Selasa, 27 Oktober 2009

MANUVER MENGHEBOHKAN SANG PENYUAP


HEBOH adanya rekaman hasil sadapan pembicaraan sejumlah orang yang diduga kuat terlibat rekayasa untuk menjerat dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, kian memperjelas karut marutnya proses penegakan hukum di negeri ini.
Berbagai keterangan dan komentar bukannya menjerniskan persoalan, tetapi justru makin menjauhkan dari substansi masalah. Padahal, sebenarnya sangat sederhana dan tidak perlu diseret-seret ke ranah lebih luas sehingga kian membingungkan.
Bermula dari adanya tuduhan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dalam menerbitkan surat perintah cegah tangkal (cekal) terhadap Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom, terkait proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan senilai Rp 180 miliar. Cekal dilakukan setelah ada dugaan kuat Anggoro memberikan suap untuk mendapat proyek tersebut.
KPK mendapat bukti awal adanya penyuapan ketika menyidik perkara tersangka Yusuf Emir Faisal, anggota DPR periode 2004-2009. Mantan Ketua Komisi IV DPR tersebut divonis 4,5 tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena dinilai terbukti menerima suap Rp 5 miliar dari pengusaha Chandra Antony, rekanan Pemprov Sumatera Selatan yang mendapat proyek pembangunan pelabuhan Tanjung Apiapi.
Anggoro tak terima masuk dalam daftar cekal sehingga berusaha keras mencari jalan agar terbebas dari urusan tersebut. Melalui sang adik bernama Anggodo Widjojo, ia berupaya menyuap pimpinan dan pejabat di KPK.
Anggodo minta bantuan orang bernama Ari Muladi yang mengaku mengenal Brigjen Pol Ade Rahardja, Deputi Penindakan KPK. Ari Muladi menerima uang sebanyak Rp 5,1 miliar dari Anggodo untuk membungkam KPK. Rupanya Ari Muladi minta bantuan orang lain bernamaYulianto.
Beres? Ternyata tidak. KPK tidak mencabut cekal, bahkan penyidikan terhadap Anggoro jalan terus. Merasa sudah mengeluarkan uang suap, Anggoro mencari jalan untuk bertemu Antasari Azhar, Ketua KPK. Jalan terbuka ketika Anggodo berkenalan dengan Edi Sumarsono, kenalan dekat Antasari.
Anggoro dan Antasari bertemu di Singapura. Anggoro cerita kepada Antasari telah bagi-bagi suap kepada pimpinan dan pejabat KPK, namun cekal tetap tidak dicabut. Rupanya pembicaraan itu sengaja direkam Antasari untuk keperluan penyelidikan lebih lanjut, apakah cerita Anggoro itu benar atau tidak.
Ternyata Anggoro tidak tahu bahwa duit Rp 5,1 miliar memang tidak sampai ke orang-orang yang dituju. Sebagian dipakai sendiri oleh Ari Muladi (seperti diakui dalam BAP yang disusun penyidik Mabes Polri), sebagian diberikan Yulianto.
Sayang Yulianto belum dapat ditemukan. Padahal dia lah kunci pembuka kasus itu. Namun Ari mengakui Yulianto pernah membuat surat pencabutan cekal palsu, seolah-olah ditandangani Chandra Hamzah, setelah Anggoro terus bertanya mengenai hasil penyuapan kepada pimpinan KPK.
Dari cerita itu, tidak ada bukti duit dari Anggoro sampai ke kantong Chandra dan Bibit, karena aliran dana suap terputus di sosok orang bernama Yulianto. Apakah Yulianto menggelapkan uang dari Ari Muladi atau telah menyerahkan kepada Ade Rahardja? Muncul pertanyaan lain, apakah orang bernama Yulianto benar-benar ada? Hanya Ari Muladi yang tahu.
Niatnya menyuap
Penanganan kasus ini jadi merusak logika hukum ketika Mabes Polri menjaring Chandra dan Bibit sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang, pemerasan, dan penyuapan. Dalam kasus suap, pihak penyuap harus ikut dijaring sebagai tersangka, bukan hanya penerima.
Muncul pertanyaan, mengapa Anggoro Widjojo, Anggodo Widjojo (adik Anggoro), dan Ari Muladi tidak dijaring sebagai tersangka kasus suap oleh Mabes Polri? Padahal jelas-jelas mereka mengakui terlibat dalam upaya tersebut.
Uniknya, Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Komjen Sisno Duadji dan stafnya bertemu Anggoro di Singapura untuk penyusunan berita acara pemeriksaan (BAP). Dalam kapasitas apa Anggoro menjalani pemeriksaan di luar negeri?
Kalau sebagai saksi untuk perkara kasus suap terhadap tersangka Chandra dan Bibit, bukankah dia penyuapnya yang seharusnya juga berstatus sebagai tersangka. Apakah BAP Anggoro yang dibuat di tempat pelariannya (Singapura) mempunyai kekuatan pembuktian, padahal seorang saksi BAP wajib dihadirkan ke persidangan untuk memberikan keterangan secara langsung.
Uniknya lagi, Ari Muladi jadi tersangka dengan tuduhan melakukan pemerasan dan penggelapan terhadap kakak beradik Anggoro-Anggodo. Seorang penyuap melaporkan orang suruhannya yang gagal mengatur perkara di KPK. Mabes Polri menerima dan memproses laporan dari seorang penyuap. Luar biasa!!!
Pertanyaan sederhana bisa diajukan. Apakah Anggoro-Anggodo akan melaporkan Ari Muladi ke Mabes Polri kalau duit suap Rp 5,1 miliar sampai ke tangan Chandra Hamzah, Bibit Samad, dan Ade Rahardja? Jawabannya bisa di tebak, tidak!!!
Andai saja uang suap sampai ke tangan yang dituju dan maksud Anggoro tercapai (cekal dicabut dan penyidikan kasus SKRT dihentikan), apakah bos PT Masaro Radiokom akan melapor kepada Antasari dan membukanya ke publik? Tentu tidak. Kalau begitu, mengapa aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi dan kejaksaan, memberi pelayanan luar biasa kepada seorang penyuap yang gagal mencapai tujuannya?
Wajar saja kalau kemudian muncul dugaan kuat adanya konspirasi menyusun rekayasa memperlemah posisi KPK sebagai institusi melalui kriminalisasi para pimpinannya. Bertambah kuat lagi setelah terungkap rekaman hasil sadapan pembicaraan orang-orang yang terkait dengan kasus Chandra dan Bibit. Apakah semua itu benar adanya, Wallahuallam.
=======================================================
Keterangan foto: Anggoro Widjojo

Tidak ada komentar: