Kamis, 29 Oktober 2009

PENGAKUAN SANG KURIR



Berikut ini pengakuan tersangka Ari Muladi, orang yang dimintai bantuan Anggodo Widjojo menyerahkan uang suap Rp 5,1 miliar kepada pimpinan KPK agar kasus PT Masaro tak dilanjutkan. Pengakuan Ari disampaikan kepada penyidik Mabes Polri Kombes Pol Martuani Sormin, 26 Agustus 2009. Inikah saksi kunci tuduhan pemerasan yang menjadi dasar Mabes Polri untuk menjebloskan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dua pimpinan nonaktif KPK, ke dalam tahanan? Sungguh naif!!!

SEKITAR Juli 2008, ketika tengah berada di Bali saya dihubungi Anggoro Widjojo melalui telepon. Anggodo bertanya apakah saya punya kenalan di KPK. Pada saat itu Anggodo menceritakan kantor PT Masaro digeledah KPK, padahal menurut Anggodo PT Masaro tidak ada kesalahan.
Pada waktu itu saya minta waktu untuk memastikan bisa tidaknya dibantu. Kemudian saya menghubungi Yulianto alias Anto. Saya tanyakan kepada Anto apakah ada teman di KPK. Yulianto minta waktu dan akan mengabari saya untuk kepastiannya.
Saat berkomunikasi lagi, Yulianto mengatakan masih memungkinkan untuk dibantu. Yulinato mengajak saya bertemu di jakarta setelah saya kembali dari Bali. Saya dan Yulianto bertemu di Pondok Indah.
Saat itu dia bilang sudah berkoordinasi dengan Ade Rahardja (Deputi Bidang Penindakan KPK Brigjen Pol Ade Rahardja). Menurut Yulianto, Ade Rahardja bisa membantu. Saya tidak pernah memberitahu Anggodo tentang permintaan bantuan kepada Yulianto untuk mengurus masalah PT Masaro Radiokom.
Pada 11 Agustus 2008 saya menerima uang 404.600 dolar AS dari Anggoro Widjojo untuk disampaikan kepada pimpinan KPK melalui Ade Rahardja. Pemberian uang dimaksudkan agar barang bukti yang disita KPK dikembalikan kepada PT Masaro.
Saya menerima uang di Karaoke Deluxe, kamar 01, Hotel Peninsula, Jakarta. Anggodo menyerahkan uang kepada saya yang perincian jumlahnya sebagai berikut:
* Rp 1,5 Miliar (Untuk Bapak Bibit S Rianto dalam bentuk dolar AS)
* Rp 1 Miliar (Untuk bapak Jasin dalam bentuk dolar AS)
* Rp 1 Miliar (Untuk Bapak Bambang dalam bentuk dolar AS)
* Rp 250 juta (Untuk media massa)
Kesemuanya berada dalam amplop warna cokelat yang di sebelah pojok kiri atas masing-masing amplop tertera angka sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Pada saat menyerahkan uang tersebut Anggodo mengatakan kepada saya , "Ini uang sesuai permintaan orang dalam, jangan lupa tanyakan kapan pengembalian barang bukti dan penghentian perkara PT Masaro."
Tak kenal Ade Rahardja
Kenyataannya saya tidak kenal, tidak pernah bertemu, dan tidak pernah berkomunikasi dengan Ade Rahardja. Namun kepada Anggodo saya laporkan bahwa saya telah memberikan uang tersebut kepada masing-masing orang sebagaimana daftar tersebut di atas.
Sekitar 13 November 2008, saya pernah menerima penyerahan uang dari Anggodo Rp 400 juta di kantor PT Masaro Radiokom, Jl Talang Betutu, Jakarta. Anggoro mengatakan ada permintaan uang lagi Rp 400 juta untuk penyidik.
Uang tersebut ditempatkan pada kantong kertas jinjing cokelat. Uang dibungkus amplop warna cokelat. Pada saat menyerahkan uang itu Anggodo mengatakan, ini adalah pemberian terakhir untuk penyidik KPK.
Penerimaan uang itu berkaitan dengan penyampaian saya kepada Anggodo Widjojo yang seolah-olah saya telah berkoordinasi dengan Ade Rahardja, bahwa uang itu untuk diberikan kepada penyidik KPK sehingga dengan pemberian uang tersebut maka tidak akan ada lagi pemanggilan-pemanggilan terhadap karyawan PT Masaro Radiokom.
Uang Rp 400 juta itu kemudian saya serahkan kepada Yulianto di Heli Bellagio Residence. Kemudian saya laporkan kepada Anggodo bahwa saya telah menyerahkan uang tersebut kepada Ade Rahardja sehingga dia percaya.
Kemudian, pada 13 Februari 2009, Anggodo Widjojo menyarahkan uang kepada saya 124.920 dolar Singapura. Uang saya terima di kamar 01 Deluxe Karaoke di Hotel Peninsula. Anggodo memerintahkan agar uang tersebut kepada Ade Rahardja untuk selanjutnya diserahkan kepada Chandra Hamzah.
Uang yang saya terima dari Anggodo dibungkus dalam kotak dompet blueberry kemudian diletakkan di dalam kantong kertas jinjing blueberry. Pemberian uang bertujuan untuk mencabut larangan bepergian ke luar negeri (maksudnya cegah tangkal/cekal) kepada Anggoro.
Bikin surat palsu
Saya tidak menyerahkan uang tersebut kepada Ade Rahardja karena saya tidak kenal. Uang saya serahkan kepada Yulianto untuk selanjutnya ke Ade Rahardja, lalu kepada Chandra Hamzah. Kepada Anggodo saya saya sampaikan bahwa uang telah saya serahkan kepada Ade Rahardja.
Saya pernah memberikan surat kepada Anggodo yaitu surat pencabutan pencegahan ke luar negeri yang seolah-olah dibuat KPK. Surat itu berawal dari desakan Anggodo kepada saya yang meminta surat pencabutan cekal atas nama Anggoro Widjojo, Anggono Widjojo, Putranefo, dan David Angkawijaya.
Adanya desakan itu saya mendesak Yulianto agar segera meminta Ade Rahardja menerbitkan surat pencabutan cekal sebagaimana dijanjikan Yulianto. Sekitar 6 atau 7 Jui 2009, Yulianto bertemu saya di parkiran depan Menara Imperium, kemudian kami berangkat ke daerah Matraman, tempat pengetikan komputer.
Karena waktu itu kondisinya ramai, saya dan Yulianto pergi meninggalkan toko tersebut. Pada 8 Juni, sekitar pukul 22.00 WIB, saya dan Yulianto pergi ke toko di daerah Matraman yang sebelumnya kami datangi.
Tujuan kami adalah untuk membuat surat pencabutan cekal dari KPK. Yulianto turun sambil membawa konsep surat pencabutan cekal. Saya melihat Yulianto menata dan menyusun lambang burung garuda. Kira-kira 30 menit kemudian Yulianto selesai membawa surat pencabutan cekal namun belum ditandatangani Chandra Hamzah.
Kami kembali ke parkiran Imperium. Saat itu Yulianto mengatakan surat pencabutan cekal yang baru kami buat tersebut akan ditandatangani Chandra Hamzah melalui Ade Rahardja. Selanjutnya kami berpisah.

Tidak ada komentar: