Sabtu, 31 Mei 2008

BUKIT DAENG MANAMBON






KALIMANTAN Barat. Sebuah kawasan yang baru saya kenal secara fisik pada Februari 2008. Kebetulan ditugaskan ke wilayah itu untuk membantu rekrutmen calon wartawan dan redaktur. Ceritanya, Pers Daerah (Persda) Kompas Gramedia berniat membuat media cetak baru di kawasan yang dilewati garis katulistiwa itu.



Begitu mendarat di Bandara Supadio, Kabupaten Kubu Raya, hawa panas mulai terasa. Masih untung ada angin sehingga sedikit mengurangi rasa gerah. Bandara Supadio hanya sekitar 2o menit perjalanan dengan mobil dari Kota Pontianak, melewati kawasan persawahan dan bangunan baru di kanan kiri jalan.
Sejak saat itu, Pontianak dan sekitarnya bukan lagi menjadi daerah yang asing. Apalagi ketika harus mendampingi kawan-kawan calon wartawan dan redaktur ketika menjalani pelatihan yang dimulai awal Maret 2008. Tambah kenalan baru lagi, dengan situasi yang hampir sama persis dengan ketika mulai membangun koran baru di daerah lain.
Di sela jadwal pelatihan yang padat, saya sempatkan bertandang ke beberapa kota di sekitar Pontinak, seperti Singkawang dan Mempawah. Kata orang, belum afdol rasanya kalau sudah sampai Pontianak tapi belum menyempatkan diri berkunjung ke Singkawang.
Kota Singkawan, sekitar 175 km dari Kota Pontianak atau sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil. Sedangkan Mempawah, ibukota Kabupaten Pontianak, berada di antara Pontianak dan Singkawang.
Di dekat Mempawah ada sebuah bukit yang unik. Sebut saja bukit itu bernama Bukit Opu Daeng Manambon. Saya sebut begitu karena di bukit itu dimakamkan seorang tokoh bernama Opu Daeng Manambon Ibnu bin Tandre Borong Daeng Rilaga.
Makam itu banyak dikunjungi orang. Tak pelak saya dan dua kawan lainnya, Nor Sucioto (mantan Pemimpin Perusahaan Banjarmasin Post) dan Andi Asmadi (mantan Redaktur Pelaksana Tribun Batam), tertarik mengunjungi lokasi tersebut. Seperti apa sih makan di atas bukit itu.
Maklum, di Pontianak dan sekitarnya sangat jarang ada bukit. Ketika kami menuju lokasi, setelah beberapa kali bertanya-tanya pada warga sekitar, ternyata jalanan dalam kondisi buruk. Jalan aspal sepanjang sekitar 7 km penuh lubang dan rusak cukup parah.
Mobil Toyota Avanza warna silver hanya bisa dipacu sekitar 30 km per jam. Perjalanan berubah menjadi membosankan. "Kapan sampainya kalau begini," ujarku sambil mengendalikan stir mobil baru itu.
Kami melewati kampung miskin yang tinggal di rumah sederhana dilengkap dengan drum penampung air hujan. Tak ada saluran air bersih made in PDAM. Uniknya, di antara rumah-rumah sederhana itu ada tulisan aksara Cina warna kuning di atas kertas merah.
Rupanya sang empunya rumah warga keturunan Tionghoa. Mereka tampak sudah berbaur lama dengan warga dari etnis lainnya. Hanya warna kulit yang membedakan mereka dengan warga lainnya. Kulit mereka tetap kuning meski tak mudah mendapatkan air bersih di lokasi itu.
Sebelum sampai ke makam Daeng Manambon, ada sebuah makan Tionghoa di bukit tersebut. Tampak tak terurus, padahal jumlahnya cukup banyak. Situasinya sepi, di tengah semak belukar dan pepohonan.
Berbeda halnya dengan kompleks makam Daeng Manambon. Ada tempat parkir cukup luas dan gapura khas Kalimantan Barat. Ratusan anak tangga, konon berjumlah 263, membentang di depan mata. Lokasi tersebut terasa rindang, seolah ingin mengusir hawa panas yang menyengat.
Sebuah bangunan yang di dominasi warna hijau dan kuning menaungi sebuah pusara. Di nisan dari batu marmer tertulis nama almarhum. Di dekatnya, ada sebuah nisan lain bertulis Syech HM Ibnu Syech H Abdur Rahim Somad. "Yang itu makam guru Opu Daeng Manambon," ujar seorang perempuan pengunjung makam itu, sambil menunjuk pusara Syech HM Ibnu.
Siapa Daeng Manambon? Ia adalah penguasa Kerajaan Mempawah yang bergelar Pangeras Mas Surya Negara. Jauh sebelum Opu Daeng Manambon memerintah di Mempawah, Patih Gumantar sudah mendirikan Kerajaan Bangkule Rajakng di Pegunungan Sidiniang.
Setelah Patih Gumantar gugur dalam peperangan Kayau Mengayau (memenggal kepala manusia) melawan Kerajaan Biaju atau Bidayuh di Sungkung (kini bernama Siding, Kabupaten Bengkayang), masa kejayaan kerajaan ini pun memudar.
Beberapa abad kemudian, sekitar tahun 1610, Kerajaan Bangkule Rajakng bangkit kembali di bawah pemerintahan Raja Kudong. Pusat pemerintahan dipindahkan dari Sidiniang ke Pekana (Karangan). Setelah Raja Kudong wafat, pemerintahan diambil alih oleh Panembahan Senggaok. Dari perkawinan dengan Puteri Raja Qahar dari Kerajaan Baturizal Indragiri, Sumatera, lahirlah seorang anak perempuan bernama Mas Indrawati.
Setelah pemerintahan Panembahan Senggaok berakhir, kerajaan tersebut akhirnya diperintah oleh Opu Daeng Manambon, yang datang dari Matan (Ketapang) menuju Sebukit, Mempawah menggunakan 40 perahu layar khas Bugis (pinisi). Opu Daeng Manambon bersama para pengikutnya disambut Pangeran Adipati dengan sebuah ritual dan makan saprahan.
Melihat runutan itu, boleh dibilang Bukit Daeng Manambon merupakan peninggalan sejarah. Sayang akses jalan menuju lokasi itu tak terurus. Selain itu lingkungan di sekitar makam dipenuhi sampah.
Andai saja jalan menuju tempat itu mulus, tak mustahil mampu menyedot pengunjung. Apalagi kalau sungai di dekat tempat parkir dikelola menjadi wisata air dan pemancingan. Bisa jadi kondisi ekonomi warga setempat bisa terangkat, tidak lagi miskin papa seperti sekarang ini. Semoga!