Kamis, 15 Oktober 2009

ANTASARI, DI BALIK DAKWAAN SYUR


ISI surat dakwaan jaksa dalam kasus terdakwa Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jadi buah bibir.
Bukan kronologis rapat perencanaan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, yang bikin heboh. Justru di bagian yang mendiskripsikan secara detil adegan syur di kamar 803 Hotel Gran Mahakam, Jakarta, antara Antasari dengan Rani Juliani, istri muda Nasrudin.
Muncul pertanyaan logis, apakah uraian adegan yang bisa bikin nafas tersengal-sengal itu benar-benar terjadi? Kalau itu tercetak di buku roman picisan klas stensilan, sudah pasti hanya imajinasi sang penulis.
Antasari dan tim penasihat hukumnya menyebut isi dakwaan jaksa, termasuk yang mengungkap adegan mesum di kamar hotel, hanya lah sebuah isapan jempol alias tak ada bedanya dengan isi buku roman picisan. Sebaliknya tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) bentukan Kejaksaan Agung yakin betul sebuah fakta empiris, true story, dan bukan rekaan semata.
Bingung, mana yang benar. Memang, dalam ilmu hukum ada adagium yang menyebut, "Satu saksi bukan saksi (Unus testis nullus testis)." Logis saja kalau ada yang menganggap cerita heboh dalam kamar hotel patut diragukan karena hanya berdasar cerita Rani seorang.
Rasanya tim jaksa penuntut umum (JPU) bukan orang kemarin sore dalam menangani perkara. Apalagi, terdakwa yang disidangkan juga bukan orang sembarangan. Antasari seorang jaksa senior, mantan bos lembaga superbody di negeri ini.
Tim JPU tentu sudah hafal di luar kepala apa makna unus testis nullus testis. Apalagi sebelum diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, rencana dakwaan (rendak) sempat diperiksa Jaksa Agung Hendarman Supanji. Boleh dibilang isi dakwaan itu sudah melewati beberapa saringan hingga orang pertama di jajaran Korps Adhyaksa.
Apa kira-kira maksudnya? Saya teringat adagium dalam kriminologi. "Pembunuhan tanpa motif hanya bisa dilakukan orang gila!" Bisa jadi Tim JPU terdorong untuk mengungkapkan secara gamblang motif pembunuhan Nasrudin, yang dikenal punya hubungan dekat dengan Antasari.
Dari semua terdakwa, logikanya memang hanya Antasari yang punya kepentingan paling dekat dengan kematian Nasrudin. Terdakwa Sigid Haryo Wibisono --pengusaha yang juga pemilik sebuah koran terbitan ibukota-- tidak mengenal Nasrudin. Demikian pula Kombes Pol Wiliardi Wizar. Apalagi para pelaksana di lapangan (eksekutor), tambah sama sekali tidak mengenal korban.
Kalau hanya disebut motifnya dendam, tentu akan dipertanyakan apa pemicu munculnya dendam. Celakanya, untuk merangkai cerita mengenai penyebab dendam, hanya sosok Rani yang bisa menerangkan. Nasrudin tak mungkin lagi bersaksi.
Pengungkapan cerita syur tampaknya untuk melogiskan pemicu utama munculnya dendam. Bukankah rasa dendam bisa muncul dan terus memuncak ketika reputasi seseorang yang tengah berada di puncak popularitas menjadi taruhan?
Di sisi lain muncul misteri, benarkah penyidik punya sejumlah bukti berupa rekaman suasana yang terjadi di kamar 803? Kalaupun ada, rekaman tersebut secara yuridis tidak membuktikan apa-apa manakala Antasari tidak mengakuinya.
Dalam ranah pidana umum (seperti kasus pembunuhan Nasrudin), rekaman dan foto tidak diakui sebagai alat bukti. Hanya rekaman yang dibuat lembaga penegak hukum tertentu (harus diatur dalam UU) dalam kasus terorisme dan korupsi, bisa jadi alat bukti.
Ada satu celah sempit yang bisa memperjelas simpul krusial itu. Bukankah Antasari mengakui adanya pertemuan dengan Rani di kamar Hotel Gran Mahakam, Jakarta, termasuk cerita munculnya Nasrudin di kamar itu beberapa saat kemudian.
Bukankah tidak disangkal pula adanya ketegangan antara Antasari dengan Nasrudin yang menunjukkan rasa keterkejutan ketika mendapati istri mudanya berada dalam satu kamar dengan sang kawan. Selanjutnya, ada fakta tak terbantah yang menyebut Antasari minta bantuan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri setelah mendapat teror dari pasangan Nasrudin-Rani.
Tim hasil bentukan Kapolri untuk menghentikan ulah Nasrudin kabarnya tak membawa hasil. Penyebabnya bisa ditebak. Antasari ogah memperkarakan Nasrudin-Rani, karena khawatir sang buruan malah membongkar cerita aib di depan persidangan ketika dijaring sebagai terdakwa teror.
Bukan tidak mungkin Nasrudin punya senjata berupa cerita seru lainnya selain insiden di kamar 803. Kalau Nasrudin-Rani dijaring sebagai terdakwa teror, mau tak mau Antasari harus bersaksi di pengadilan sebagai korban teror dan pelapor. Bisa dibayangkan betapa ribetnya. Bisa-bisa malah jadi bumerang.
Logika tersebut di atas bukan berarti Antasari hanya satu-satunya orang yang berkepentingan terhadap kematian Nasrudin. Inilah yang harus dibuktikan pria berkumis tebal itu beserta tim penasihat hukumnya.
Tidak mudah dan sangat berisiko tinggi. Membuktikan terori konspirasi bukan seperti menelan sepotong pisang. Apalagi kalau baru tahap sinyalemen. Lepas dari semua itu, lebih baik kita tunggu jalannya persidangan hingga tuntas. Selamat berimajinasi... Fiat justitia ruat caelum (Tegakkan keadilan walau langit akan runtuh)

Note: Sebuah tulisan ketika sudah sekian lama tidak meng- up date blog.

Tidak ada komentar: