalau muncul kecurigaan, ada yang tak beres di kantor bank itu. Imajinasi pasti melayang kepada keterlibatan orang dalam. Bukan mustahil lho. Apalagi para pelaku terlihat sangat paham pada seluk beluk situasi dalam kantor Bank BRI di kawasan perdagangan dan padat penduduk itu.
Tak lazim sebuah bank tak melengkapi tempat penyimpanan uang dengan CCTV dan alarm. Mestinya begitu brankas diusik oleh orang yang tak berwenang, alarm langsung menyalak. Apalagi sampai brankas dilas segala tidak ada yang tahu . Waduhhh..benar-benar unik.
Belajar dari berbagai kasus perampokan bank atau korporasi lain yang terkait dengan uang, hampir semua melibatkan orang dalam. Pelaku kejahatan tak akan begitu gegabah melakukan sebuah aksi spektakuler sebelum paham luar dalam mengenai sasarannya. Siapa yang tahu kondisi detail di objek sasaran? Tak ada lain kecuali orang dalam atau orang yang pernah bekerja di tempat itu.
Siapa sih yang tahu letak brankas dan cara membungkam kotak besi baja itu? Siapa pula yang bisa memberi informasi bahwa lokasi sasaran sudah 'clear' dari operasi penggarongan bisa dilakukan? Jangan buru-buru buruk sangka dan asal tuduh. Kalau saya jadi polisi, saya akan minta transkrip dan rekaman pembicaraan handphone semua karyawan, cleaning service, serta petugas keamanan BRI, mulai Kamis sore hingga malam harinya. Semoga saja Poltabes Pekanbaru bisa mengungkap misteri itu. (sebuah analisis/febby mahendra)

Rabu, 26 September 2007

KONTROVERSI PEMBUNUHAN SANDRIANI


SANDRIANI (22), mahasiswi Universitas Internasional Batam (UIB), jadi sosok menghebohkan. Ia ditemukan tewas terbunuh pada Senin (16/7/2007) di dekat hutan kawasan wisata Mata Kucing, Batam.
Sebelumnya, Jumat (13/7), ia dilaporkan hilang usai kuliah, sekitar pukul 21.00 WIB. Ketika ditemukan, mayat karyawan The Central Sukajadi tersebut dalam kondisi mengenaskan. Tangan dan kakinya diikat rafia, mulutnya diplester lakban.
Mayatnya setengah telanjang. Bagian tubuh di bawah perut sedikit rusak. Muncul dugaan kuat pembunuhan itu bermotif dendam. Berbagai informasi mengenai kisah asmara Sandriani dengan seorang pria bernama Yohanes yang dikenalnya melalui dunia maya (friendster). Begitu pula cerita mengenai seorang pria misterius yang pernah menjemput korban di kantor tapi sang gadis menolak jemputan itu.
Titik terang muncul ketika seorang sopir taksi plat hitam bernama Budi Hutahaean menelepon Polsek Sekupang, Batam, yang mengaku mengetahui pembunuhan Sandirani. Saat menelepon ia mengaku bernama Anton. Budi memberi petunjuk agar polisi dapat menemukan dirinya. Akhirnya Budi ditangkap di belakang rumahnya, kawasan Base Camp, Batuaji. Boleh dibilang Budi 'setengah menyerahkan diri'.
Ternyata Budi sosok kontroversial. Pertama ia mengaku hanya diminta mengemudikan taksi oleh orang bernama Ewin, Andi Chandra, dan Elvis. Taksi itu mengikuti sebuah mobil yang sebelumnya menjemput Sandriani di kampus. Dua orang dalam mobil lain itu tak dikenalnya. Di tengah jalan sepi, kawasan Tanjungriau, sang korban dihabisi dengan cara dicekik dalam mobil sang penjemput. Mayatnya dibuang di hutan dekat Mata Kucing.
Belakangan, Senin (24/9), polisi mempertontonkan Budi Cs ke hadapan wartawan. Nah, saat itu Budi membuat pengakuan mengejutkan. Ia mengubah cerita. Tak ada lagi cerita mengenai dua pria misterius yang menjemput Sandriani di kampus. Budi mengaku, Ewin sebagai aktor intelektual kasus itu dan masih buron, secara tidak sengaja melihat korban keluar dari kampus.
Tersangka menawari korban tumpangan, lalu melucuti barang-barangnya, termasuk mengambil uang Rp 100 ribu di rekening Sandriani melalui ATM. Kemudian mereka memperkosa rame-rame. Budi mengaku ikut memperkosa karena diancam akan dibunuh. Akhirnya korban dicekik Ewin hingga tewas. Polisi tampak puas pada pengakuan itu. Tugasnya tinggal memburu Ewin dan Anton yang masih buron.
Pisau bermata dua
Namun masih ada sejumlah pertanyaan yang tak terjawab:
1. Mengapa malam itu Sandriani mau masuk ke mobil yang menawarinya tumpangan, padahal dalam mobil ada empat pria. Bukankah Sandriani keturunan Tionghoa yang biasanya sensitif pada kondisi mencurigakan seperti itu.
2. Petugas keamanan (satpam) kampus yang bertugas malam itu tak melihat Sandriani pulang, termasuk keberadaan sedan hijau para tersangka. Apakah ada orang lain yang menjemput di halaman parkir kampus setelah sebelumnya menghubungi?
3. Mengapa para tersangka menyisakan uang Rp 150 ribu di rekening Sandriani, kalau memang motifnya perampokan?
4. Mengapa dokter forensik yang melakukan otopsi tidak menemukan sedikitpun bekas perkosaan, padahal ia digilir lima pria sekaligus?
5. Mengapa Budi kelamin Budi bisa dipakai untuk memperkosa padahal dia dalam keadaan ketakutan karena diancam?
6. Terakhir, mengapa Budi 'menyerahkan diri' dan sebelumnya bercerita kepada pacar dan keluarganya, kalau memang ikut melakukan tindakan biadab.
Sebenarnya tak terlalu sulit memecahkan misteri tersebut. Toh sebagian tersangka sudah tertangkap. Bisa jadi polisi punya skenario tersembunyi sehingga tampak kontroversial pada saat ini. Kalau berpikir positif, mungkin polisi menyamarkan cerita sebenarnya untuk memburu tersangka lain yang belum terpublikasikan. Ya biar tersangka yang namanya tak disebut-sebut selam ini merasa terlena dan melakukan kecerobohan. Semoga saja begitu.
Namun kalau sampai pada titik akhir nanti memang cerita Budi terakhir lah yang benar, kasus ini bisa menjadi sebuah studi menarik. Budi bakal mendapat dua gelar sekaligus, yaitu penjahat sekaligus pahlawan. Kalau Budi tak menelepon polisi, bisa saja kasus ini tak terkuak. (sebuah analisis, febby mahendra)

Digital People, Digital World


JANGAN bingung menyimak cover majalan Time di samping kiri itu. Kalau biasanya setiap tahun Time memilih sosok tertentu sebagai Man of the Year, pada 2007 justru tidak ada tokoh dunia yang dipilih sebagai Man of the Year 2006.
Lho apa yang tejadi? Time memilih masyarakat yang disimbolkan dengan kata "You (Anda)" sebagai sebagai Man of the Year. Alasannya, pada 2006 orang dapat dengan mudah mengekpresikan dirinya sendiri, baik dalam bentuk opini, uneg-uneg, maupun buah pikiran, dan lain, di internet setelah munculnya web 2.0. Berbagai blog alias website pribadi bermunculan bak cendawan di musin hujan.
Tak heran, IFRA, sebuah organisasi para penerbit internasional mengundang para penerbit dan editor in chief (pemimpin redaksi) untuk menghadiri sebuah konferensi di Dublin, Irlandia, 8-9 November 2007 mendatang. Saya tahu adanya acara itu setelah membaca sepucuk undangan yang tergeletak di meja kerja saya.
Tema konferensi itu sangat menarik dan ada hubungan erat dengan cover story Time, yaitu “Connecting with the Digital Consumer” alias menjalin hubungan dengan konsumen di era digital. Dalam pengantar undangan dikatakan, benturan revolusi digital dengan surat kabar konvesional –media massa cetak-- merupakan sebuah tantangan baru.
Fenomena itu sekaligus memberi kemungkin dan peluang-peluang baru, terutama dalam menjalin hubungan dengan konsumen media. Terjadi perubahan yang sangat dramatis pada tahun lalu akibat munculnya web 2.0. Para konsumen yang semula hanya sebagai pengguna pasif internet, tumbuh menjadi pengisi konten sesuai keinginan mereka.
Panita konferensi menggunakan kalimat menarik untuk mengajak para penerbit dan editor menghadirinya. “Jangan sia-siakan kesempatan untuk memahami tren-tren terkini di dunia online, dan saling bertukar pandangan dengan para pengusaha di seluruh dunia,” begitu kalimat penutup dalam undangan itu, disertai kalimat tambahan, “Kami menunggu Anda datang ke Dublin.”
Pembicara utama konferensi, Prof Dr Jo Groebel, Direktur German Digital Institute, akan memberi materi mengenai pelaku baru pengguna informasi, dan konsekuensi bagi penyedia informasi, yang menarik perhatian industri media. Kisi-kisi dari materi itu antara lain apa yang dicari konsumen web 2.0, dan apa pengaruh terhadap media konvensional .
Pembicara lain adalah para pengelola website dan portal yang pada intinya akan membahas pengembangan komunitas di era digital baik dari segi konten maupun penggarapan iklan.
Semua tema menarik. Saya sendiri pernah mengikuti konferensi yang digelar IFRA di Manila, Filipina, yang membahas mengenai multimedia, maret 2007. Semua pembicara mengungkapkan perlunya para penerbit mengintegrasikan media cetak dengan media online, dan video streaming melalui sebuah portal.
Langkah itu perlu dilakukan ya karena terjadi revolusi informasi menuju era digital. Media cetak tak mampu lagi memberikan informasi real time dan live kepada konsumen. Tak pelak, kalau para penerbit mati langkah, besar kemungkinan akan menjadi bagian dari sejarah masa lalu.
Membalik pola pikir
Rupanya Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang CEO-nya menjadi pengurus di IFRA cukup tanggap pada fenomena baru itu. Pada awal September, saya dan para pemimpin redaksi di daerah-daerah diundang untuk menghadiri rapat koordinasi pembentukan Megaportal Kompas.
Portal yang akan diberi nama Kompas.Com tersebut ya mirip dengan para provider (penyedia) jasa layanan informasi yang lain seperti yahoo, google, MSN, dll. Memang sebuah kerja berat, karena harus mengubah pola pikir dan kebiasaan kru media cetak, terutama para reporter hingga editor.
Informasi tidak bisa lagi ditunda hingga esok untuk sampai kepada konsumen. Up-dating berita terus menerus merupakan sebuah keniscayaan. Selain itu harus memberi ruang kepada masyarakat untuk dapat menyampaikan informasi secara langsung melalui media digital. Informasi yang diberikan masyarakat itu dikenal dengan istilah citizen journalism.
Pembuat informasi dan berita bukan lagi monopoli reporter reguler. Kebutuhan masyarakat menyampaikan opini. Di era digital, pendapat, gagasan, dan isi pikirannya tidak bisa lagi dibelenggu oleh para editor. Tak ada pilihan lain kecuali mewadahi komunitas digital itu, agar para penerbit dan produk media massa tidak menjadi bagian dari masa lalu. (febby mahendra)

Selasa, 25 September 2007

SAHUR BARENG ANAK YATIM

SAHUR BARENG- Asyik juga sahur bareng. Kalau buka puasa bareng sih sudah biasa. Kalau sahur bareng mah juaraanggg. Dari pemikiran, "Lebih Baik Sedikit Berbeda daripada Sedikit Lebih Baik," saya menggagas acara sahur bareng. Saya dan kru Tribun Batam melaksanakan untuk pertama kalinya di Masjid Babusallam, Dapur 12, Batam, Sabtu (23/9/2007). Lokasinya jauh, jalannya minta ampun deh jeleknya. Rombongan enam mobil bersama sejumlah sponsor (Indosat, McDonald, Ekstra Joss, dan Radio Sing FM) meluncur ke lokasi pada pukul 02.00 dini hari. Pokoknya seru abis. Tiga sahur bersama lagi. Siapa mau ikutan???


Perkelaminan


Perkelaminan

SABTU (5/8/2006) malam, kantor Redaksi Tribun Jabar kedatangan tamu. Seorang pria berambut panjang dan berkacamata. Selintas tak ada yang istimewa dari laki-laki berusia 28 tahun tersebut. Namanya Moammar Emka. Begitu memperkenalkan diri, langsung terbayang buku best seller Jakarta Undercover I, yang kontroversial itu. Buku itu mengupas kehidupan seks di luar nikah yang dilakukan kalangan papan atas di metropolitan.
Emka ke Bandung untuk ‘memasarkan’ buku terbarunya, In The Bed with Models. Seperti Jakarta Under Cover I, isi In The Bed with Models tak jauh dari urusan seks. Lebih spesifik lagi, seks di kalangan para model, mulai dari yang berklas supermodel hingga model jdi-jadian. Menurut sang penulis, para model yang menjadi narasumbernya melakukan ‘job sampingan’ sebagai pemuas seks para pria berduit .
Terasa gayeng berdialog dengan Emka selama dua jam. Selama kami bicara di ruang rapat, beberapa kali ia terima SMS dan telepon. “Ini, Mas, ada undangan party di Bandung. Mau Ikut? Saya jadi penasaran, apakah party di Bandung seheboh di Jakarta,” ujarnya. Tak lama kemudian pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, itu mendapat telepon. “Dari seorang eksekutif Bank BNI. Ia mengajak saya party. Jangan ditulis lho, Mas.” Katanya sambil tertawa lepas.
Penasaran membaca buku-buku Emka, saya tak melepas kesempatan itu untuk mengajukan barbagai pertanyaan ala presenter CNN Oprah Winfrey di Oprah Show yang sangat kondang itu. “Apa sampeyan mengalami sendiri peristiwa yang bikin bulu kaki merinding? Artinya apa sampeyan ikut di dalamnya,” tanya saya menggebu-gebu sambil membayangkan sex party yang ada dalam buku Jakarta Undercover I. “Lha iya tho Mas. Pekerjaan saya memang bergelut di dunia begituan. Isi buku saya itu sebenarnya menelanjangi saya sendiri, soalnya saya menjadi bagian dari mereka,” ujar alumnus Syarief Hidayatullah, IAIN Ciputat, Jakarta itu.
Wahhh…seru ya kalau bisa ikut dalam pesta begituan. Emka mengaku sudah qatam dengan semua tempat hiburan malam di Jakarta, termasuk lokasi-lokasi yang biasa dipakai untuk melakukan fantasi seksual. “Semua lokasi seperti itu di Jakarta punya empat orang saja. Konsepnya mengambil dari Thailand, Hongkong, dan Las Vegas. Kalau urusan begituan, Bandung kalah jauh dengan Jakarta Mas. Dengan Surabaya aja kalah kok,” kta Emka.
Buku-buku Emka laris bak kacang goreng, bahkan Jakarta Undercover I sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh sebuah penerbit di Singapura, untuk pasar Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Dalam waktu dekat ia berencana meluncurkan Jakarta Undercover II dan Jakarta Senang-senang. Dalam buku Jakarta Senang-senang, Emka menampilkan alamat dan nomor kontak semua tempat hibuaran malam di Jakarta, ya semacam guide book. “Tapi saya tidak bermaksud mengajari orang untuk bermaksiat lho. Nama dan alamat tempat hiburan itu mau dipakai untuk apa, ya terserah yang membaca,” katanya enteng.
Iseng saya tanya, apa saja yang telah diperolehnya dari hasil menulis buku-buku tersebut. “Saya punya 30 ekor sapi, Mas. Serius ini! Sapi-sapi itu ada di kampung, Tuban, Jawa Timur. Selain itu bisa beli rumah yang layak dan mobil. Tak kalah penting saya juga punya modal untuk membiayai penulisan buku-buku selanjutnya. Hidup di dunia gaul itu mahal lho Mas,” terangnya.
Ada yang menarik di tengah obrolan dengan pria yang masih melajang itu. Sebelum diluncurkan ke pasar, isi, cara penyajian, hingga judul setiap bab dan cover memalui proses diskusi. Diskusi pertama dilakukan sebuah panel yang terdiri dari para pelajar SMA, mahasiswa, dan orang-orang yang akrab dengan dugem. Hasilnya dipertajam lagi di panel kedua beranggotakan kru dari penerbit dan orang lingkar dalam sekitar Emka. “Diskusinya seru… Ya itu dimaksudkan agar buku tersebut dapat diterima pasar,” katanya serius.
Ahhhh… ternyata buku semacam itu harus melalui proses quality control juga ya. Apalagi sebuah surat kabar harian yang konon merupakan karya intelektual di bidang jurnalistik. Perlu pendapat ‘orang luar’ untuk menilai sebuah karya. Tak perlu malu. Apalagi surat kabar kini bukan sekadar media informasi saja tetapi sudah menjadi entitas bisnis.Naif rasanya kalau terlalu pede (percaya diri) kepada quality control yang dilakukan intern sebuah surat kabar. Dalam situasi dilingkungi rutinitas, tak mustahil kepekaan kalangan internal menjadi tumpul.
Rupanya, Emka dan timnya sangat memahami teori kebutuhan ala Abraham Maslow. Menurut pakar sosiologi ekonomi tersebut, seks dengan segala fantasinya merupakan bagian terpenting dari kehidupan dasar manusia. Seks tidak dibatasi dimensi ruang, tempat, dan waktu. Seks mampu menembus dimensi. Pakar psikologi analisa, Sigmund Freud, bahkan menyebut seluruh aktivitas manusia digerakkan oleh apa yang disebut nafsu seks.
Tak heran kalau kemudian majalah pria dewasa yang mengadopsi induknya di Amerika Serikat (AS), Playboy Indonesia, menjadi pembicaraan hangat. Pokoknya seru abiss deh!!! Dicaci sekaligus bikin penasaran sehingga selalu ditunggu kehadirannya. Petinggi negara setingkat Wakil Presiden Jusuf Kalla, sampai ikut membverikan komentar terhadap kehadiran Play Boy Indonesia. Ya boleh dibilang seorang Wapres ikut nimbrung bicara terkait seks.
Saya kemudian berpikir, bagaimana ya caranya menampilkan berita dengan topik seks dan seksualitas di media cetak harian tapi tidak vulgar, tidak memancing kontroversi, dan kontraproduktif. Barangkali saya harus bergaul lebih akrab dan lebih dalam dengan orang semacam Moammar Emka. Dengan begitu saya sekaligus berkesempatan melihat dengan mata kepala sendiri dan merasakan bagaimana mendebarkannya berada di tengah perempuan cantik yang bergaya bak manusia purba, tanpa busana. Huahahahahahahaha… Tapi saya kan punya istri yang setia menunggu di rumah dan empat gadis kecil hasil perkawinan kami. Ahhh bingung euy!!!! (febby mahendra/medio Agustus 2006)

Senin, 24 September 2007







SENI. Orang perlu menumbuhkan kecerdasan emosional alias mengaktifkan peran otak kanan. Satu caranya dengan belajar main musik. Dua anak saya, Shena (kiri) dan Shefi (kanan) tengah tampil dalam konser kecil-kecilan yang digelar sekolah musik tempat mereka belajar. Ya, meskipun belum mahir betul, tapi lumayan lah buat melatih olah rasa dan mengaktifkan otak kanan.

Minggu, 23 September 2007

Political show ala SBY


Political Show ala SBY

ANTIKLIMAKS perseteruan antara Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution dan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan terjadi di Kantor Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sabtu (22/9). SBY bersama Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assihiddiqie menjadi mediator islah (perdamaian), dengan hasil BPK bisa mengaudit pengelolaan dana yang berasal dari biaya perkara setelah adanya peraturan pemerintah (PP) sebagai dasar hukum.

PUNCAK perseteruan dua pejabat lembaga tinggi negara itu terjadi ketika Anwar Nasution melaporkan Bagir Manan ke Mabes Polri 13 September lalu. Tuduhannya tidak main-main, yaitu Bagir menghalang-halangi tugas BPK mengaudit keuangan lembaga negara berdasarkan Undang- undang (UU) No 15 Thn 2004 tentang Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.Sebelum terjadi islah Bagir bersikeras biaya perkara bukan merupakan objek pemeriksaan BPK karena tidak termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
MA mendasarkan diri pada UU No 20 thn 2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dalam pasal 2 tidak menyebut biaya perkara sebagai PNBP karena hanya bersifat titipan.Penyelesaian silang sengkarut melalui mediasi oleh Presiden dan Ketua Mahkamah Konstitusi menimbulkan pro dan kontra. Pihak yng mendukung menyebut, penyelesaian out of court ( di luar lembaga peradilan) tersebut merupakan langkah elegan, cepat, dan lebih efektif daripada penyelesaian melalui pengadilan.
Hanya dengan serangkaian pembicaraan selama beberapa hari dan berpuncak dengan pertemuan empat pihak di Kantor Presiden, dihasilkan penyelesaian win-win solution. Tak perlu bertele-tele melewati proses penyidikan di Mabes Polri hingga persidangan pidana di pengadilan atau pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi.Pihak yang kontra menyebut langkah Presiden merupakan intervensi dan mencedarai proses law enforcement (pengakan hukum).
Langkah politis tersebut dinilai tidak mendidik. Muncul kesan solusi yang dihasilkan merupakan hasil kompromi sehingga akan menjadi preseden buruk di kemudian hari.Munculnya pro dan kontra merupakan sebuah kewajaran di alam demokrasi. Kelompok pro dan kontra mempunyai logikan sendiri yang kalau dicermati dapat diambil hikmah terpentingnya.
Pepatah tua dari Tiongkok menyatakan, kalau ingin mendinginkan air panas di tungku, lebih tepat mengambil kayu bakar yang menyala di bawahnya.Makna dari pepatah itu, kalau ingin menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien, cari akar persoalan. Dari kasus silang pendapat antara BPK dan MA tersebut dapat diketahui adanya ketidak selarasan antara dua UU.
Sebuah fenomena yang sering terjadi di negeri ini sehingga memicu terjadinya konflik.Muncul pertanyaan, apakah kontradiksi antara satu UU dengan UU lainnya dapat diselesaikan melalui penerbitan sebagai Peraturan Pemerintah? Bukankah secara hirarkis Peraturan pemerintah punya derajd lebih rendah daripada UU? Secara formal yuridis jawabanya yang muncul dari dua pertanyaan itu adalah Peraturan Pemerintah tidak bisa meniadakan sebuah ketentuan UU karena derajadnya lebih rendah.
Dari sudut pandang prosedural, yang punya kewenangan menyelesaikan kontradiksi antar-UU adalah Mahkamah Konstitusi.Selain itu, bisa juga dilakukan penyelesaian melalui amandemen (perubahan) UU yang dilakukan DPR agar terjadi sinkronisasi alias keselarasan. Tak heran kalau kemudian muncul anggapan bahwa solusi konflik BPK dan MA yang dilakukan di Kantor Presiden bersifat kompromistis dan bisa menjadi bom waktu.Oleh karena itu, alangkah lebih bijaksana kalau solusi kompromi tersebut ditindaklanjuti dengan penyempurnaan UU. Rasanya lebih elegan dan dapat menyelesaikan akar persoalan tanpa ada pihak yang merasa dikorbankan. (febby mahendra)
Testing