Kamis, 26 November 2009

BIBIT-CHANDRA BELUM AMAN


TERNYATA tebakan saya mengenai sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap kasus Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah, meleset jauh. Semula saya mengira SBY akan mencopot Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supanji agar kasus dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut tak diajukan ke pengadilan.
Prediksi SBY bakal mengeluarkan abolisi supaya tidak melanggar konstitusi juga meleset. Ternyata pria asal Pacitan, Jawa Timur, itu hanya mengeluarkan keputusan pendek, yaitu minta agar kasus Bibit-Chandra tak perlu diajukan ke pengadilan dan menginstruksikan Kapolri serta Jaksa Agung melakukan tindak korektif ke dalam.
Lebih mengejutkan saya ketika sehari setelah SBY berpidato di Istana Negara, 23 November 2009, Jaksa Agung menyatakan berkas perkara Chandra Hamzah yang sudah ada di kantornya, akan dinyatakan P-21 alias lengkap dan cukup bukti. Hendarman hanya memberi sinyal kejaksaan bakal menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) setelah jaksa penuntut umum melakukan kajian apakah perkara itu layak disidangkan atau tidak.
Saya bingung sekaligus harap-harap cemas karena mengeluarkan SKPP setelah menyatakan berkas P-21, sangat berisiko. Mengapa? Ada sebuah kontradiksi nyata antara P-21 dengan SKPP. Bagaimana mungkin sebuah berkas hasil kerja penyidik yang telah dinyatakan lengkap (cukup bukti) tapi kemudian dihentikan penuntutannya?
Menurut saya, tindakan itu sama saja memberi ruang kepada Anggoro Widjojo/penasihat hukumnya mengajukan gugatan praperadilan untuk mempersoalkan SKPP. Penasihat hukum Anggoro Widjojo sangat mudah membuktikan SKPP kasus Chandra cacat hukum dan tak berdasar.
Pengadilan yang memeriksa gugatan penasihat hukum Anggoro, terlalu naif untuk menolak permohonan praperadilan tersebut. Apalagi, jika kejaksaan sebagai pihak tergugat tidak terlalu bernafsu mempertahankan argumen hukum dalam menerbitkan SKPP.
Bukankah sejak awal hingga setelah pidato SBY, kejaksaan tetap berkeyakinan hasil penyidikan kasus Bibit-Chandra memenuhi syarat dibawa ke pengadilan. Bagi kejaksaan, gugatan praperadilan Anggoro bisa diibaratkan pucuk dicinta ulam tiba. Wong memang maunya membawa Bibit dan Chandra ke pengadilan.
Kalau pengadilan mengeluarkan putusan yang memerintahkan kejaksaan mencabut SKPP dan membawa kasus Bibit-Chandra ke pengadilan, tidak ada satu pun pihak di negeri ini yang bisa lagi mengintervensi.
Pasal 140 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan jaksa penuntut umum dapat menerbitkan SKPP manakala tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana, atau ditutup demi hukum. Bukankah dengan menyatakan P-21 berarti jaksa penuntut umum berpendapat tindak pidana yang disangkakan cukup bukti?
Apa pula yang dimaksud perkara ditutup demi hukum? Perkara dikatakan ditutup demi hukum manakala tersangka meninggal dunia atau kadaluarsa. Dalam perkara Bibit-Chandra, jelas alasan perkara ditutup demi hukum untuk menerbitkan SKPP, tidak memenuhi syarat.
Dalam perkara mantan Presiden Soeharto, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memenangkan kejaksaan yang menerbitkan SKPP. Alasan yang dipakai cukup kuat,meski tidak memenuhi syarat tersangka meninggal dunia dan kadaluarsa, yaitu tersangka Soeharto dalam kondisi sakit permanen sesuai keterangan tim dokter independen.
Dua cara
Lalu bagaimana solusi yang seharusnya dilakukan supaya penghentian kasus Bibit-Chandra tak terbelenggu ancaman praperadilan? Ada dua cara yaitu:
* Jaksa Penuntut Umum yang memeriksa berita acara pemeriksaan (BAP) dari penyidik menyatakan tindakan Bibit-Chandra menerbitkan cekal terhadap Anggoro dan Djoko Tjandra bukan tindak pidana. Sedangkan untuk sangkaan pemerasan tidak cukup bukti.
Dengan demikian, penyidik dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) setelah menerima pengembalian BAP dan pendapat Jaksa Penuntut Umum.
* Jaksa Penuntut Umum mengembalikan BAP kepada penyidik karena tidak lengkap dan meminta penyidik menyerahkan kembali 14 hari kemudian dengan pernyataan optimal (tidak sanggup lagi menyempurnakan BAP). Selanjutnya jaksa mengambil alih penyidikan/melakukan penyidikan tambahan. Kemudian mengeluarkan SP3.
Skenario tersebut di atas pernah menjadi bahan pembicaraan antara Anggodo Widjojo dengan seorang jaksa untuk menghentikan penyidikan sebuah perkara pidana di Surabaya. Patgulipat antara Anggodo-oknum jaksa itu tersadap oleh KPK dan kemudian diperdengarkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK)
Wajar saja kalau Chandra Hamzah tak begitu gembira meski Presiden SBY sudah bersikap agar kasus menghebohkan itu perlu dilanjutkan ke persidangan. "Belum ada langkah konkret," ujar Chandra setiap kali ditanya wartawan.
Hingga tulisan ini dibuat kejaksaan masih belum menyatakan sikap secara jelas. "Semua tergantung hasil kajian tim jaksa penuntut umum yang meneliti berkas perkara Bibit-Chandra. Kalau dinilai tidak layak diajukan ke pengadilan ya diterbitkan SKPP," ujar Hendarman.
Bung Chandra dan Bibit, perjalanan masih panjang! Be carefull guys....

Tidak ada komentar: