Jumat, 04 Juli 2008

GONJANG-GANJING NEGERI JIRAN


NEGERI tetangga, Malaysia, tengah dilanda gonjang-ganjing. Seru, bahkan boleh dibilang sangat seru!
Dalam seminggu ini suhu politik bahkan melonjak, kian panas. Mantan Wakil Perdana Menteri Datuk Anwar Ibrahim yang kini menjadi tokoh oposisi menjadi lakon dari gejolak politik di Negeri Jiran itu
Setelah enam tahun menghuni penjara, ia kembali ke kancah politik melalui kendaraan politik bernama Partai Keadilan Rakyat (PKR). Partai itu dipimpin istrinya, Wan Azizah Wan Ismail, sedang Anwar secara formal menjabat Penasihat PKR.
Pada Pemilu Parlemen Maret 2008 lalu, koalisi partai oposisi berjaya. Sebanyak 88 kursi parlemen negara federal berhasil diraih, dan pemerintahan di lima negara bagian lepas dari tangan Barisan Nasional --koalisi partai berkuasa dikomandani UMNO-- yang dipimpin Perdana Menteri Abdullah Badawi. Anwar terus melaju. Ia berniat merebut kekuasaan di Malaysia.
Tak dinyana, Sabtu (28/6), seorang sukarelawan PKR Saiful Bukhari Azlan (23) bikin kejutan. Ia membuat laporan tertulis kepada polisi, isinya mengaku diliwat (disodomi) oleh Anwar Ibrahim di sebuah apartemen mewah pinggilan Kota Kuala Lumpur, 26 Juni 2008.
Anwar tersentak. Dengan cepat, Minggu (29/6), ia membuat manuver politik yaitu minta perlindungan ke rumah dinas Duta Besar Turki Ozermen. Anwar beralasan nyawanya terancam. Konon, kontak Anwar di pemerintahan dan intelijen militer membisikkan info bahwa agen UMNO bakal menyerang dan membunuh dirinya.
Selain itu, Anwar langsung menuding rejim Badawi berada di balik laporan Saiful. Apalagi Anwar dan PKR punya bukti Saiful dekat dengan para pejabat pemerintahan termasuk Wakil Perdana Menteri Najib Razak. "Ini adalah rekayasa kedua terhadap diri saya, setelah 10 tahun lalu saya dihinakan dengan tuduhan serupa. Sekali lagi ini sebuah rekayasa," ujar Anwar sengit.
Awalnya Najib mengaku tak mengenal Saiful. Sebuah bantahan khas pejabat. Belakangan, Najib mengakui, sehari sebelum melapor ke polisi, Saiful menemui dirinya. "Ia datang menemui saya. Saat itu ia sangat trauma. Ia bilang sangat membutuhkan bantuan akibat disodomi Anwar Ibrahim. Saya tak menyarankan agar ia melapor ke polisi," ujar Najib Razak, Kamis (3/7).
Sebuah pengakuan aneh. Seorang pejabat tinggi mau menerima seorang pemuda yang mengaku sedang terlilit persoalan pribadi. Aneh, sang pejabat mengaku tak menyarankan agar Saiful melaporkan kejadian yang dialaminya kepada polisi. Lalu, untuk apa Saiful mendatangi Najib?
Tak ada jawaban, apa yang dilakukan Najib setelah menerima keluhan Saiful?
Cepat berubah
Di tengah kontroversi soal kasus sodomi II tersebut, tiba-tiba muncul seorang pria bernama Balasubramaniam Perumal. Ia mengaku mantan anggota Polisi Diraja Malaysia yang kemudian mengundurkan diri dan alih profesi sebagai detektif swasta. Bala juga mengaku pernah menjadi pengawal Abdul Razak Baginda, penasihat politik Najib Razak yang kini menjalani hukuman akibat terlibat kasus pembunuhan wanita Mongolia bernama Altantuya Shaariibuu.
Kamis, Bala melontarkan kesaksian di bawah sumpah di depan Komisi Penyumpahan. Isinya sangat mengejutkan, menggetarkan seantero Negeri Jiran. Ia mengaku menjadi saksi mata keterlibatan Najib Razak dalam pembunuhan Altantuya alias Aminah. Lebih heboh lagi, pernyataan tertulis Bala dibacakan oleh Anwar Ibrahim dalam sebuah jumpa pers yang dihadiri Bala dan pengacaranya.
Bala bahkan berani menyatakan bahwa Altantuya sebenarnya kekasih gelap Najib yang kemudian diserahkan kepada Abdul Razak Baginda. Bukan itu saja, selama menjalin hubungan asmara dengan Najib, Altantuya dipaksa melakukan anal seks. Kepala Polisi Diraja Malaysia terlibat dalam merekayasa penyidikan sehingga kesaksian Bala tak masuk dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan sama sekali tak disinggung di persidangan.
Di tengah kegemparan, kurang dari 24 jam kemudian Bala membatalkan kesaksian di bawah sumpah itu. Uniknya, Bala hanya mengatakan kesaksian sebelumnya dibuat di bawah tekanan, tanpa menyebut siapa yang melakukan tekanan. Aneh, Bala tak mau menjawab pertanyaan wartawan. Ia memilih bungkam.
Balasubramaniam menjadi misteri baru setelah Saiful Bukhari. Siapa dua orang itu? Apakah mereka punya keterkaitan? Waktu juga yang nanti akan menjawab misteri itu. Lakon Anwar Ibrahim menjadi bertambah panjang. Jagad politik Malaysia jungkir balik. Politic-criminal circumtance.
Mirip cerita pengungkapan kasus pembunuhan Munir di Indonesia. Sama-sama mbulet karena melibatkan sejumlah tokoh penting. Namun, karut marut di Malaysia mengindikasikan sendyakalaning (masa akhir) rejim Badawi dan Barisan Nasional. Badawi tak lagi bisa mengontrol situasi. Kewibawaannya anjlok, mirip seperti Soeharto di awal 1998 lalu.
Tentara mulai dipersiapkan menghadapi aksi-aksi kelompok oposisi. Sebuah sinyal pelibatan militer dalam urusan kamtibmas yang sebelumnya menjadi tabu bagi negara penganut sistem demokrasi parlementer.
Anwar Ibrahim menggunakan jargon yang dipakai para mahasiswa dan tokoh pembaharu Indonesia pada 1997-1998, yaitu reformasi. Anwar seolah ingin mencontoh sukses kelompok prodemokrasi Indonesia dalam menumbangkan Soeharto. Momentumnya mirip.
Rejim Badawi baru saja menaikkan harga BBM, setelah bertindak represif terhadap kelompok masyarakat keturunan India yang tergabung dalam organisasi bernama Hindraf dan kehilangan banyak dukungan dalam Pemilu Parlemen. Perekonomian dan politik Malaysia lagi goyah. Isu korupsi di kalangan ruling elite menyeruak.
Selayaknya Malaysia belajar pada transisi politik dan ekonomi di Indonesia. Darah tertumpak, ketidakpastian menyeruak, saling hujat, fitnah, dan aksi kekerasan. Hasil reformasi tak seperti dibayangkan. Jauh panggang dari api. Malaysia memang bukan Indonesia, begitu sebaliknya, Mungkin lebih baik, tak mustahil lebih buruk.
Keterangan foto: Anwar Ibrahim bersama Balasubramaniam, Kamis (4/7).

Senin, 02 Juni 2008

PASIR PANJANG YANG MERANA


PASIR Panjang. Sebuah pantai di Singkawang, Kalimantan Barat. Sesuai namanya, pantai itu memang panjang, lebih dari 1 km, lengkap dengan pasirnya yang berwarna putih
Pasirnya memang menawan, air laut di pantai cukup bersih. Tak heran banyak orang memanfaatkan pantai tersebut sebagai lokasi berenang atau sekadar bermain air laut.
Berbeda dengan pantai di Bali atau di Batam, Pantai Pasir Panjang boleh dibilang tak dikelola dengan baik. Di sana-sini sampah betebaran, sehingga mengurangi pesona sang pantai.
Di Bali dan di Batam, selain pantai untuk umum, ada bagian tertentu yang diserahkan kepada hotel untuk mengelolanya. Dengan kata lain di dekat pantai di bangun hotel dan diberi hak untuk mengelola pantai.
Pantai yang dikelola hotel memang lebih terurus karena biasanya dipakai sebagai daya tarik bagi para tamu.
Ketika mengunjungi Pantai Pasar Panjang, bisa jadi biang dari salah urus pantai itu karena semuanya masih dikelola pemerintah daerah. Potensi yang mampu mendatangkan benefit itu hanya diurus ala kadarnya. Tak profesional.
Saya sempat membayangkan ada hotel --setidaknya bintang tiga-- yang berada di dekat Pantai Pasir Panjang yang mendapat hak untuk mengelola sebagian dari pantai, pasti lah akan menjadi lokasi hang out yang cantik. Apalagi kalau ditambah dengan permainan air, semacam jet sky dan kano.
Kurang nyaman rasanya menikmati sunset atau sunrise sambil melihat tumpukan sampah di kanan kiri. Begitu pula tak tenang berenang dan bermain air laut ditemani sampah bekas mekanan yang mengambang di pantai.

Sabtu, 31 Mei 2008

BUKIT DAENG MANAMBON






KALIMANTAN Barat. Sebuah kawasan yang baru saya kenal secara fisik pada Februari 2008. Kebetulan ditugaskan ke wilayah itu untuk membantu rekrutmen calon wartawan dan redaktur. Ceritanya, Pers Daerah (Persda) Kompas Gramedia berniat membuat media cetak baru di kawasan yang dilewati garis katulistiwa itu.



Begitu mendarat di Bandara Supadio, Kabupaten Kubu Raya, hawa panas mulai terasa. Masih untung ada angin sehingga sedikit mengurangi rasa gerah. Bandara Supadio hanya sekitar 2o menit perjalanan dengan mobil dari Kota Pontianak, melewati kawasan persawahan dan bangunan baru di kanan kiri jalan.
Sejak saat itu, Pontianak dan sekitarnya bukan lagi menjadi daerah yang asing. Apalagi ketika harus mendampingi kawan-kawan calon wartawan dan redaktur ketika menjalani pelatihan yang dimulai awal Maret 2008. Tambah kenalan baru lagi, dengan situasi yang hampir sama persis dengan ketika mulai membangun koran baru di daerah lain.
Di sela jadwal pelatihan yang padat, saya sempatkan bertandang ke beberapa kota di sekitar Pontinak, seperti Singkawang dan Mempawah. Kata orang, belum afdol rasanya kalau sudah sampai Pontianak tapi belum menyempatkan diri berkunjung ke Singkawang.
Kota Singkawan, sekitar 175 km dari Kota Pontianak atau sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil. Sedangkan Mempawah, ibukota Kabupaten Pontianak, berada di antara Pontianak dan Singkawang.
Di dekat Mempawah ada sebuah bukit yang unik. Sebut saja bukit itu bernama Bukit Opu Daeng Manambon. Saya sebut begitu karena di bukit itu dimakamkan seorang tokoh bernama Opu Daeng Manambon Ibnu bin Tandre Borong Daeng Rilaga.
Makam itu banyak dikunjungi orang. Tak pelak saya dan dua kawan lainnya, Nor Sucioto (mantan Pemimpin Perusahaan Banjarmasin Post) dan Andi Asmadi (mantan Redaktur Pelaksana Tribun Batam), tertarik mengunjungi lokasi tersebut. Seperti apa sih makan di atas bukit itu.
Maklum, di Pontianak dan sekitarnya sangat jarang ada bukit. Ketika kami menuju lokasi, setelah beberapa kali bertanya-tanya pada warga sekitar, ternyata jalanan dalam kondisi buruk. Jalan aspal sepanjang sekitar 7 km penuh lubang dan rusak cukup parah.
Mobil Toyota Avanza warna silver hanya bisa dipacu sekitar 30 km per jam. Perjalanan berubah menjadi membosankan. "Kapan sampainya kalau begini," ujarku sambil mengendalikan stir mobil baru itu.
Kami melewati kampung miskin yang tinggal di rumah sederhana dilengkap dengan drum penampung air hujan. Tak ada saluran air bersih made in PDAM. Uniknya, di antara rumah-rumah sederhana itu ada tulisan aksara Cina warna kuning di atas kertas merah.
Rupanya sang empunya rumah warga keturunan Tionghoa. Mereka tampak sudah berbaur lama dengan warga dari etnis lainnya. Hanya warna kulit yang membedakan mereka dengan warga lainnya. Kulit mereka tetap kuning meski tak mudah mendapatkan air bersih di lokasi itu.
Sebelum sampai ke makam Daeng Manambon, ada sebuah makan Tionghoa di bukit tersebut. Tampak tak terurus, padahal jumlahnya cukup banyak. Situasinya sepi, di tengah semak belukar dan pepohonan.
Berbeda halnya dengan kompleks makam Daeng Manambon. Ada tempat parkir cukup luas dan gapura khas Kalimantan Barat. Ratusan anak tangga, konon berjumlah 263, membentang di depan mata. Lokasi tersebut terasa rindang, seolah ingin mengusir hawa panas yang menyengat.
Sebuah bangunan yang di dominasi warna hijau dan kuning menaungi sebuah pusara. Di nisan dari batu marmer tertulis nama almarhum. Di dekatnya, ada sebuah nisan lain bertulis Syech HM Ibnu Syech H Abdur Rahim Somad. "Yang itu makam guru Opu Daeng Manambon," ujar seorang perempuan pengunjung makam itu, sambil menunjuk pusara Syech HM Ibnu.
Siapa Daeng Manambon? Ia adalah penguasa Kerajaan Mempawah yang bergelar Pangeras Mas Surya Negara. Jauh sebelum Opu Daeng Manambon memerintah di Mempawah, Patih Gumantar sudah mendirikan Kerajaan Bangkule Rajakng di Pegunungan Sidiniang.
Setelah Patih Gumantar gugur dalam peperangan Kayau Mengayau (memenggal kepala manusia) melawan Kerajaan Biaju atau Bidayuh di Sungkung (kini bernama Siding, Kabupaten Bengkayang), masa kejayaan kerajaan ini pun memudar.
Beberapa abad kemudian, sekitar tahun 1610, Kerajaan Bangkule Rajakng bangkit kembali di bawah pemerintahan Raja Kudong. Pusat pemerintahan dipindahkan dari Sidiniang ke Pekana (Karangan). Setelah Raja Kudong wafat, pemerintahan diambil alih oleh Panembahan Senggaok. Dari perkawinan dengan Puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri, Sumatera, lahirlah seorang anak perempuan bernama Mas Indrawati.
Setelah pemerintahan Panembahan Senggaok berakhir, kerajaan tersebut akhirnya diperintah oleh Opu Daeng Manambon, yang datang dari Matan (Ketapang) menuju Sebukit, Mempawah menggunakan 40 perahu layar khas Bugis (pinisi). Opu Daeng Manambon bersama para pengikutnya disambut Pangeran Adipati dengan sebuah ritual dan makan saprahan.
Melihat runutan itu, boleh dibilang Bukit Daeng Manambon merupakan peninggalan sejarah. Sayang akses jalan menuju lokasi itu tak terurus. Selain itu lingkungan di sekitar makam dipenuhi sampah.
Andai saja jalan menuju tempat itu mulus, tak mustahil mampu menyedot pengunjung. Apalagi kalau sungai di dekat tempat parkir dikelola menjadi wisata air dan pemancingan. Bisa jadi kondisi ekonomi warga setempat bisa terangkat, tidak lagi miskin papa seperti sekarang ini. Semoga!