Minggu, 30 September 2007

YANG PENTING NGGAYA, MAN!!!

WOOWW!!! Keren.... Ya begini akibatnya kalau nggak kesampaian jadi tentara beneran. Jadi tentara icak-icak (pura-pura, bahasa Melayu) tak jadi soal, yang penting bisa bergaya dan main perang-perangan. Kalau perang beneran sih entar dulu Booooo... Soal gaya, tak mau kalah dengan para Gringo (tentara AS) di Irak atau Afghanistan. (Ogut nomor enam dari kiri. Lokasi: Air Soft Gun Delta Force, Pelita, Batam) FOTO: BOJONE IMAN SURYANTO

KENA TEMBAK.... NGAKU NGGAK YA?


AWAS!!!! Musuh membidik dari sisi kanan. Bubarkan konsentrasinya dengan rentetan tembakan. "Tarr!!!" Sebuah 'peluru' tepat mengarah kepala. "Mati aku!!

Ketika meraba kepala sebelah kanan, ada benjolan. Rupanya peluru plastik yang dilepaskan 'musuh' tepat menyasar jidat kanan saya. Alamakkkkk terasa perih sedikit.

Kok bisa kena ya, padahal saya membawa senjata laras panjang jenis AK-47 lengkap dengan dua (double) magazin. Berondongan peluru ke arah 'musuh' rupanya meleset. Ketika melepaskan tembakan saya keluar dari tempat perlindungan. Dengan mudah sang musuh membidik. Ruang tembak terbuka lebar. "Sorry ya Pak. Sakit ya," kata sang 'musuh' sambil tersenyum.

Sore itu kami tengah menggelar permainan air shoot gun di Delta Force, sebuah lokasi di kawasan Pelita, Batam. Sekadar buat refreshing sekalian cari keringat. Empat lawan empat. Iwan, pemilik Delta Foce, jadi lawan main kami. 'Perang' dilakukan di out door base lantai III. Ada ajang 'perang' in door di lantai II. Lebih seru di out door, tempatnya lebih lapang. Kayak perang kota beneran.

Dari empat kali permainan, saya selalu tertembak. Selain kena di jidat, juga kaki dan pantat. Berbeda dengan permainan pin ball yang menggunakan tinta, air soft gun tak menggunakan penanda apapun. Jadi kalau tidak jujur, bisa saja pemain meneruskan pertempuran meskipun tubuhnya 'tertembus peluru'. Sedangkan di pin ball, permain yang kena tembakan langsung ketahuan karena ada tinta melekat di pakaian.

Permainan air soft gun melibatkan juri yang mengawasi jalannya 'perang', terutama siapa yang terkena tembakan. Tapi mata juri kan tidak bisa mengawasi semua pemain. Saya sempat beberapa kali tak mengaku meski terkena tembakan. "Ah yang kena kan cuma tangan. Kalau perang beneran, tangan kena peluru kan tidak mati," ujar saya dalam hati.

Perbedaan lain dari pin ball, senjata yang dipakai di air soft gun, plekkk sama persis dengan senjata aslinya. Ukuran, berat, dan bentuknya sama persis dengan senapan beneran. Dengan seragam loreng, rompi dan kedok pengaman, kaus tangan, shebo, serta helm, sudah seperti pasukan antiteror. Pada saat main, saya tidak pakai helm, maksudnya biar tak bertambah berat. Alhasil, jidat saya benjol kena peluru plastik.

Mario, Manajer Studio 21 Batam, lawan main saya, satu-satunya player yang tak pernah kena tembakan. Tubuhnya yang tambun ternyata tak mudah dibidik. Ia membawa M-16 dengan magazin jumbo. Tembakannya lumayan. Kepala saya benjol ya akibat tembakan dia.

Kian banyak peminat air soft gun. Tak heran ketika Tribun Batam menggelar lomba air soft gun pada akhir Agustus 2007, pesertanya lumayan banyak. Lomba dibuka Ketua KONI Kepri yang juga Ketua DPRD Kepri, Nur Syafriadi. Usai pembukaan sebenarnya ada 'perang' klas VIP. Sayang, Nur Syafriadi buru-buru karena ditunggu rapat Partai Golkar, sedang saya sendiri lagi tak sehat.

Trettttt!!!..Trettttt!!!! Serang..... Ayo jujur kena tembakan nggak? Arena untuk belajar jujur. Tak mudah bersikap jujur. Bisa jadi dengan bermain air soft gun semakin banyak orang jujur di negeri ini... Bukan begitu Pak Iwan?

BEREBUT DOORPRIZE SAHUR BARENG




PULUHAN budak (anak, dalam bahasa Melayu) berebut menjawab pertanyaan sederhana ketika berlangsung Sahur Adventure Tribun Batam-Indosat di Kelurahan Tanjunguma, Kecamatan Lubuk Baja, Batam, Minggu (30/9) dini hari. Seru.... Lebih seru daripada sahur bersama seminggu sebelumnya di kawasan Dapur 12, Batam. Soalnya doorprize yang dibawa lebih banyak dan beragam.
Tanjunguma, sebuah kampung tua di Batam, letaknya tak begitu jauh dari kantor Tribun, sekitar 5 kilometer. Shoibul bait (tuan rumah) lebih lengkap. Ada Sekretaris Kelurahan Tanjunguma, Thahir, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarat (LPM) Zulkifli, pengurus takmir Musala An-Nur, dan tokoh masyarakat setempat. Lokasi sahur berada di halaman depan musala yang sudah tampak ringkih itu.
"Kayu-kayunya sudah banyak yang lapuk. Saya khawatir sebentar lagi roboh. Saya berharap ada pihak yang bersedia memberi bantuan. Kami berharap dapat bantuan lagi dari Pemko Batam. Indosat boleh, Tribun juga tak apa-apa," kata pengurus takmir masjid. Thahir yang duduk di samping kiri saya manggut-manggut mendengar harapan sang pengurus takmir. "Insyaallah... (mungkin maksudnya akan mencarikan jalan agar dapat bantuan dari Pemko Batam)," gumam Thahir.
Keasyikan lain, kru Tribun, Indosat, Ekstra Joss, dan McDonald harus berjalan cukup jauh dari tempat parkir mobil menuju lokasi acara. Ya sekitar 500 meter. Bukan berlenggang kangkung tapi sambil membawa berbagai perbekalan, makanan, dan minuman, untuk disantap bareng-bareng. AGJ Joko, Koordinator Liputan yang baru dua bulan dimutasikan dari Banjarmasin Post ke Batam, memanggul dua dos air mineral.
Tak pelak, sang Tuan Sinyo --julukan AGJ Joko-- berpeluh di tengah dinginya dini hari berembun itu. "Capek juga tangan saya," ujar Tuan Sinyo sambil terengah-engah. Tak apa-apalah capek sedikit yang penting, makan bareng beratap langit dan beralas tikar... Masih dua kali lagi!!!! Ayo ikutan...

Sabtu, 29 September 2007

MENYANYI SAMBIL MENULIS, ASYIK DONG!



PENYANYI yang satu ini ini memang smart, berbeda dengan para selebriti lain di negeri ini. Selain bersuara merdu, ia juga mempu menulis. Ya, menulis artikel untuk sebuah surat kabar. Bahasanya mengalir, enak dibaca, dan punya common sense cukup luas.
Setiap pekan artikel Rani, panggilan akrab Syaharani, mengenai dunia musik selalu menghiasi halaman 12 Tribun Batam. Hampir semua tulisan Rani, boleh dibilang 99 persen, yang yang mengedit.
Lho mengapa suka mengedit tulisan Syaharani? Dengan mengedit saya bisa menyerap pengetahuan soal musik dari dara kelahiran Malang, Jawa Timur itu. Tak perlu baca terbitan Tribun keesokan harinya. Dengan mengedit, saya seolah tengah berkomunikasi dengan Rani mengenai isi tulisan yang telah ia buat.
Terus terang banyak pengetahuan baru yang saya dapat dengan membaca sekaligus mengedit tulisan Rani. Saya memang suka musik tapi tentu pengetahuan saya tak seluas dan sedalam Rani. Dunia musik dan entertaiment merupakan nyawa kedua baginya.
Kalau dibalik, pengetahuan soal tulis menulis dan jurnalistik yang dipunyai Rani pasti kalah dengan saya. Dunia jurnalistik merupakan nyawa kedua saya. Kalau dilepaskan dari dunia itu, saya tak tahu apakah masih bisa hidup dan menghidupi seorang istri serta empat dara hasil perkawinan kami.
Saya tak tahu pasti, apakah Rani yang punya bakat besar dalam menulis bisa juga membuat reportase, minimal melaporkan shownya sendiri. Kalau mampu, berarti ia punya dunia sekaligus yaitu musik dan jurnalistik. Feeling saya, Rani mampu membuat reportase. Apalagi kalau dilatih sedikit saja.
Wuihhhh, saya membayangkan Rani memberikan reportase mengenai berbagai konser musik dan pernik di balik sebuah pertunjukan. Pasti luar biasa hidup, mengalir, dan tak salah dalam menggunakan term-term khas dunia musik. Penyanyi sekaligus penulis. Asyik dong. Bukan begitu Mbak Rani? (febby mahendra)

MYANMAR...OH...MYANMAR


DADANYA tertembus timah panas yang melesat dari senapan personel militer Junta Militer Myanmar (Burma). Tapi ibu jari reporter APF, Kenji Nagai (50), terus menekan tombol record handycam yang berada di tangan kanannya.
Kebrutalan rezim negara otoriter tersebut terus terpatri dalam cakram padat di handycam Nagai. Tak lama kemudian, nafasnya tersengal-sengal, lalu nyawanya melayang ke alam baka.
Kematian Kenji Nagai di Yangon, kota terbesar di Myanmar dan bekas ibukota negara itu, Rabu (26/9), menjadi berita menghebohkan seantero dunia. Kabar duka melesat bak peluru kendali ke seluruh penjuru jagad melalui saluran multimedia. Ya melalui SMS, MMS, foto, video streaming, maupun informasi para blogger di internet.
Sebelumnya aksi para biksu --para rahib Budha yang memilih hidup berselibat-- mengguncang Yangon. Mereka menggelar aksi damai, mengungkapkan suara hati yang telah terbelenggu selama 15 tahun oleh rezim junta dipimpin Jenderal Senior Than Shwe.
Than Shwe memberangus media massa lokal. Tak ada berita mengharu-biru di koran-koran harian Myanmar. Sepi, seolah tak terjadi apa-apa. Para penerbit, editor, dan reporter takut memberitakan hiruk pikuk unjuk rasa ribuan biksu dan kelompok prodemokrasi. Takut dibredel dan masuk tahanan.
Tak ada jalan lain, informasi mengalir ke seluruh penjuru dunia melalui saluran multimedia. Tak heran, penguasa Myanmar kemudian memberangus akses internet pada Jumat (28/9). Bukan hanya itu saja, militer merazia handphome dan kamera digital yang dibawa pengunjukrasa dan kelompok prodemokrasi. Supaya mereka tak bisa mengirim bad news keluar Myanmar.
Entah siapa yang menekan rezim junta, sehari kemudian akses internet dibuka lagi. Sangat mungkin akibat tekanan dunia internasional yang begitu bertubi-tubi. Konon, rezim junta mulai 'retak' di dalam. Mereka tak lagi kompak. Bahkan, mereka sudah mulai mengungsikan keluarganya keluar dari Myanmar. Reformasi dan demokratisasi tak lagi bisa dibendung.
Liberte, egalite, fraternite!!! Ada kerindungan yang tak terbendung kepada kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Indonesia pernah mengalaminya pada 1998, ketika rezim Soeharto tumbang. Sayang reformasi tak berbuah manis, tapi justru memakan 'anak kandungnya' sendiri. Ribuan nyawa melayang di tengah kobaran api di pertokoan, mall, dan plaza di Jakarta. Puluhan wanita trauma seumur hidup karena perkosaan. ribuan orang kehilangan asa karena penjarahan. Tak jelas siapa yang melakukan aksi brutal di puncak reformasi tersebut.
Myanmar bisa menarik pelajaran dari pengalam Indonesia. Jangan lagi darah tertumpah sia-sia. Demokrasi jangan sampai berubah menjadi demo crazy. Amin!!!! (febby mahendra)

Jumat, 28 September 2007

PERAMPOK CERDAS, ATAU BRI TELEDOR?


KAWANAN perampok yang satu ini boleh dibilang cerdas. Hanya dengan bermodal Rp 2 juta, dapat meraup uang Rp 941 juta di brankas BRI di Jl Tuanku Tambusai, Pekanbaru, Kamis (27/9) malam.
Betapa tidak, beberapa jam sebelum melakukan aksinya, tepatnya Kamis sore, kawanan penjahat itu menyewa ruko kosong di sebelah kantor BRI (sebelah kanan). Orang yang mengaku bernama Ahok itu baru menyerahkan uang panjar kepada pemilik ruko, sebesar Rp 2 juta. Sedang uang sewa yang disepakati Rp 35 juta setahun.
Tak perlu menunggu lama, pelaku langsung beraksi begitu menghuni ruko sewaan. Berbekal air cuka dan linggis, mereka langsung membobol tembok di lantai dua yang berhimpitan dengan tembok BRI. Turun ke lantai I, mereka membongkar brankas dengan las listrik. Sekitar pukul 23.00 WIB, para penjahat melenggang dengan mobil Toyota Innova.
Ada tiga pertanyaan menarik. Apakah sang pelaku cerdas, BRI yang teledor, atau kedua-duanya. Cukup mengejutkan, di kantor bank yang menyimpan uang Rp 1 miliar lebih tersebut tidak dilengkapi CCTV alias kamera perekam, dan alarm. Selain itu, tidak ada petugas keamanan profesional yang menjaga bank usai jam kerja.
Aneh memang. Wajar saja kalau muncul kecurigaan, ada yang tak beres di kantor bank itu. Imajinasi pasti melayang kepada keterlibatan orang dalam. Bukan mustahil lho. Apalagi para pelaku terlihat sangat paham pada seluk beluk situasi dalam kantor Bank BRI di kawasan perdagangan dan padat penduduk itu.
Tak lazim sebuah bank tak melengkapi tempat penyimpanan uang dengan CCTV dan alarm. Mestinya begitu brankas diusik oleh orang yang tak berwenang, alarm langsung menyalak. Apalagi sampai brankas dilas segala tidak ada yang tahu . Waduhhh..benar-benar unik.
Belajar dari berbagai kasus perampokan bank atau korporasi lain yang terkait dengan uang, hampir semua melibatkan orang dalam. Pelaku kejahatan tak akan begitu gegabah melakukan sebuah aksi spektakuler sebelum paham luar dalam mengenai sasarannya. Siapa yang tahu kondisi detail di objek sasaran? Tak ada lain kecuali orang dalam atau orang yang pernah bekerja di tempat itu.
Siapa sih yang tahu letak brankas dan cara membungkam kotak besi baja itu? Siapa pula yang bisa memberi informasi bahwa lokasi sasaran sudah 'clear' dari operasi penggarongan bisa dilakukan? Jangan buru-buru buruk sangka dan asal tuduh. Kalau saya jadi polisi, saya akan minta transkrip dan rekaman pembicaraan handphone semua karyawan, cleaning service, serta petugas keamanan BRI, mulai Kamis sore hingga malam harinya. Semoga saja Poltabes Pekanbaru bisa mengungkap misteri itu. (sebuah analisis/febby mahendra)

Rabu, 26 September 2007

KONTROVERSI PEMBUNUHAN SANDRIANI


SANDRIANI (22), mahasiswi Universitas Internasional Batam (UIB), jadi sosok menghebohkan. Ia ditemukan tewas terbunuh pada Senin (16/7/2007) di dekat hutan kawasan wisata Mata Kucing, Batam.
Sebelumnya, Jumat (13/7), ia dilaporkan hilang usai kuliah, sekitar pukul 21.00 WIB. Ketika ditemukan, mayat karyawan The Central Sukajadi tersebut dalam kondisi mengenaskan. Tangan dan kakinya diikat rafia, mulutnya diplester lakban.
Mayatnya setengah telanjang. Bagian tubuh di bawah perut sedikit rusak. Muncul dugaan kuat pembunuhan itu bermotif dendam. Berbagai informasi mengenai kisah asmara Sandriani dengan seorang pria bernama Yohanes yang dikenalnya melalui dunia maya (friendster). Begitu pula cerita mengenai seorang pria misterius yang pernah menjemput korban di kantor tapi sang gadis menolak jemputan itu.
Titik terang muncul ketika seorang sopir taksi plat hitam bernama Budi Hutahaean menelepon Polsek Sekupang, Batam, yang mengaku mengetahui pembunuhan Sandirani. Saat menelepon ia mengaku bernama Anton. Budi memberi petunjuk agar polisi dapat menemukan dirinya. Akhirnya Budi ditangkap di belakang rumahnya, kawasan Base Camp, Batuaji. Boleh dibilang Budi 'setengah menyerahkan diri'.
Ternyata Budi sosok kontroversial. Pertama ia mengaku hanya diminta mengemudikan taksi oleh orang bernama Ewin, Andi Chandra, dan Elvis. Taksi itu mengikuti sebuah mobil yang sebelumnya menjemput Sandriani di kampus. Dua orang dalam mobil lain itu tak dikenalnya. Di tengah jalan sepi, kawasan Tanjungriau, sang korban dihabisi dengan cara dicekik dalam mobil sang penjemput. Mayatnya dibuang di hutan dekat Mata Kucing.
Belakangan, Senin (24/9), polisi mempertontonkan Budi Cs ke hadapan wartawan. Nah, saat itu Budi membuat pengakuan mengejutkan. Ia mengubah cerita. Tak ada lagi cerita mengenai dua pria misterius yang menjemput Sandriani di kampus. Budi mengaku, Ewin sebagai aktor intelektual kasus itu dan masih buron, secara tidak sengaja melihat korban keluar dari kampus.
Tersangka menawari korban tumpangan, lalu melucuti barang-barangnya, termasuk mengambil uang Rp 100 ribu di rekening Sandriani melalui ATM. Kemudian mereka memperkosa rame-rame. Budi mengaku ikut memperkosa karena diancam akan dibunuh. Akhirnya korban dicekik Ewin hingga tewas. Polisi tampak puas pada pengakuan itu. Tugasnya tinggal memburu Ewin dan Anton yang masih buron.
Pisau bermata dua
Namun masih ada sejumlah pertanyaan yang tak terjawab:
1. Mengapa malam itu Sandriani mau masuk ke mobil yang menawarinya tumpangan, padahal dalam mobil ada empat pria. Bukankah Sandriani keturunan Tionghoa yang biasanya sensitif pada kondisi mencurigakan seperti itu.
2. Petugas keamanan (satpam) kampus yang bertugas malam itu tak melihat Sandriani pulang, termasuk keberadaan sedan hijau para tersangka. Apakah ada orang lain yang menjemput di halaman parkir kampus setelah sebelumnya menghubungi?
3. Mengapa para tersangka menyisakan uang Rp 150 ribu di rekening Sandriani, kalau memang motifnya perampokan?
4. Mengapa dokter forensik yang melakukan otopsi tidak menemukan sedikitpun bekas perkosaan, padahal ia digilir lima pria sekaligus?
5. Mengapa Budi kelamin Budi bisa dipakai untuk memperkosa padahal dia dalam keadaan ketakutan karena diancam?
6. Terakhir, mengapa Budi 'menyerahkan diri' dan sebelumnya bercerita kepada pacar dan keluarganya, kalau memang ikut melakukan tindakan biadab.
Sebenarnya tak terlalu sulit memecahkan misteri tersebut. Toh sebagian tersangka sudah tertangkap. Bisa jadi polisi punya skenario tersembunyi sehingga tampak kontroversial pada saat ini. Kalau berpikir positif, mungkin polisi menyamarkan cerita sebenarnya untuk memburu tersangka lain yang belum terpublikasikan. Ya biar tersangka yang namanya tak disebut-sebut selam ini merasa terlena dan melakukan kecerobohan. Semoga saja begitu.
Namun kalau sampai pada titik akhir nanti memang cerita Budi terakhir lah yang benar, kasus ini bisa menjadi sebuah studi menarik. Budi bakal mendapat dua gelar sekaligus, yaitu penjahat sekaligus pahlawan. Kalau Budi tak menelepon polisi, bisa saja kasus ini tak terkuak. (sebuah analisis, febby mahendra)

Digital People, Digital World


JANGAN bingung menyimak cover majalan Time di samping kiri itu. Kalau biasanya setiap tahun Time memilih sosok tertentu sebagai Man of the Year, pada 2007 justru tidak ada tokoh dunia yang dipilih sebagai Man of the Year 2006.
Lho apa yang tejadi? Time memilih masyarakat yang disimbolkan dengan kata "You (Anda)" sebagai sebagai Man of the Year. Alasannya, pada 2006 orang dapat dengan mudah mengekpresikan dirinya sendiri, baik dalam bentuk opini, uneg-uneg, maupun buah pikiran, dan lain, di internet setelah munculnya web 2.0. Berbagai blog alias website pribadi bermunculan bak cendawan di musin hujan.
Tak heran, IFRA, sebuah organisasi para penerbit internasional mengundang para penerbit dan editor in chief (pemimpin redaksi) untuk menghadiri sebuah konferensi di Dublin, Irlandia, 8-9 November 2007 mendatang. Saya tahu adanya acara itu setelah membaca sepucuk undangan yang tergeletak di meja kerja saya.
Tema konferensi itu sangat menarik dan ada hubungan erat dengan cover story Time, yaitu “Connecting with the Digital Consumer” alias menjalin hubungan dengan konsumen di era digital. Dalam pengantar undangan dikatakan, benturan revolusi digital dengan surat kabar konvesional –media massa cetak-- merupakan sebuah tantangan baru.
Fenomena itu sekaligus memberi kemungkin dan peluang-peluang baru, terutama dalam menjalin hubungan dengan konsumen media. Terjadi perubahan yang sangat dramatis pada tahun lalu akibat munculnya web 2.0. Para konsumen yang semula hanya sebagai pengguna pasif internet, tumbuh menjadi pengisi konten sesuai keinginan mereka.
Panita konferensi menggunakan kalimat menarik untuk mengajak para penerbit dan editor menghadirinya. “Jangan sia-siakan kesempatan untuk memahami tren-tren terkini di dunia online, dan saling bertukar pandangan dengan para pengusaha di seluruh dunia,” begitu kalimat penutup dalam undangan itu, disertai kalimat tambahan, “Kami menunggu Anda datang ke Dublin.”
Pembicara utama konferensi, Prof Dr Jo Groebel, Direktur German Digital Institute, akan memberi materi mengenai pelaku baru pengguna informasi, dan konsekuensi bagi penyedia informasi, yang menarik perhatian industri media. Kisi-kisi dari materi itu antara lain apa yang dicari konsumen web 2.0, dan apa pengaruh terhadap media konvensional .
Pembicara lain adalah para pengelola website dan portal yang pada intinya akan membahas pengembangan komunitas di era digital baik dari segi konten maupun penggarapan iklan.
Semua tema menarik. Saya sendiri pernah mengikuti konferensi yang digelar IFRA di Manila, Filipina, yang membahas mengenai multimedia, maret 2007. Semua pembicara mengungkapkan perlunya para penerbit mengintegrasikan media cetak dengan media online, dan video streaming melalui sebuah portal.
Langkah itu perlu dilakukan ya karena terjadi revolusi informasi menuju era digital. Media cetak tak mampu lagi memberikan informasi real time dan live kepada konsumen. Tak pelak, kalau para penerbit mati langkah, besar kemungkinan akan menjadi bagian dari sejarah masa lalu.
Membalik pola pikir
Rupanya Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang CEO-nya menjadi pengurus di IFRA cukup tanggap pada fenomena baru itu. Pada awal September, saya dan para pemimpin redaksi di daerah-daerah diundang untuk menghadiri rapat koordinasi pembentukan Megaportal Kompas.
Portal yang akan diberi nama Kompas.Com tersebut ya mirip dengan para provider (penyedia) jasa layanan informasi yang lain seperti yahoo, google, MSN, dll. Memang sebuah kerja berat, karena harus mengubah pola pikir dan kebiasaan kru media cetak, terutama para reporter hingga editor.
Informasi tidak bisa lagi ditunda hingga esok untuk sampai kepada konsumen. Up-dating berita terus menerus merupakan sebuah keniscayaan. Selain itu harus memberi ruang kepada masyarakat untuk dapat menyampaikan informasi secara langsung melalui media digital. Informasi yang diberikan masyarakat itu dikenal dengan istilah citizen journalism.
Pembuat informasi dan berita bukan lagi monopoli reporter reguler. Kebutuhan masyarakat menyampaikan opini. Di era digital, pendapat, gagasan, dan isi pikirannya tidak bisa lagi dibelenggu oleh para editor. Tak ada pilihan lain kecuali mewadahi komunitas digital itu, agar para penerbit dan produk media massa tidak menjadi bagian dari masa lalu. (febby mahendra)

Selasa, 25 September 2007

SAHUR BARENG ANAK YATIM

SAHUR BARENG- Asyik juga sahur bareng. Kalau buka puasa bareng sih sudah biasa. Kalau sahur bareng mah juaraanggg. Dari pemikiran, "Lebih Baik Sedikit Berbeda daripada Sedikit Lebih Baik," saya menggagas acara sahur bareng. Saya dan kru Tribun Batam melaksanakan untuk pertama kalinya di Masjid Babusallam, Dapur 12, Batam, Sabtu (23/9/2007). Lokasinya jauh, jalannya minta ampun deh jeleknya. Rombongan enam mobil bersama sejumlah sponsor (Indosat, McDonald, Ekstra Joss, dan Radio Sing FM) meluncur ke lokasi pada pukul 02.00 dini hari. Pokoknya seru abis. Tiga sahur bersama lagi. Siapa mau ikutan???


Perkelaminan


Perkelaminan

SABTU (5/8/2006) malam, kantor Redaksi Tribun Jabar kedatangan tamu. Seorang pria berambut panjang dan berkacamata. Selintas tak ada yang istimewa dari laki-laki berusia 28 tahun tersebut. Namanya Moammar Emka. Begitu memperkenalkan diri, langsung terbayang buku best seller Jakarta Undercover I, yang kontroversial itu. Buku itu mengupas kehidupan seks di luar nikah yang dilakukan kalangan papan atas di metropolitan.
Emka ke Bandung untuk ‘memasarkan’ buku terbarunya, In The Bed with Models. Seperti Jakarta Under Cover I, isi In The Bed with Models tak jauh dari urusan seks. Lebih spesifik lagi, seks di kalangan para model, mulai dari yang berklas supermodel hingga model jdi-jadian. Menurut sang penulis, para model yang menjadi narasumbernya melakukan ‘job sampingan’ sebagai pemuas seks para pria berduit .
Terasa gayeng berdialog dengan Emka selama dua jam. Selama kami bicara di ruang rapat, beberapa kali ia terima SMS dan telepon. “Ini, Mas, ada undangan party di Bandung. Mau Ikut? Saya jadi penasaran, apakah party di Bandung seheboh di Jakarta,” ujarnya. Tak lama kemudian pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, itu mendapat telepon. “Dari seorang eksekutif Bank BNI. Ia mengajak saya party. Jangan ditulis lho, Mas.” Katanya sambil tertawa lepas.
Penasaran membaca buku-buku Emka, saya tak melepas kesempatan itu untuk mengajukan barbagai pertanyaan ala presenter CNN Oprah Winfrey di Oprah Show yang sangat kondang itu. “Apa sampeyan mengalami sendiri peristiwa yang bikin bulu kaki merinding? Artinya apa sampeyan ikut di dalamnya,” tanya saya menggebu-gebu sambil membayangkan sex party yang ada dalam buku Jakarta Undercover I. “Lha iya tho Mas. Pekerjaan saya memang bergelut di dunia begituan. Isi buku saya itu sebenarnya menelanjangi saya sendiri, soalnya saya menjadi bagian dari mereka,” ujar alumnus Syarief Hidayatullah, IAIN Ciputat, Jakarta itu.
Wahhh…seru ya kalau bisa ikut dalam pesta begituan. Emka mengaku sudah qatam dengan semua tempat hiburan malam di Jakarta, termasuk lokasi-lokasi yang biasa dipakai untuk melakukan fantasi seksual. “Semua lokasi seperti itu di Jakarta punya empat orang saja. Konsepnya mengambil dari Thailand, Hongkong, dan Las Vegas. Kalau urusan begituan, Bandung kalah jauh dengan Jakarta Mas. Dengan Surabaya aja kalah kok,” kta Emka.
Buku-buku Emka laris bak kacang goreng, bahkan Jakarta Undercover I sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh sebuah penerbit di Singapura, untuk pasar Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Dalam waktu dekat ia berencana meluncurkan Jakarta Undercover II dan Jakarta Senang-senang. Dalam buku Jakarta Senang-senang, Emka menampilkan alamat dan nomor kontak semua tempat hibuaran malam di Jakarta, ya semacam guide book. “Tapi saya tidak bermaksud mengajari orang untuk bermaksiat lho. Nama dan alamat tempat hiburan itu mau dipakai untuk apa, ya terserah yang membaca,” katanya enteng.
Iseng saya tanya, apa saja yang telah diperolehnya dari hasil menulis buku-buku tersebut. “Saya punya 30 ekor sapi, Mas. Serius ini! Sapi-sapi itu ada di kampung, Tuban, Jawa Timur. Selain itu bisa beli rumah yang layak dan mobil. Tak kalah penting saya juga punya modal untuk membiayai penulisan buku-buku selanjutnya. Hidup di dunia gaul itu mahal lho Mas,” terangnya.
Ada yang menarik di tengah obrolan dengan pria yang masih melajang itu. Sebelum diluncurkan ke pasar, isi, cara penyajian, hingga judul setiap bab dan cover memalui proses diskusi. Diskusi pertama dilakukan sebuah panel yang terdiri dari para pelajar SMA, mahasiswa, dan orang-orang yang akrab dengan dugem. Hasilnya dipertajam lagi di panel kedua beranggotakan kru dari penerbit dan orang lingkar dalam sekitar Emka. “Diskusinya seru… Ya itu dimaksudkan agar buku tersebut dapat diterima pasar,” katanya serius.
Ahhhh… ternyata buku semacam itu harus melalui proses quality control juga ya. Apalagi sebuah surat kabar harian yang konon merupakan karya intelektual di bidang jurnalistik. Perlu pendapat ‘orang luar’ untuk menilai sebuah karya. Tak perlu malu. Apalagi surat kabar kini bukan sekadar media informasi saja tetapi sudah menjadi entitas bisnis.Naif rasanya kalau terlalu pede (percaya diri) kepada quality control yang dilakukan intern sebuah surat kabar. Dalam situasi dilingkungi rutinitas, tak mustahil kepekaan kalangan internal menjadi tumpul.
Rupanya, Emka dan timnya sangat memahami teori kebutuhan ala Abraham Maslow. Menurut pakar sosiologi ekonomi tersebut, seks dengan segala fantasinya merupakan bagian terpenting dari kehidupan dasar manusia. Seks tidak dibatasi dimensi ruang, tempat, dan waktu. Seks mampu menembus dimensi. Pakar psikologi analisa, Sigmund Freud, bahkan menyebut seluruh aktivitas manusia digerakkan oleh apa yang disebut nafsu seks.
Tak heran kalau kemudian majalah pria dewasa yang mengadopsi induknya di Amerika Serikat (AS), Playboy Indonesia, menjadi pembicaraan hangat. Pokoknya seru abiss deh!!! Dicaci sekaligus bikin penasaran sehingga selalu ditunggu kehadirannya. Petinggi negara setingkat Wakil Presiden Jusuf Kalla, sampai ikut membverikan komentar terhadap kehadiran Play Boy Indonesia. Ya boleh dibilang seorang Wapres ikut nimbrung bicara terkait seks.
Saya kemudian berpikir, bagaimana ya caranya menampilkan berita dengan topik seks dan seksualitas di media cetak harian tapi tidak vulgar, tidak memancing kontroversi, dan kontraproduktif. Barangkali saya harus bergaul lebih akrab dan lebih dalam dengan orang semacam Moammar Emka. Dengan begitu saya sekaligus berkesempatan melihat dengan mata kepala sendiri dan merasakan bagaimana mendebarkannya berada di tengah perempuan cantik yang bergaya bak manusia purba, tanpa busana. Huahahahahahahaha… Tapi saya kan punya istri yang setia menunggu di rumah dan empat gadis kecil hasil perkawinan kami. Ahhh bingung euy!!!! (febby mahendra/medio Agustus 2006)

Senin, 24 September 2007







SENI. Orang perlu menumbuhkan kecerdasan emosional alias mengaktifkan peran otak kanan. Satu caranya dengan belajar main musik. Dua anak saya, Shena (kiri) dan Shefi (kanan) tengah tampil dalam konser kecil-kecilan yang digelar sekolah musik tempat mereka belajar. Ya, meskipun belum mahir betul, tapi lumayan lah buat melatih olah rasa dan mengaktifkan otak kanan.

Minggu, 23 September 2007

Political show ala SBY


Political Show ala SBY

ANTIKLIMAKS perseteruan antara Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution dan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan terjadi di Kantor Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sabtu (22/9). SBY bersama Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assihiddiqie menjadi mediator islah (perdamaian), dengan hasil BPK bisa mengaudit pengelolaan dana yang berasal dari biaya perkara setelah adanya peraturan pemerintah (PP) sebagai dasar hukum.

PUNCAK perseteruan dua pejabat lembaga tinggi negara itu terjadi ketika Anwar Nasution melaporkan Bagir Manan ke Mabes Polri 13 September lalu. Tuduhannya tidak main-main, yaitu Bagir menghalang-halangi tugas BPK mengaudit keuangan lembaga negara berdasarkan Undang- undang (UU) No 15 Thn 2004 tentang Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.Sebelum terjadi islah Bagir bersikeras biaya perkara bukan merupakan objek pemeriksaan BPK karena tidak termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
MA mendasarkan diri pada UU No 20 thn 2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dalam pasal 2 tidak menyebut biaya perkara sebagai PNBP karena hanya bersifat titipan.Penyelesaian silang sengkarut melalui mediasi oleh Presiden dan Ketua Mahkamah Konstitusi menimbulkan pro dan kontra. Pihak yng mendukung menyebut, penyelesaian out of court ( di luar lembaga peradilan) tersebut merupakan langkah elegan, cepat, dan lebih efektif daripada penyelesaian melalui pengadilan.
Hanya dengan serangkaian pembicaraan selama beberapa hari dan berpuncak dengan pertemuan empat pihak di Kantor Presiden, dihasilkan penyelesaian win-win solution. Tak perlu bertele-tele melewati proses penyidikan di Mabes Polri hingga persidangan pidana di pengadilan atau pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi.Pihak yang kontra menyebut langkah Presiden merupakan intervensi dan mencedarai proses law enforcement (pengakan hukum).
Langkah politis tersebut dinilai tidak mendidik. Muncul kesan solusi yang dihasilkan merupakan hasil kompromi sehingga akan menjadi preseden buruk di kemudian hari.Munculnya pro dan kontra merupakan sebuah kewajaran di alam demokrasi. Kelompok pro dan kontra mempunyai logikan sendiri yang kalau dicermati dapat diambil hikmah terpentingnya.
Pepatah tua dari Tiongkok menyatakan, kalau ingin mendinginkan air panas di tungku, lebih tepat mengambil kayu bakar yang menyala di bawahnya.Makna dari pepatah itu, kalau ingin menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien, cari akar persoalan. Dari kasus silang pendapat antara BPK dan MA tersebut dapat diketahui adanya ketidak selarasan antara dua UU.
Sebuah fenomena yang sering terjadi di negeri ini sehingga memicu terjadinya konflik.Muncul pertanyaan, apakah kontradiksi antara satu UU dengan UU lainnya dapat diselesaikan melalui penerbitan sebagai Peraturan Pemerintah? Bukankah secara hirarkis Peraturan pemerintah punya derajd lebih rendah daripada UU? Secara formal yuridis jawabanya yang muncul dari dua pertanyaan itu adalah Peraturan Pemerintah tidak bisa meniadakan sebuah ketentuan UU karena derajadnya lebih rendah.
Dari sudut pandang prosedural, yang punya kewenangan menyelesaikan kontradiksi antar-UU adalah Mahkamah Konstitusi.Selain itu, bisa juga dilakukan penyelesaian melalui amandemen (perubahan) UU yang dilakukan DPR agar terjadi sinkronisasi alias keselarasan. Tak heran kalau kemudian muncul anggapan bahwa solusi konflik BPK dan MA yang dilakukan di Kantor Presiden bersifat kompromistis dan bisa menjadi bom waktu.Oleh karena itu, alangkah lebih bijaksana kalau solusi kompromi tersebut ditindaklanjuti dengan penyempurnaan UU. Rasanya lebih elegan dan dapat menyelesaikan akar persoalan tanpa ada pihak yang merasa dikorbankan. (febby mahendra)
Testing