Senin, 30 November 2009

BPK VERSUS BI, SERU!!!


LAIN Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lain pula Bank Indonesia (BI). Silang sengkarut antara BPK dan BI terjadi dalam memandang kasus Bank Century yang mendapat dana penempatan modal sementara (PMS) dari Lembaga Penjamin Simpanan sebesar Rp 6,75 triliun.
Hasil audit investigasi BPK terhadap PMS di Bank Century menyebutkan terjadi beberapa penyimpangan. Sorotan utama diarahkan kepada terbitnya keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani, 21 November 2008, untuk menyelamatkan Bank Century. Begitu pula tindakan BI memberikan fasiltas pinjaman jangka pendek (FPJP) Rp 689,394 miliar kepada Bank Century pada 14 November dan 17 November 2008 --sebelum dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik-- karena mengalami krisis likuiditas.
BPK berpendapat, Bank Century tidak layak mendapat FPJP karena rasio kecukupan modalnya tidak mencapai 8 persen (maksudnya 8 persen dari total dana pihak ketiga di bank bersangkutan) seperti dipersyaratkan dalam Peraturan BI. BPK mencatat, pada saat mendapat FPJP tahap pertama sebesar Rp 356,813 miliar, 14 November 2008, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) negatif/minus 3,53 persen.
Selain itu pemberian FPJP tidak disertai jaminan senilai minimal 150 persen dari dana yang dikucurkan BI untuk membantu menstabilkan likuiditas Bank Century. Menurut BPK jaminan yang diberikan Bank Century hanya 80 persen.
Begitu pula keputusan KSSK dianggap tidak punya dasar yang jelas. BPK menyebut keputusan yang menyebutkan Bank Cenutry sebagai bank gagal berdampak sistemik hanya berdasarkan judgement semata.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Bank Indonesia meradang. BI memberi penjelasan panjang lebar mengenai dua sorotan utama itu. Intinya, hasil audit investigasi BPK tidak benar dan tidak mempertimbangkan penjelasan Menteri Keuangan dan BI.
BI membantah rasio kecukupan modal Bank Century saat pemberian FPJP dalam kondisi negatif/minus. Hingga 30 September 2008 rasio kecukupan modal Century sebesar 2,5 persen. Mengenai jumlah jaminan, BI menyatakan perhitungan yang dilakukan BPK kurang tepat sehingga jumlahnya tidak mencapai 150 persen dari FPJP.
Aliran dana Century
Begitu pula mengenai keputusan menyatakan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, didasari oleh parameter-parameter yang jelas. BI menyebut keputusan itu merupakan profesional judgement.
Jadilah dua lembaga negara dalam posisi head to head. Mana yang benar?? Entah!! Waktu juga yang akan membuktikan, siapa yang benar. Di tengah berdebatan itu muncul publikasi mengenai aliran dana Bank Century ke sejumlah pihak ke lingkar dalam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Publikasi yang disampaikan Jaringan Aktivis, Senin, 30 November 2009, tersebut boleh dibilang mengejutkan. Dana Century yang mengalir ke sejumlah tokoh (di antaranya menteri Kabinet Indonesia Bersatu II), institusi swasta, partai politik, dan lembaga penyelenggara pemilu itu mencapai Rp 1,8 triliun.
Validkah data itu? Jaringan Aktivis mengaku siap bertanggungjawab bahkan hingga ke pengadilan kalau data aliran dana itu bohong belaka. Mereka mengaku mendapat data tersebut dari orang dalam lembaga negara. Padahal lembaga yang punya wewenang dan akses ke pembukuan bank hanya Bank Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK).
PPATK hanya memberi lontaran adanya 50 transaksi mencurigakan di Bank Century yang melibatkan 17 pihak (perorangan dan institusi). Apakah 17 pihak segaris dengan temuan Jaringan Aktivis? Belum jelas...
BPK sendiri tidak punya akses terhadap hasil pemeriksaan yang dilakukan PPATK karena terkendala ketentuan undang-undang. PPATK hanya bisa memberikan hasil penelusuran kepada penyidik Polri dan kejaksaan.
Heboh Century tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Ongkos sosial dan politik hingar bingar kasus Bank Century, tidak kecil. Apalagi setelah para politisi pengagas hak angket (hak melakukan penyelidikan) melakukan manuver tajam dengan menggelar safari politik ke sejumlah tokoh nasional.
Kalau tak dikelola dengan benar, isu kasus Bank Century bakal menjadi bola liar, menghantam ke sana ke mari. Tak mustahil akan memporakporandakan struktur bangunan politik yang dibangun dengan susah payah dan biaya luar biasa banyak melalui pemilu legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden 2009.
Diakui atau tidak, kasus Century mengarah kepada pimpinan nasional, Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono. Saat penyelamatan Bank Century dilakukan, Boediono menjabat Gubernur Bank Indonesia . Tak pelak, kasus Century merupakan isu yang panasnya berlipat-lipat dibanding kasus kriminalisasi terhadap dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Semoga saja tak sampai membakar habis negeri ini......

Caption foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Plt Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution

Jumat, 27 November 2009

TEKA-TEKI UANG BUDI SAMPOERNA


BUDI Sampoerna. Sebuah nama yang tercatat sebagai seorang deposan kakap Bank Century sebelum lembaga keuangan tersebut diambil alih pengelolaannya oleh Lambaga Penjamin Simpanan (LPS).
Konon, keluarga mantan pemilik PT HM Sampoerna (perusahaan rokok besar) tersebut mempunyai deposito sebesar Rp 2 triliun di Bank Century.
Setelah Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal akibat kesulitan likuiditas, nama Budi Sampoerna mendadak meroket. Pasalnya, duit Budi sebesar 18 juta dolar AS tak dapat dicairkan meski ia memegang warkat deposito yang diterbitkan Bank Century.
Wajar saja kalau Budi panik. Uang 18 juta dolar AS atau setara Rp 180 miliar bukan sedikit. Manajemen baru Bank Century menolak mencairkan uang tersebut dengan alasan di pembukuan yang disusun manajemen lama, saldo deposito Budi nol alias kosong melompong. Lho kok bisa? Pemilik lama Bank Century, Robert Tantular, mengaku deposito tersebut dipinjam dirinya atas persetujuan sang deposan. Namun Budi membantah keras dan menuding Robert Tantular tak lebih dari seorang pencuri yang menggarong duitnya.
Perjalanan uang itu boleh dibilang unik. Fulus yang semula disimpan di Bank Century Cabang Surabayatersebut dipecah menjadi 247 Negotiable Certificate Deposit (NCD) masing-masing senilai Rp 2 miliar.
Konon pemecahan itu dilakukan untuk mengantisipasi kalau Bank Century dilikuidasi karena ada kententuan simpanan nasabah yang diganti LPS hanya Rp 2 miliar. Selanjutnya uang dipindahkan ke Kantor Pusat Bank Century di Jakarta.
Perjalanan selanjutnya, duit dikirimkan ke sebuah bank di luar negeri untuk menutup utang pribadi Dewi Tantular --kakak kandung Robert Tantular-- terkait bisnis valuta asing. Takpelak saldo doposito atas nama Budi Sampoerna di Bank Century menjadi nol.
Ketika kasus Bak Century disidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareksrim) Mabes Polri, Budi Sampoerna melalui pengacara Lucas SH, minta bantuan Komisaris Jenderal Pol Susno Duadji sebagai Kepala Bareskrim untuk menerbitkan sebuah surat yang menyatakan deposito tersebut tidak bermasalah.
Lucas mengaku penerbitan surat keterangan dari Bareskrim itu atas permintaan manajemen baru Bank Century yang dipimpin Direktur Utama Maryono. Anehnya, meski Susno mengeluarkan dua surat (tertanggal 7 dan 17 April 2009) ditujukan kepada Direksi bank Century, Lucas mengaku hingga kini uang kliennya tak kunjung cair.
Lebih aneh lagi, hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, "Bank Century mengalami kerugian karena mengganti deposito milik nasabah yang dipinjamkan/ digelapkan sebesar 18 juta dolar AS dengan dana berasal dari penyertaan modal sementara (PMS)."
Kalimat itu bisa ditafsirkan sebagian uang PMS yang dikucurkan LPS telah dicairkan kepada Budi Sampoerna. Kalau benar telah cair, mengapa tidak sampai ke tangan Budi Sampoerna? Lalu ke mana fulus segitu banyak mengalir?
Menurut Maryono, uang PMS dari LPS yang telah dibayarkan kepada para deposan mencapai Rp 4 triliun, dengan perincian nasabah kecil Rp 2,2 triliun dan nasabah besar Rp 1,8 triliun. Sayang ia tidak menyebut apakah di antara nasabah besar itu terdapat nama Budi Sampoerna sebagai penerima pembayaran deposito?
Tak pelak, nasib uang Budi Sampoerna menjadi teka-teki hingga kini. Apakah mengalir kepada pihak lain, atau memang belum dicairkan dengan alasan tertentu? Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani mengaku deposito Budi Sampoerna itu masih ada di Bank Century (sekarang beralih nama menjadi Bank Mutiara).
Firdaus mengaku dana tersebut memang belum dicairkan Budi karena ada kesepakatan dengan pihak manajemen Bank Mutiara. Pencairan dana, menurutnya, dapat mengganggu kinerja bank tersebut sehingga manajemen Bank Mutiara menjalin komitmen dengan Budi.
Namun, mengapa Budi Sampoerna dan pengacaranya tidak pernah mengungkapkan adanya komitmen dengan Bank Century/Bank Mutiara untuk tidak menciarkan depositonya? Mengapa pula kepada publik Lucas selalu mengatakan belum menerima pembayaran?
Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) tak bersedia menjawab aliran dana Bank Century dengan alasan kententuan pasal 26 ayat g UU PPATK menyatakan pemeriksaan aliran dana hanya dapat disampaikan kepada penyidik Polri dan kejaksaan.
Akibat ketentuan UU tersebut, BPK tidak dapat mengakses data hasil pemeriksaan PPATK terhadap aliran dana di Bank Century. Oleh karena itu cukup beralasan bagi kalangan DPR ingin mengamandemen UU PPATK sehingga bukan hanya penyidik Polri dan kejaksaan, tetapi juga BPK, yang bisa mempoleh data aliran dana melalui perbankan. Selamat berjuang!!!!

Caption foto: Robert Tantular saat menjalani persidangan

Kamis, 26 November 2009

MAKELAR KASUS ATAU PENIPU?


ENTAH benar-benar bingung atau pura-pura bingung. Mabes Polri mengaku kesulitan menjaring Anggodo Widjojo sebagai tersangka. Adik tersangka Anggoro Widjojo (Direktur PT Masaro Radiokom) itu berperan sebagai perantara uang suap Rp 5,1 miliar dari kakaknya kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anggodo juga dianggap sebagai rekayator kriminalisasi dua pimpinan nonaktif KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Semua tergambar jelas dalam rekaman hasil sadapan pembicaraan telepon Anggodo dengan sejumlah oknum, seperti diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Wakabareskrim) Polri Irjen Dikdik Mulyana Arief sampai harus datang ke KPK untuk berkoordinasi membahas bagaimana menjaring Anggodo sebagai tersangka. Alasannya, KPK lebih punya bukti untuk mengusut Anggodo karena punya rekaman hasil sadapan pembicaraan telepon Anggodo.
Dalam proses pengumpulan bukti, KPK telah beberapa kali memeriksa Ari Muladi, perantara yang dimintai tolong Anggodo untuk menyerahkan uang kepada pimpinan KPK. Keterangan Ari memang kunci pembuka tuduhan percobaan suap terhadap Anggoro-Anggodo.
KPK perlu punya bukti untuk mengungkap secara gamblang peran Anggodo yang sebelumnya mengakui telah menyerahkan sejumlah uang kepada Ari Muladi dalam tiga tahap. Anggodo selalu beralasan, kakaknya terpaksa merocoh kocek karena 'diperas' oknum pimpinan KPK melalui Ari Muladi.
"Ari Muladi pernah bilang kepada saya kenal baik dengan Ade Rahardja, Deputi Penindakan KPK. Menurut Ari, Ade menyatakan Anggoro perlu memberikan atensi (suap) kalau ingin perkaranya di KPK beres," begitu pengakuan Anggodo.
Namun Ari Muladi menyatakan hanya mengaku-ngaku mengenal Ade Rahardja dan pimpinan KPK lainnya. Ia justru menunjuk sosok misterius bernama Yulianto sebagai orang yang menyerahkan uang suap kepada oknum pimpinan KPK.
Ari mengaku melihat sendiri bagaimana Yulianto menyerahkan uang kepada sejumlah orang yang disebutnya sebagai pimpinan KPK. Tak pelak muncul kecurigaan, Ari dan Yulianto merupakan sindikat penipu, bukan makelar kasus.
Bisa jadi mereka memanfaatkan oknum pegawai rendahan di KPK untuk membuat sinetron berjudul Menyuap Pimpinan KPK. Saya jadi teringat ulah oknum pegawai rendahan di Mahakmah Agung (MA) yang menipu pengusaha kakap Probosutedjo.
Pengacara Probo, Harini Wiyoso (mantan hakim), menyerahkan suap Rp 6 miliar kepada lima oknum pegawai MA yang mengaku dekat dengan Ketua MA Bagir Manan dan sejumlah hakim agung. Ternyata lima oknum itu hanya mengaku-ngaku dan tidak punya akses kepada para hakim agung, termasuk Bagir Manan, yang mengadili kasus Probosutedjo.
Mirip kasus Probo
Tidak tertutup kemungkinan drama suap Probosutedjo terulang kembali. Kali ini Ari Muladi berposisi mirip Harini Wiyoso, sedang Yulianto dan orang-orang yang disebutnya sebagai oknum pimpinan KPK mirip lima pegawai rendahan MA.
Bukankah sebelum muncul kasus Bibit-Chandra sering terjadi penipuan dilakukan orang-orang yang mengaku sebagai penyidik KPK. Bukan tidak mungkin Yulianto Cs --kalau memang benar-benar ada-- merupakan kelompok penipu profesional.
Kalau dugaan itu benar, Anggoro dan Anggodo hanyalah korban penipuan alias rekayasa Ari Muladi dan Yulianto Cs. Anggodo ganti melakukan rekayasa untuk menjebloskan Bibit dan Chandra karena merasa dipermainkan. Sudah mengeluarkan duit tapi kok perkara kakaknya di KPK jalan terus.
Bisa dipahami bagaimana paniknya Anggodo ketika mengetahui gagal membantu kakaknya lolos dari jeratan KPK, padahal Anggoro sudah mengeluarkan uang Rp 6 miliar. Ya memang tak ada jalan lain kecuali memperkarakan Bibit-Chandra yang dianggapnya wanprestasi alias ingkar janji.
Kalau jalan ceritanya seperti itu Ari Muladi lah yang harus menanggung akibat hukumnya. Ia harus menanggung sendirian karena tak mampu mengarahkan penyidik kepada sosok Yulianto dan oknum KPK yang kabarnya menerima duit itu di Pasar Festival, Jakarta.
Agak janggal juga menyimak pengakuan Ari Muladi yang mengaku sudah kenal lama dengan Yulianto tapi tidak mampu menunjukkan jati diri sosok bersangkutan secara jelas dan lengkap. Kalau pengakuannya benar, bagaimana mungkin sesoerang percaya menyerahkan uang miliaran rupiah kepada orang yang tak jelas jati diri dan keberadaannya? Aneh!!!!!!

BIBIT-CHANDRA BELUM AMAN


TERNYATA tebakan saya mengenai sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap kasus Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah, meleset jauh. Semula saya mengira SBY akan mencopot Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supanji agar kasus dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut tak diajukan ke pengadilan.
Prediksi SBY bakal mengeluarkan abolisi supaya tidak melanggar konstitusi juga meleset. Ternyata pria asal Pacitan, Jawa Timur, itu hanya mengeluarkan keputusan pendek, yaitu minta agar kasus Bibit-Chandra tak perlu diajukan ke pengadilan dan menginstruksikan Kapolri serta Jaksa Agung melakukan tindak korektif ke dalam.
Lebih mengejutkan saya ketika sehari setelah SBY berpidato di Istana Negara, 23 November 2009, Jaksa Agung menyatakan berkas perkara Chandra Hamzah yang sudah ada di kantornya, akan dinyatakan P-21 alias lengkap dan cukup bukti. Hendarman hanya memberi sinyal kejaksaan bakal menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) setelah jaksa penuntut umum melakukan kajian apakah perkara itu layak disidangkan atau tidak.
Saya bingung sekaligus harap-harap cemas karena mengeluarkan SKPP setelah menyatakan berkas P-21, sangat berisiko. Mengapa? Ada sebuah kontradiksi nyata antara P-21 dengan SKPP. Bagaimana mungkin sebuah berkas hasil kerja penyidik yang telah dinyatakan lengkap (cukup bukti) tapi kemudian dihentikan penuntutannya?
Menurut saya, tindakan itu sama saja memberi ruang kepada Anggoro Widjojo/penasihat hukumnya mengajukan gugatan praperadilan untuk mempersoalkan SKPP. Penasihat hukum Anggoro Widjojo sangat mudah membuktikan SKPP kasus Chandra cacat hukum dan tak berdasar.
Pengadilan yang memeriksa gugatan penasihat hukum Anggoro, terlalu naif untuk menolak permohonan praperadilan tersebut. Apalagi, jika kejaksaan sebagai pihak tergugat tidak terlalu bernafsu mempertahankan argumen hukum dalam menerbitkan SKPP.
Bukankah sejak awal hingga setelah pidato SBY, kejaksaan tetap berkeyakinan hasil penyidikan kasus Bibit-Chandra memenuhi syarat dibawa ke pengadilan. Bagi kejaksaan, gugatan praperadilan Anggoro bisa diibaratkan pucuk dicinta ulam tiba. Wong memang maunya membawa Bibit dan Chandra ke pengadilan.
Kalau pengadilan mengeluarkan putusan yang memerintahkan kejaksaan mencabut SKPP dan membawa kasus Bibit-Chandra ke pengadilan, tidak ada satu pun pihak di negeri ini yang bisa lagi mengintervensi.
Pasal 140 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan jaksa penuntut umum dapat menerbitkan SKPP manakala tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana, atau ditutup demi hukum. Bukankah dengan menyatakan P-21 berarti jaksa penuntut umum berpendapat tindak pidana yang disangkakan cukup bukti?
Apa pula yang dimaksud perkara ditutup demi hukum? Perkara dikatakan ditutup demi hukum manakala tersangka meninggal dunia atau kadaluarsa. Dalam perkara Bibit-Chandra, jelas alasan perkara ditutup demi hukum untuk menerbitkan SKPP, tidak memenuhi syarat.
Dalam perkara mantan Presiden Soeharto, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memenangkan kejaksaan yang menerbitkan SKPP. Alasan yang dipakai cukup kuat,meski tidak memenuhi syarat tersangka meninggal dunia dan kadaluarsa, yaitu tersangka Soeharto dalam kondisi sakit permanen sesuai keterangan tim dokter independen.
Dua cara
Lalu bagaimana solusi yang seharusnya dilakukan supaya penghentian kasus Bibit-Chandra tak terbelenggu ancaman praperadilan? Ada dua cara yaitu:
* Jaksa Penuntut Umum yang memeriksa berita acara pemeriksaan (BAP) dari penyidik menyatakan tindakan Bibit-Chandra menerbitkan cekal terhadap Anggoro dan Djoko Tjandra bukan tindak pidana. Sedangkan untuk sangkaan pemerasan tidak cukup bukti.
Dengan demikian, penyidik dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) setelah menerima pengembalian BAP dan pendapat Jaksa Penuntut Umum.
* Jaksa Penuntut Umum mengembalikan BAP kepada penyidik karena tidak lengkap dan meminta penyidik menyerahkan kembali 14 hari kemudian dengan pernyataan optimal (tidak sanggup lagi menyempurnakan BAP). Selanjutnya jaksa mengambil alih penyidikan/melakukan penyidikan tambahan. Kemudian mengeluarkan SP3.
Skenario tersebut di atas pernah menjadi bahan pembicaraan antara Anggodo Widjojo dengan seorang jaksa untuk menghentikan penyidikan sebuah perkara pidana di Surabaya. Patgulipat antara Anggodo-oknum jaksa itu tersadap oleh KPK dan kemudian diperdengarkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK)
Wajar saja kalau Chandra Hamzah tak begitu gembira meski Presiden SBY sudah bersikap agar kasus menghebohkan itu perlu dilanjutkan ke persidangan. "Belum ada langkah konkret," ujar Chandra setiap kali ditanya wartawan.
Hingga tulisan ini dibuat kejaksaan masih belum menyatakan sikap secara jelas. "Semua tergantung hasil kajian tim jaksa penuntut umum yang meneliti berkas perkara Bibit-Chandra. Kalau dinilai tidak layak diajukan ke pengadilan ya diterbitkan SKPP," ujar Hendarman.
Bung Chandra dan Bibit, perjalanan masih panjang! Be carefull guys....

Jumat, 20 November 2009

BANK CENTURY DAN IBU SAYA

PADA suatu malam, Kamis, 19 November 2009, ibu saya yang tinggal di Madiun, sebuah kota kecil di Jawa Timur, menghubungi handphone saya.Tanpa basa-basi, ibu saya yang berusia 70 tahun mengajukan pertanyaan mengejutkan.
"Ibu ingin tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Bank Century. Siapa yang bersalah sebenarnya? Mengapa banyak nasabah Bank Century mengaku belum dibayar," tanya ibu saya. Tentu saja pertanyaan disampaikan dalam bahasa Jawa.
Saya yang tengah berada di kantor bingung juga ketika hendak menjawab. Kalau dijawab tuntas, tentu memerlukan waktu yang panjang. Kasihan ibu saya yang sudah sepuh harus mendengarkan penjelasan panjang lebar melalui saluran telepon.
Kalau tidak saya jawab, tentu ibu akan kecewa. Sudah mengorbankan pulsa untuk menelepon saya yang tengah berada di Jakarta, kok tidak mendapat jawaban. "Singkatnya begini Bu, Bank Century dibobol oleh pemilik bank dan keluarganya. Nah, kerugian yang dialami Bank Century ditutup dengan uang negara," jawab saya.
Ehhh ternyata ibu tak puas dengan jawaban saya. "Lho mengapa pemerintah mau menutup kerugian yang diakibatkan ulah pemilik Bank Century? Apa pemilik bank itu masih ada hubungan keluarga dengan pejabat pemerintah," tanya ibu.
Walahhhh, saya harus menjawab apa. Soalnya jawaban pertanyaan itu juga sangat panjang. "Pendeknya, pemerintah tak ingin hancurnya Bank Century merembet ke mana-mana. Soal apakah pemilik Bank Century ada hubungan keluarga dengan pejabat pemerintah, yang pasti tidak. Tak tahu lagi kalau di antara orang-orang yang berkepentingan dengan Bank Century sohibnya pejabat," begitu jawaban saya.
Untung ibu tak lagi melanjutkan pertanyaan. Sebelum menutup telepon beliau bergumam, "Berapa banyak ya uang Rp 6,7 trilun yang diberikan negara kepada Bank Century?" Dialog itu bukan fiktif atau karangan saya... Kejadian itu benar-benar nyata!
Saya bertanya-tanya dalam hati, mengapa ibu yang sudah sepuh, tinggal sendirian di rumah, masih tertarik mengikuti pemberitaan kasus klas berat semacam kolapsnya Bank Century yang membuat pemerintah harus memerintahkan Lembaga Penjamin Simpanan (KPS) mengucurkan duit sebanyak Rp 6,7 triliun.
Bisa jadi, perhatian ibu saya mencerminkan sikap warga masyrakat pada umumnya yang belakangan ini disuguhi bom pemberitaan mengenai Bank Century, selain konflik KPK-Polri, dan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Begitu dahsyatnya pengaruh media massa terhadap persepsi publik, termasuk ibu saya. Di hari tua, ibu mengisi hari-harinya dengan menonton televisi, membaca koran dan majalah, serta bersosialisasi dengan sesama manula.
Membingungkan
Pertanyaannya, apakah media massa mampu memberikan informasi yang cukup pada masyarakat agar mereka memahami duduk soal berbagai fenomena aktual belakangan ini? Wallahuallam. Dugaan saya, orang-orang yang berkecimpung di media massa sendiri, termasuk saya, tak mudah memahami konteks dan konten kasus-kasus itu.
Para politisi di Senayan, pengamat, pakar, dan pejabat pemerintah ramai berdebat melalui berbagai forum, termasuk media massa. Masing-masing menyampaikan persepsinya sendiri-sendiri. Mana yang benar? Ahhh... tak jelas benar.
Pemerintah dan Partai Demokrat menyebut tak ada masalah dalam pengucuran duit LPS kepada Bank Century (sekarang berubah nama menjadi Bank Mutiara). "Kolapsnya Bank Century berdampak sistemik. Akan berdampak serius terhadap kondisi moneter dan perekonomian nasional. Oleh karena itu, BankCentury perlu dibantu melalui penyertaan modal LPS," begitu argumen pemerintah dan para politisi Partai Demokrat.
Para penentang kucuran dana LPS ke Bank Century, termasuk mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution, punya pendapat lain. Ia bilang, Bank Century selayaknya dilikuidasi saja karena terjadi fraud (kecurangan) yang dilakukan sendiri.
Selain itu, likuidasi terhadap Bank Century tidak akan berdampak apa-apa terhadap kondisi moneter dan perekonomian nasional. "Biaya likuidasi Bank Century jauh lebih kecil dibandingkan dengan menyelamatkannya. Bank Century itu bank kecil sehingga kalau ditutup tidak akan berdampak apa-apa," begitu pendapat Anwar Nasution.
Tambah seru lagi setelah PDI Perjuangan menggagas dilakukannya hak angket (hak melakukan penyelidikan) terhadap proses dan prosedur pencairan uang LPS kepada Bank Century. Partai berlambang banteng moncong putih itu melihat adanya kejanggalan dan menengarai adanya tindak pidana.
Singkatnya, terjadi beda pendapat apakah ambruknya Bank Century berdampak sistemik atau tidak dan apakah dana dari LPS merupakan uang negara atau bukan.Sebuah diskursus rumit, yang tentu saja tidak mudah dicerna kalangan akar rumput (grass root) seperti ibu saya .....

HARAP-HARAP CEMAS MENUNGGU SBY



MUNCUL berbagai diskusi di ruang-ruang publik mengenai apa yang akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk merespon hasil kerja Tim 8 (dibentuk untuk melakukan verifikasi kasus Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah)? Ada yang bilang, rekomendasi Tim 8 tidak bermakna apapun karena Presiden SBY tidak mungkin melakukan intervensi terhadap proses hukum Bibit dan Chandra.
Namun ada pihak yang menyebut, Presiden memang tidak boleh melakukan intervensi proses hukum dalam kondisi normal. Dalam kondisi abnormal seperti sekarang ini, sah-sah saja Presiden memberi arahan kepada Kapolri dan Jaksa Agung sebagai bawahannya sehingga rekomendasi Tim 8 bisa terealisasi.
SBY baru bersikap pada Senin (23/11) alias tiga hari sebelum tulisan ini saya buat. Sembari menunggu sikap SBY, orang mulai menebak-nebak sesuai persepsinya masing-masing. Nah saya juga akan menebak apa kira-kira sikap yang akan dilakukan SBY.
Saya membayangkan SBY tengah berpikir keras, setelah berkali-kali memanggil Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, serta menggelar rapat kabinet. Kata kuncinya, kasus Bibit Chandra terselesaikan sesuai rekomendasi Tim 8 tetapi tidak melanggar konstituasi.
Dalam bayangan saya, SBY tengah menimbang-nimbang penggunaan wewenangnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sesuai dengan kententuan konstitusi dan undang-undang, Jaksa Agung dan Kapolri berada di bawah presiden sehingga SBY punya wewenang untuk menilai kinerja mereka dan melakukan reposisi.
Kalau Presiden menilai kinerja Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Kapolri Bambang Hendarso tidak memenuhi standar, tentu saja SBY berwenang mengganti mereka. Tentu saja penilaian didasarkan subyektivitas Presiden karena tidak ada aturan mengenai bagaimana Presiden menilai kinerja para pembantunya.
Secara formal tak ada keharusan SBY menerangkan apa alasan mengganti Jaksa Agung dan Kapolri. Sama halnya dengan Presiden tidak perlu menyampaikan alasan mengapa seseorang ditunjuk sebagai menteri, Jaksa Agung dan Kapolri. Alasannya singkat. Ini hak prerogratif Bung!!!
Kalau SBY setuju pada rekomendasi Tim 8, tentu akan memilih Jaksa Agung yang bisa merealisasikannya. Sedangkan untuk menunjuk Kapolri baru, SBY perlu menjalani prosedur agak berliku karena harus mengajukan calon ke Komisi III DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Namun bukan berarti SBY tidak bisa segera mencopot Bambang Hendarso dari posisi Kapolri. Selama DPR memproses calon Kapolri yang diajukan, SBY bisa menunjuk pelaksana tugas atau memfungsikan Wakil Kepala Polri.
Kriminalisasi Part II
Mengganti dua pejabat itu menjadi sebuah keniscayaan alias pilihan satu-satunya agar kasus Bibit-Chandra tidak menguras energi masyarakat dan SBY sendiri. Mengapa? Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman tetap pada pendapatnya, kasus Bibit-Chandra cukup bukti untukdiajukan ke persidangan.
Meski sudah diminta SBY mempelajari dan mempertimbangkan rekomendasi Tim 8, tetap saja mereka bergeming pada pendapatnya. Bahkan, di tengah turbulensi kasus Bibit-Chandra Part I, Mabes Polri berusaha kembali melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dengan cara memproses laporan Anggodo Widjojo.
Anggodo memperkarakan pimpinan KPK karena tidak terima pembicaraan teleponnya dengan sejumlah orang, termasuk penyidik kasus Bibit-Chandra Part I, disadap lembaga superbody tersebut. Saat penyadapan dilakukan Bibit dan Chandra masih berstatus sebagai pimpinan KPK alias belum dinonaktifkan.
Upaya menjerat kembali Bibit dan Chandra dimulai dengan pemanggilan pimpinan media massa (wartawan), Jumat, 20 November 2009. Dalam surat panggilan kepada redaksi Kompas, secara jelas Mabes Polri menyebutkan dasar pemanggilan yaitu laporan Anggodo dan penasihat hukumnya, Bonaran Situmeang terkait sadapan KPK.
Kemungkinan besar wartawan hendak digiring untuk membuka siapa pihak yang memberi transkrip rekaman pembicaran telepon Anggodo Cs. Harapannya, wartawan mengakui mendapat bahan berita itu dari KPK, Bibit-Chandra atau penasihat hukumnya.
Bambang Hendarso tentu tidak bisa berkelit bahwa proses hukum terhadap laporan Anggodo dan pemanggilan wartawan di luar pengetahuannya. Bukankah para penyidik merupakan bawahannya dan kasus yang mereka tangani, apalagi bersifat sensitif dan menarik perhatian masyarakat, harus dilaporkan kepada sang atasan.
Proses hukum terhadap laporan Anggodo segaris dengan isi jumpa pers Kapolri sehari setelah Bibit-Chandra ditahan. Saat itu Bambang Hendarso menyatakan akan mengusut publikasi transkrip hasil sadapan KPK terhadap Anggodo, kalau perlu melakukan penyitaan.
Kalau langkah tersebut diteruskan, tidak mustahil akan menimbulkan kegemparan dan blunder kedua. Lagi-lagi bangsa ini akan terkuras energinya untuk memperdebatkan pepesan kosong yang digelindingkan Anggodo.
Bagaimana kalau SBY tidak menggunakan wewenang itu? Entahlah!!!!!
(Baca juga: Mencari Asal Muasal Transkip)
Caption: Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Nanan Sukarna, ketika menerima aksi demo para wartawan terkait pemanggilan pimpinan Kompas dan Seputar Indonesia ke Mabes Polri, Jumat (20/11)