Jumat, 30 Oktober 2009

MEMBURU ASAL MUASAL TRANSKRIP


ANGGODO Widjojo, sosok kontro-versial di balik kasus yang menimpa dua pimpinan nonaktif KPK, akhirnya muncul juga. Pria itu selama ini banyak disebut ikut terlibat dalam urus mengurus pencabutan cegah tangkal (cekal) Anggoro Widjojo Cs , pengemba-lian barang bukti yang disita KPK, dan penyidikan kasus tersangka Chandra Hamzah-Bibit Samad Rianto.
Anggodo muncul di Mabes Polri, Jumat (30/10), untuk melaporkan penyebaran dan publikasi transkip rekaman hasil sadapan yang merugikan dirinya. Tak jelas siapa pihak yang dilaporkan Anggodo.
KPK tidak pernah mengeluarkan dokumen berisi transkrip rekaman hasil sadapan yang beredar sekarang ini. KPK juga belum mempublikasikan isi rekaman. Tak jelas juga apakah Anggodo berniat melaporkan pers yang mempublikasikan transkrip tersebut.
Pada hari yang sama, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri mengaku telah memerintahkan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) untuk menyidik penyebaran dan substansi transkrip tersebut. Ia bahkan memerintahkan dilakukannya penyitaan terhadap transkrip yang isinya dikutip berbagai media massa.
Apakah transkrip yang dipunyai para awak media massa akan ikut disita? Belum jelas benar. Kalau polisi memang menyita transkrip yang dipunyai para wartawan, apakah pekerja pers dan para pengelola media massa akan dimintai keterangan mengenai asal muasal barang tersebut.
UU Pers mengatur hak ingkar, yaitu hak untuk tidak mengungkapkan siapa sumber berita yang memberikan bahan-bahan berita, termasuk dalam hal ini transkrip rekaman hasil sadapan. Hak seperti itu mirip dengan hak imunitas yang diberikan UU kepada rohaniawan Katholik, advokat , dan notaris.
Rohaniwan Katholik punya hak untuk tidak menceritakan kepada penyidik apa isi pengakuan dosa umatnya. Advokat juga punya hak untuk tidak mengungkapkan apa pengakuan yang disampaikan kliennya. Demikian pula seorang notaris.
Khusus untuk wartawan, hak ingkar bisa gugur kalau ada putusan pengadilan atas dasar untuk kepentingan umum. Jadi sepanjang tidak ada putusan pengadilan yang memerintahkan wartawan membuka jati diri sang narasumber, termasuk pemberi transkrip rekaman, polisi tidak bisa melakukan upaya paksa.
Namun, tanggungjawab pidana terhadap materi informasi yang diberikan sang narasumber beralih kepada wartawan/media bersangkutan. Artinya wartawan dan media bisa dijaring sebagai tersangka pencemaran nama baik (kalau isi transkrip itu ternyata tidak benar) dan/atau membocorkan rahasia negara kalau isi transkrip itu sesuai dengan hasil sadapan KPK terhadap Anggoro Cs.
Celakanya, tuduhan membocorkan rahasia negara tidak bisa diselesaikan melalui hak jawab. Berbeda halnya kalau tuduhan hanya pencemaran nama baik. Orang-orang yang disebut-sebut dalam transkrip dan diberitakan di media massa bisa menggunakan hak jawab dan koreksi lebih dulu.
Publikasi hasil sadapan memang hanya dimungkinkan kalau ada izin dan/atau perintah pengadilan (majelis hakim). Bisa juga dipublikan oleh lembaga negara yang punya wewenang menyadap dan memublikasikannya untuk kepentingan proses penegakan hukum.
Tak ada jeleknya, kalangan pers bersiap diri ketika nantinya mendapat panggilan dari polisi. Wajar saja, karena media massa lah yang pertama kali mempublikasikan transkrip itu. Penasihat hukum tersangka Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto hanya memberi keterangan mengenai adanya rekaman pembicaraan yang mengarah rekayasa.
Para penasihat hukum itu secara formal tidak pernah secara rinci dan detail menjelaskan isi rekaman hasil sadapan KPK, seperti dimuat media massa. Oleh karena itu untuk membuka siapa yang memberikan transkrip bersangkutan, kunci pembukanya adalah para wartawan.
Lepas dari persoalan itu, lebih penting dan substansiil adalah mengungkap siapa saja terlibat dalam pembicaraan telepon yang disadap KPK. Termasuk menentukan apakah mereka yang terlibat pembicaraan memang berniat mengintervensi dan merekayasa kasus Chandra-Bibit.
Jangan sampai semangat untuk memburu sang penyebar transkrip justru mengubur tujuan mengungkap masalah utamanya.Bukankah apa yang dilakukan wartawan dan kalangan pers memublikasikan transkrip tersebut semata-mata bertujuan untuk mendapatkan kebenaran, bukan mencemarkan nama baik orang per orang.
Kecuali kalau negeri ini memang berniat membungkam pers agar tidak lagi bersikap kritis mengenai kejanggalan-kejanggalan yang muncul di tengah masyarakat. Mengorbankan formalisme sangat lebih baik daripada membiarkan praktik KKN kian menggurita dan membunuh negeri ini.
Caption: Anggodo Widjojo (baju merah) saat berada di Mabes Polri.

Tidak ada komentar: