Senin, 08 Oktober 2007

NYANYIAN SI BUNGSU


PANGGILAN sayangnya Chila. Di rumah, bocah bernama lengkap Sandra Akhira Meisya Lova, kelahiran Surabaya 30 Mei 2002, itu sering dipanggil Adik. Maklum, ia anak paling kecil alias bontot dari empat bersaudara.
Hobinya menyanyi, meski lafalnya masih pelat alias cedhal. Lagu-lagu yang lagi favorit semacam Ketahuan (Matta Band), Slow Down Baby (She), Bersama Bintang (Drive), dan Sebelum Cahaya (Letto), hafal di luar kepala.
Suara Chila serak, maklum pita suaranya terganggu akibat pembengkaan. Kerongkongannya pernah difoto menggunakan kamera yang dimasukkan lewat mulut.
"Hebat, anak ini masih usia lima tahun tapi kami tak kesulitan mengambil gambar pita suaranya. Kemarin ada pasien anak usia 8 tahun gagal di potret pita suaranya karena terus menangis," ujar seorang dokter spesialis THT di Rumah Sakit Husada, Surabaya,
Sebenarnya Chila belum boleh terlalu banyak mengeluarkan suara, termasuk menyanyi. Namun, dasar anak-anak dan hobi tarik suara, begitu mendengar lagu dari televisi, ia langsung saja ia ikut menyanyi. Kasihan juga melihatnya. "Kapan aku boleh ikut les vokal lagi di Tom's Music," ujar Chila kepada sang Mama. Maklum, sejak diperiksa pakar THT Prof Dr dr Wiyadi SpT, Chila terpaksa absen dari sekolah vokal di Tom's Music, Wisma Tropodo, Waru, Sidoarjo.
FOTO: Chila (kanan) bersama sang kakak sulung Shefi.

1 komentar:

trisnoajiputra.blogspot.com mengatakan...

Home Sweet Home!

HIDUP kemudian adalah kumpulan perjalanan. Dan perjalanan selalu bermula dari sebuah kata: pergi.
Tapi setiap kepergian pasti akan menemukan jalan pulangnya sendiri. Orang-orang di dataran tinggi Tibet di awal permulaan hari melangkahkan kaki, meninggalkan rumah. Mereka yakin, bahwa setiap perjalanan jauh adalah sebuah bentuk dari penyucian diri tertinggi. “Perjalanan adalah upaya untuk penghapusan dari dosa yang melekat dalam setiap denyut nadi, mengalir bersama darah,” begitu keyakinan mereka.
Tapi pada akhirnya mereka akan pulang. Setelah puluhan, ratusan atau bahkan ribuan kilo meter mereka berjalan, mereka tetap akan pulang. Bahwa penyucian dosa mungkin bisa dilakukan bertahap, kita tidak tahu. Sebab itu adalah wilayah Zat Maha Suci yang mungkin tak bisa kita tafsirkan dengan logika manusia yang serba terbatas. Tapi mereka pulang untuk kemudian pergi lagi. Dan pergi lagi untuk kemudian pulang. Begitu seterusnya, sampai akhirnya waktu menghentikan langkah mereka. Orang-orang di dataran tinggi Tibet terus melakukan itu, bahkan sejak puluhan, ratusan, atau ribuan tahun lalu.
Dan setiap kepulangan kemudian berarti adalah rumah….
Sebuah rumah kecil di kaki bukit, beratap jerami berpagar anyaman, atau sebuah rumah terakhir berbatu nisan putih, tetap adalah sebuah rumah. Rumah tempat setiap pejalan akan kembali, beristirah, menghitung langkah, dan mungkin meratapi kesalahan.
Setiap kita pasti akan sampai di rumah. Dan setiap petualang pasti akan merindukan pulang. Tawa, canda, kehangatan dari orang-orang terkasih; cangkul, parang dan ilalang; sinar cahaya tipis dari lampu teplok yang tergantung di pojok ruangan; atau bisa juga tumpukan buku berdebu yang yang belum terselesaikan dibaca. Atau lainnya. Tapi semua itu adalah alasan yang membuat setiap kita pasti merindukan rumah.
Adalah rumah yang kemudian membuat kita akan menjadi “ada”. Industrialisme yang berpangkal dari kapitalisme kemudian melahirkan sikap individualistik. Kita kemudian memang pernah mengutuk, mengapa harus hidup dalam zaman yang teramat sinis ini. Dalam zaman ketika tetangga hanyalah sebuah penanda, bahwa di samping rumah kita bukanlah tanah kosong, melainkan rumah orang lain.
Kemudian manusia diterjemahkan menjadi sekedar sekumpulan objek untuk mendatangkan laba. Maka kemudian orang-orang pun berjalan dengan kepala tertengadah.
Dan seorang wanita muda di dataran tinggi Tibet pernah berkata kepada Heinrich Harrer, “Yang membedakan ‘kami’ dengan ‘kalian’ adalah bahwa ‘kalian’ selalu melihat ke atas. Sedangkan ‘kami’ sebaliknya.”
Tujuh tahun Heinrich menghabiskan hidupnya untuk sekedar menaklukan Mount Everest, puncak tertinggi di Himalaya. Dan ia mencatat dengan baik setiap detik yang terlewati di tempat itu, dalam sebuah buku harian kusamnya. Di buku itu kemudian tertulis bahwa Heinrich ternyata selama tujuh tahun itu tidak pernah berhasil menjejakkan kakinya di Puncak Everest, yang berada pada ketinggian lebih dari delapan ribu kaki dari permukaan laut.
Tapi Heinrich ternyata mampu menjejakkan kakinya di puncak yang lebih tinggi dari sekedar Puncak Everest: sebuah puncak kearifan dalam memandang hidup. Tujuh tahun setelah itu ia pulang dengan sebuah kesadaran, sebuah kesadaran yang ia temukan dari tuturan perempuan muda Tibet itu.
Lelaki Jerman itu kemudian berdamai dengan kenyataan. Ia yakin bahwa setiap kepergian pasti berarti pulang, dan setiap petualang pasti selalu merindukan rumah. Ia bisa melawan dinginnya salju di kaki Himalaya, ia juga bisa melawan kelaparan yang berlangsung di sepanjang jalan. Tapi satu hal yang tak bisa ia lawan adalah kerinduannya untuk pulang: memeluk bocah lelakinya yang bahkan belum pernah ia lihat sejak terlahir ke dunia. Heinrich meninggalkan rumah ketika usia kandungan sang mantan istrinya sudah berusia empat bulan.
Hidup kemudian terkadang sekedar kumpulan kisah sedih yang berakhir dengan kebahagiaan abadi. Tapi ada jurang terjal di setiap tikungan yang siap mengintip, dan kerikil-kerikil tajam yang melukai hati. Heinrich pulang untuk mendapati bahwa satu-satunya anak lelaki yang dilahirkan dari rahim mantan istrinya itu bahkan tak kenal dengan dirinya. Yang diketahui bocah itu, berdasarkan kisah ibunya, bahwa ayahnya sudah meninggal di dataran tinggi Tibet sewaktu hendak menaklukan Himalaya. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Heinrich untuk meyakinkan sang bocah, bahwa ia adalah sang ayah biologisnya. Seperti bisa diduga pada akhir film “Seven Years in Tibet” yang diangkat dari kisah nyata kehidupan Heinrich Harrer itu, ia berhasil mengajak sang buah hati mendaki Puncak Everest, tetapi bukan untuk menaklukannya, melainkan sekedar mencari kearifan hidup.
Membaca blog Mas, melihat kumpulan foto-foto di sana, saya jadi teringat kisah ini. Mungkin saya salah. Tapi saya hanya hendak beropini, bahwa tersirat, dalam blog itu, Mas Febby hanya ingin menuliskan satu kata: Home Sweet Home! (trisno aji putra)