Jumat, 20 November 2009

HARAP-HARAP CEMAS MENUNGGU SBY



MUNCUL berbagai diskusi di ruang-ruang publik mengenai apa yang akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk merespon hasil kerja Tim 8 (dibentuk untuk melakukan verifikasi kasus Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah)? Ada yang bilang, rekomendasi Tim 8 tidak bermakna apapun karena Presiden SBY tidak mungkin melakukan intervensi terhadap proses hukum Bibit dan Chandra.
Namun ada pihak yang menyebut, Presiden memang tidak boleh melakukan intervensi proses hukum dalam kondisi normal. Dalam kondisi abnormal seperti sekarang ini, sah-sah saja Presiden memberi arahan kepada Kapolri dan Jaksa Agung sebagai bawahannya sehingga rekomendasi Tim 8 bisa terealisasi.
SBY baru bersikap pada Senin (23/11) alias tiga hari sebelum tulisan ini saya buat. Sembari menunggu sikap SBY, orang mulai menebak-nebak sesuai persepsinya masing-masing. Nah saya juga akan menebak apa kira-kira sikap yang akan dilakukan SBY.
Saya membayangkan SBY tengah berpikir keras, setelah berkali-kali memanggil Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, serta menggelar rapat kabinet. Kata kuncinya, kasus Bibit Chandra terselesaikan sesuai rekomendasi Tim 8 tetapi tidak melanggar konstituasi.
Dalam bayangan saya, SBY tengah menimbang-nimbang penggunaan wewenangnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sesuai dengan kententuan konstitusi dan undang-undang, Jaksa Agung dan Kapolri berada di bawah presiden sehingga SBY punya wewenang untuk menilai kinerja mereka dan melakukan reposisi.
Kalau Presiden menilai kinerja Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Kapolri Bambang Hendarso tidak memenuhi standar, tentu saja SBY berwenang mengganti mereka. Tentu saja penilaian didasarkan subyektivitas Presiden karena tidak ada aturan mengenai bagaimana Presiden menilai kinerja para pembantunya.
Secara formal tak ada keharusan SBY menerangkan apa alasan mengganti Jaksa Agung dan Kapolri. Sama halnya dengan Presiden tidak perlu menyampaikan alasan mengapa seseorang ditunjuk sebagai menteri, Jaksa Agung dan Kapolri. Alasannya singkat. Ini hak prerogratif Bung!!!
Kalau SBY setuju pada rekomendasi Tim 8, tentu akan memilih Jaksa Agung yang bisa merealisasikannya. Sedangkan untuk menunjuk Kapolri baru, SBY perlu menjalani prosedur agak berliku karena harus mengajukan calon ke Komisi III DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Namun bukan berarti SBY tidak bisa segera mencopot Bambang Hendarso dari posisi Kapolri. Selama DPR memproses calon Kapolri yang diajukan, SBY bisa menunjuk pelaksana tugas atau memfungsikan Wakil Kepala Polri.
Kriminalisasi Part II
Mengganti dua pejabat itu menjadi sebuah keniscayaan alias pilihan satu-satunya agar kasus Bibit-Chandra tidak menguras energi masyarakat dan SBY sendiri. Mengapa? Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman tetap pada pendapatnya, kasus Bibit-Chandra cukup bukti untukdiajukan ke persidangan.
Meski sudah diminta SBY mempelajari dan mempertimbangkan rekomendasi Tim 8, tetap saja mereka bergeming pada pendapatnya. Bahkan, di tengah turbulensi kasus Bibit-Chandra Part I, Mabes Polri berusaha kembali melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dengan cara memproses laporan Anggodo Widjojo.
Anggodo memperkarakan pimpinan KPK karena tidak terima pembicaraan teleponnya dengan sejumlah orang, termasuk penyidik kasus Bibit-Chandra Part I, disadap lembaga superbody tersebut. Saat penyadapan dilakukan Bibit dan Chandra masih berstatus sebagai pimpinan KPK alias belum dinonaktifkan.
Upaya menjerat kembali Bibit dan Chandra dimulai dengan pemanggilan pimpinan media massa (wartawan), Jumat, 20 November 2009. Dalam surat panggilan kepada redaksi Kompas, secara jelas Mabes Polri menyebutkan dasar pemanggilan yaitu laporan Anggodo dan penasihat hukumnya, Bonaran Situmeang terkait sadapan KPK.
Kemungkinan besar wartawan hendak digiring untuk membuka siapa pihak yang memberi transkrip rekaman pembicaran telepon Anggodo Cs. Harapannya, wartawan mengakui mendapat bahan berita itu dari KPK, Bibit-Chandra atau penasihat hukumnya.
Bambang Hendarso tentu tidak bisa berkelit bahwa proses hukum terhadap laporan Anggodo dan pemanggilan wartawan di luar pengetahuannya. Bukankah para penyidik merupakan bawahannya dan kasus yang mereka tangani, apalagi bersifat sensitif dan menarik perhatian masyarakat, harus dilaporkan kepada sang atasan.
Proses hukum terhadap laporan Anggodo segaris dengan isi jumpa pers Kapolri sehari setelah Bibit-Chandra ditahan. Saat itu Bambang Hendarso menyatakan akan mengusut publikasi transkrip hasil sadapan KPK terhadap Anggodo, kalau perlu melakukan penyitaan.
Kalau langkah tersebut diteruskan, tidak mustahil akan menimbulkan kegemparan dan blunder kedua. Lagi-lagi bangsa ini akan terkuras energinya untuk memperdebatkan pepesan kosong yang digelindingkan Anggodo.
Bagaimana kalau SBY tidak menggunakan wewenang itu? Entahlah!!!!!
(Baca juga: Mencari Asal Muasal Transkip)
Caption: Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Nanan Sukarna, ketika menerima aksi demo para wartawan terkait pemanggilan pimpinan Kompas dan Seputar Indonesia ke Mabes Polri, Jumat (20/11)

Tidak ada komentar: