Sabtu, 29 September 2007

MYANMAR...OH...MYANMAR


DADANYA tertembus timah panas yang melesat dari senapan personel militer Junta Militer Myanmar (Burma). Tapi ibu jari reporter APF, Kenji Nagai (50), terus menekan tombol record handycam yang berada di tangan kanannya.
Kebrutalan rezim negara otoriter tersebut terus terpatri dalam cakram padat di handycam Nagai. Tak lama kemudian, nafasnya tersengal-sengal, lalu nyawanya melayang ke alam baka.
Kematian Kenji Nagai di Yangon, kota terbesar di Myanmar dan bekas ibukota negara itu, Rabu (26/9), menjadi berita menghebohkan seantero dunia. Kabar duka melesat bak peluru kendali ke seluruh penjuru jagad melalui saluran multimedia. Ya melalui SMS, MMS, foto, video streaming, maupun informasi para blogger di internet.
Sebelumnya aksi para biksu --para rahib Budha yang memilih hidup berselibat-- mengguncang Yangon. Mereka menggelar aksi damai, mengungkapkan suara hati yang telah terbelenggu selama 15 tahun oleh rezim junta dipimpin Jenderal Senior Than Shwe.
Than Shwe memberangus media massa lokal. Tak ada berita mengharu-biru di koran-koran harian Myanmar. Sepi, seolah tak terjadi apa-apa. Para penerbit, editor, dan reporter takut memberitakan hiruk pikuk unjuk rasa ribuan biksu dan kelompok prodemokrasi. Takut dibredel dan masuk tahanan.
Tak ada jalan lain, informasi mengalir ke seluruh penjuru dunia melalui saluran multimedia. Tak heran, penguasa Myanmar kemudian memberangus akses internet pada Jumat (28/9). Bukan hanya itu saja, militer merazia handphome dan kamera digital yang dibawa pengunjukrasa dan kelompok prodemokrasi. Supaya mereka tak bisa mengirim bad news keluar Myanmar.
Entah siapa yang menekan rezim junta, sehari kemudian akses internet dibuka lagi. Sangat mungkin akibat tekanan dunia internasional yang begitu bertubi-tubi. Konon, rezim junta mulai 'retak' di dalam. Mereka tak lagi kompak. Bahkan, mereka sudah mulai mengungsikan keluarganya keluar dari Myanmar. Reformasi dan demokratisasi tak lagi bisa dibendung.
Liberte, egalite, fraternite!!! Ada kerindungan yang tak terbendung kepada kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Indonesia pernah mengalaminya pada 1998, ketika rezim Soeharto tumbang. Sayang reformasi tak berbuah manis, tapi justru memakan 'anak kandungnya' sendiri. Ribuan nyawa melayang di tengah kobaran api di pertokoan, mall, dan plaza di Jakarta. Puluhan wanita trauma seumur hidup karena perkosaan. ribuan orang kehilangan asa karena penjarahan. Tak jelas siapa yang melakukan aksi brutal di puncak reformasi tersebut.
Myanmar bisa menarik pelajaran dari pengalam Indonesia. Jangan lagi darah tertumpah sia-sia. Demokrasi jangan sampai berubah menjadi demo crazy. Amin!!!! (febby mahendra)

Tidak ada komentar: