Jumat, 30 Oktober 2009

SIKAP YANG TAK MEMENUHI HARAPAN


PRESIDEN SBY menggelar jumpa pers di Istana Negara, Jumat (30/10), setelah sebelumnya memanggil Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, Jaksa Agung Hendarman Supanji, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Menkopolhukam Djoko Suyanto, serta Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Topiknya apalagi kalau bukan penanganan kasus dan penahanan dua pimpinan nonaktif KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Inti jumpa pers, SBY menyatakan tidak ingin mengintervensi proses hukum terhadap Chandra dan Bibit. Ia menyebutkan selama periode pemerintahan pertama (2004-2009) hingga memasuki 10 hari pemerintahan periode kedua, tidak pernah turut campur masalah teknis penegakan hukum.

SBY mengaku pernah berharap proses hukum terhadap pejabat pemerintahan (Gubernur/Wakil Gubernur, Wali Kota/Wakil Wali Kota, dan Bupati/Wakil Bupati) tidak perlu disertai penahanan manakala memang tidak perlu. Secara pribadi ia berpendapat, selama menjalani proses hukum, para pejabat tersebut dapat melaksanakan tugasnya sehari-hari kalau tidak ditahan.

Namun harapannya tersebut tak bergayung sambut. KPK tetap menahan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan yang terjerat kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran.

Apakah SBY jengkel pada KPK? Seharusnya tidak. Karena ia tahu persis KPK merupakan lembaga independen yang tidak boleh diintervensi siapapun termasuk presiden.

Saat ini posisinya memang dilematis. Di satu sisi SBY memang harus tetap berada dalam domeinnya yaitu tidak ikut campur dalam teknis proses penegakan hukum. Namun di sisi lain muncul desakan sangat kuat untuk menekan bawahannya, dalam hal ini Kapolri dan Jaksa Agung, agar menghentikan proses penyidikan terhadap pimpinan KPK.

Adakah jalan tengah yang tetap dalam koridor hukum? Saya langsung teringat gaya Jusuf Kalla ketika menjabat sebagai Wakil Presiden. Ia sempat memanggil Kapolri dan memberi dealine selama satu minggu untuk menyelesaikan penyidikan kasus Chandra-Bibit. Deadline terlampaui sehingga Kapolri menyatakan lempar handuk.

Tengat waktu yang diberikan Kalla bisa ditafsirkan sebagai sebuah peringatan kepada Polri agar bekerja secara serius, profesional, dan akuntable. Kalau memang kesulitan membuktikan tuduhan, mengapa tidak segera menghentikan penyidikan.

Kalau punya bukti cukup, mengapa berlarut-larut dan terlihat ragu-ragu sehingga memicu munculnya opini publik berupa rasa tidak percaya. Apalagi dalam proses penyidikan, Polri melibatkan Kejaksaan Agung sehingga seharusnya berita acara pemeriksaan (BAP) Chandra-Bibit tidak harus dikembalikan lagi kepada polisi untuk disempurnakan.

Sikap serupa sebenarnya bisa dilakukan SBY. Beri deadline kepada Polri dan Kejaksaan Agung. Dengan begitu tidak muncul sikap seperti Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy. Ia mengatakan tidak perlu terburu-buru menyatakan sikap terhadap BAP penyidik Polri yang telah disetorkan kepada Kejaksaan Agung.

Marwan beralasan, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi waktu 14 hari (2 minggu) untuk memeriksa BAP. Amboi, gampang nian mengeluarkan jawaban seperti itu. Inikah sikap profesional?

Bukankah BAP tersebut sebelumnya telah dikembalikan Kejaksaan Agung kepada penyidik untuk disempurnakan (P-18 dan P-19)? Bukankah forum konsultasi antara penyidik-penuntut umum dalam menyusun BAP sudah menjadi sebuah keniscayaan?

Sah saja bagi seorang presiden memberi target kepada bawahannya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Tindakan tersebut bukan intervensi terhadap teknis penegakan hukum, tetapi justru cambuk bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan sikap profesional.

Sikap SBY yang hanya memerintahkan Kapolri memberi penjelasan segamblang-gamblangnya kepada publik melalui jumpa pers, tidak menjawab harapan publik. Begitu pula permintaan agar publik mempercayakan kasus dua pimpinan KPK tersebut kepada proses hukum, mulai dari tingkat penyidikan hingga persidangan di pengadilan.

Solusi lainnya, Presiden SBY sebenarnya bisa meminta Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisiil, untuk melakukan monitoring terhadap penanganan kasus yang menarik perhatian masyarakat tersebut. Itulah langkah nyata dan konkret yang masih dalam koridor rule of the game di negeri ini.

MEMBURU ASAL MUASAL TRANSKRIP


ANGGODO Widjojo, sosok kontro-versial di balik kasus yang menimpa dua pimpinan nonaktif KPK, akhirnya muncul juga. Pria itu selama ini banyak disebut ikut terlibat dalam urus mengurus pencabutan cegah tangkal (cekal) Anggoro Widjojo Cs , pengemba-lian barang bukti yang disita KPK, dan penyidikan kasus tersangka Chandra Hamzah-Bibit Samad Rianto.
Anggodo muncul di Mabes Polri, Jumat (30/10), untuk melaporkan penyebaran dan publikasi transkip rekaman hasil sadapan yang merugikan dirinya. Tak jelas siapa pihak yang dilaporkan Anggodo.
KPK tidak pernah mengeluarkan dokumen berisi transkrip rekaman hasil sadapan yang beredar sekarang ini. KPK juga belum mempublikasikan isi rekaman. Tak jelas juga apakah Anggodo berniat melaporkan pers yang mempublikasikan transkrip tersebut.
Pada hari yang sama, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri mengaku telah memerintahkan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) untuk menyidik penyebaran dan substansi transkrip tersebut. Ia bahkan memerintahkan dilakukannya penyitaan terhadap transkrip yang isinya dikutip berbagai media massa.
Apakah transkrip yang dipunyai para awak media massa akan ikut disita? Belum jelas benar. Kalau polisi memang menyita transkrip yang dipunyai para wartawan, apakah pekerja pers dan para pengelola media massa akan dimintai keterangan mengenai asal muasal barang tersebut.
UU Pers mengatur hak ingkar, yaitu hak untuk tidak mengungkapkan siapa sumber berita yang memberikan bahan-bahan berita, termasuk dalam hal ini transkrip rekaman hasil sadapan. Hak seperti itu mirip dengan hak imunitas yang diberikan UU kepada rohaniawan Katholik, advokat , dan notaris.
Rohaniwan Katholik punya hak untuk tidak menceritakan kepada penyidik apa isi pengakuan dosa umatnya. Advokat juga punya hak untuk tidak mengungkapkan apa pengakuan yang disampaikan kliennya. Demikian pula seorang notaris.
Khusus untuk wartawan, hak ingkar bisa gugur kalau ada putusan pengadilan atas dasar untuk kepentingan umum. Jadi sepanjang tidak ada putusan pengadilan yang memerintahkan wartawan membuka jati diri sang narasumber, termasuk pemberi transkrip rekaman, polisi tidak bisa melakukan upaya paksa.
Namun, tanggungjawab pidana terhadap materi informasi yang diberikan sang narasumber beralih kepada wartawan/media bersangkutan. Artinya wartawan dan media bisa dijaring sebagai tersangka pencemaran nama baik (kalau isi transkrip itu ternyata tidak benar) dan/atau membocorkan rahasia negara kalau isi transkrip itu sesuai dengan hasil sadapan KPK terhadap Anggoro Cs.
Celakanya, tuduhan membocorkan rahasia negara tidak bisa diselesaikan melalui hak jawab. Berbeda halnya kalau tuduhan hanya pencemaran nama baik. Orang-orang yang disebut-sebut dalam transkrip dan diberitakan di media massa bisa menggunakan hak jawab dan koreksi lebih dulu.
Publikasi hasil sadapan memang hanya dimungkinkan kalau ada izin dan/atau perintah pengadilan (majelis hakim). Bisa juga dipublikan oleh lembaga negara yang punya wewenang menyadap dan memublikasikannya untuk kepentingan proses penegakan hukum.
Tak ada jeleknya, kalangan pers bersiap diri ketika nantinya mendapat panggilan dari polisi. Wajar saja, karena media massa lah yang pertama kali mempublikasikan transkrip itu. Penasihat hukum tersangka Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto hanya memberi keterangan mengenai adanya rekaman pembicaraan yang mengarah rekayasa.
Para penasihat hukum itu secara formal tidak pernah secara rinci dan detail menjelaskan isi rekaman hasil sadapan KPK, seperti dimuat media massa. Oleh karena itu untuk membuka siapa yang memberikan transkrip bersangkutan, kunci pembukanya adalah para wartawan.
Lepas dari persoalan itu, lebih penting dan substansiil adalah mengungkap siapa saja terlibat dalam pembicaraan telepon yang disadap KPK. Termasuk menentukan apakah mereka yang terlibat pembicaraan memang berniat mengintervensi dan merekayasa kasus Chandra-Bibit.
Jangan sampai semangat untuk memburu sang penyebar transkrip justru mengubur tujuan mengungkap masalah utamanya.Bukankah apa yang dilakukan wartawan dan kalangan pers memublikasikan transkrip tersebut semata-mata bertujuan untuk mendapatkan kebenaran, bukan mencemarkan nama baik orang per orang.
Kecuali kalau negeri ini memang berniat membungkam pers agar tidak lagi bersikap kritis mengenai kejanggalan-kejanggalan yang muncul di tengah masyarakat. Mengorbankan formalisme sangat lebih baik daripada membiarkan praktik KKN kian menggurita dan membunuh negeri ini.
Caption: Anggodo Widjojo (baju merah) saat berada di Mabes Polri.

Kamis, 29 Oktober 2009

PINTARNYA SANG SUTRADARA

MENGEJUTKAN... Bukan hanya penahanan mendadak terhadap dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, yang menghebohkan. Tetapi juga perubahan pasal tuduhan dari penyalahgunaan wewenang dan suap, menjadi penyalahgunaan wewenang dan pemerasan.

Ada perbedaan besar antara tuduhan penyuapan dan pemerasan. Kalau Chandra Hamzah dan Bibit dijaring dengan pasal penyuapan, berarti sang penyuap --dalam hal ini Direktur Utama PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dan adiknya, Anggodo Widjojo-- harus juga dijaring sebagai tersangka.

Manakala tuduhan diubah menjadi pemerasan, dua kakak beradik itu hanya berposisi sebagai korban. Sebuah pengalihan yang cerdas untuk menyelamatkan posisi Anggoro-Anggodo, sehingga kriminalisasi terhadap pimpinan KPK bisa berjalan lancar.

Uniknya lagi, dasar yang dipakai penyidik Mabes Polri untuk menjaring Chandra dan Bibit sebagai tersangka adalah laporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Padahal Antasari mengakui sengaja digiring membuat laporan polisi setelah Polda Metro Jaya yang tengah menyidik dirinya sebagai tersangka kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen menemukan sebuah rekaman di laptop Antasari.

Dalam laptop tersebut terdapat rekamam pembicaraan Antasari dengan Anggoro Widjojo di sebuah hotel di Singapura. Terekam pengakuan Anggoro yang telah mengeluarkan uang suap Rp 4,1 miliar untuk pimpinan KPK agar perkara yang membelitnya tidak diteruskan.

Anggoro terkena cegah tangkal (cekal) karena diduga menyuap mantan Ketua Komisi IV DPR, Emir Yusuf Faisal, untuk memuluskan proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan. KPK juga menyita sejumlah barang dari kantor PT Masaro.

Dalam pertemuan dengan Antasari, Anggoro mengaku menggelontorkan uang suap melalui adiknya, Anggodo. Ia juga mengeluh karena KPK tetap meneruskan kasus SKRT , padahal sudah merasa memberi suap.

Antasari sendiri mengaku tidak begitu saja percaya kepada cerita Anggoro sehingga merasa perlu melakukan pengumpulan fakta dan data lebih akurat. Upaya belum selesai, Antasari keburu ditangkap dan ditahan Polda Metro Jaya dengan sangkaan sebagai aktor intelektual kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.

Ketika menjalani penahanan di Polda Metro Jaya, Antasari 'ditekan' untuk membuat testimoni mengenai pertemuan dengan Anggodo. Selanjutnya digiring membuat laporan polisi.

Kalau kasus Chandra-Bibit dimulai dari laporan Antasari, lalu bagaimana dengan penggelontoran uang Rp 4,1 miliar yang dilakukan untuk menyuap pimpinan KPK melalui orang bernama Ari Muladi? Pemberian uang dilakukan sebelum Anggoro bertemu Antasari.

Lebih mengejutkan lagi, Ari Muladi yang disebut sebagai saksi kunci kasus itu kemudian mengeluarkan keterangan bertolak belakang. Ia mengaku terus terang tidak pernah menyampaikan duit pemberian Anggodo --total Rp 5,1 miliar-- kepada pimpinan KPK (baca tulisan Pengakuan Sang Kurir).

Ari bahkan mengakui sebagian dari uang itu dipakai untuk kepentingan pribadinya dan diberikan kepada seorang bernama Yulianto. Ari sendiri dijaring sebagai tersangka penipuan dan penggelapan sesauai laporan Anggodo. Artinya, Anggodo mengakui bahwa uang suap yang dimaksudkan untuk pimpinan KPK digelapkan oleh orang suruhannya sendiri.

Kalau tuduhan pemerasan yang disangkakan kepada Chandra dan Hamzah tetap dipaksakan, tentu sangat tidak klop dengan tuduhan terhadap Ari Muladi. Lebih tidak klop lagi kalau Ari Muladi dikategorikan sebagai kaki tangan pimpinan KPK untuk memeras Anggoro, seperti skenario yang disusun Anggoro Cs. Ironis!!!

Dapat dilihat dengan jelas siapa yang paling berkepentingan dalam kasus tersebut. Jawabannya jelas, Anggoro Widjojo Cs. Pantaskah dia disebut sebagai korban pemerasan?? Jauh panggang dari api.

Layakkah orang yang kini berleha-leha di Singapura, sebuah negeri asing yang tak punya perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, mendapat perlindungan dan pelayanan luar biasa. Betapa tidak, untuk meminta kesaksian dalam kasus Chandra dan Bibit, penyidik harus terbang ke Singapura.

Padahal posisinya adalah tersangka dan buron kasus korupsi proyek SKRT Rp 180 miliar. Selain itu seharusnya dia dijaring sebagai tersangka penyuapan, atau setidak-tidaknya percobaan penyuapan, terhadap pimpinan KPK.

Amboi sungguh naif seorang Anggoro Widjojo ternyata mampu mengadu domba lembaga penegak hukum dari jarak jauh. Bisa 'memerintah' para petinggi lembaga penegak hukum menemui dirinya di Singapura. Bisa mengatur isi berita acara pemeriksaan (BAP).

Presiden Republik Indonesia saja tidak punya wewenang turut campur dalam penanganan perkara, tapi seorang Anggoro punya pengaruh terhadap arah hasil penyidikan pimpinan lembaga negara. Luar biasa... Luar biasa!!!
Caption foto: Dari kiri: Bibit Samad Rianto, Bambang Widjojanto (penasihat hukum), dan Chandra Hamzah.

PENGAKUAN SANG KURIR



Berikut ini pengakuan tersangka Ari Muladi, orang yang dimintai bantuan Anggodo Widjojo menyerahkan uang suap Rp 5,1 miliar kepada pimpinan KPK agar kasus PT Masaro tak dilanjutkan. Pengakuan Ari disampaikan kepada penyidik Mabes Polri Kombes Pol Martuani Sormin, 26 Agustus 2009. Inikah saksi kunci tuduhan pemerasan yang menjadi dasar Mabes Polri untuk menjebloskan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dua pimpinan nonaktif KPK, ke dalam tahanan? Sungguh naif!!!

SEKITAR Juli 2008, ketika tengah berada di Bali saya dihubungi Anggoro Widjojo melalui telepon. Anggodo bertanya apakah saya punya kenalan di KPK. Pada saat itu Anggodo menceritakan kantor PT Masaro digeledah KPK, padahal menurut Anggodo PT Masaro tidak ada kesalahan.
Pada waktu itu saya minta waktu untuk memastikan bisa tidaknya dibantu. Kemudian saya menghubungi Yulianto alias Anto. Saya tanyakan kepada Anto apakah ada teman di KPK. Yulianto minta waktu dan akan mengabari saya untuk kepastiannya.
Saat berkomunikasi lagi, Yulianto mengatakan masih memungkinkan untuk dibantu. Yulinato mengajak saya bertemu di jakarta setelah saya kembali dari Bali. Saya dan Yulianto bertemu di Pondok Indah.
Saat itu dia bilang sudah berkoordinasi dengan Ade Rahardja (Deputi Bidang Penindakan KPK Brigjen Pol Ade Rahardja). Menurut Yulianto, Ade Rahardja bisa membantu. Saya tidak pernah memberitahu Anggodo tentang permintaan bantuan kepada Yulianto untuk mengurus masalah PT Masaro Radiokom.
Pada 11 Agustus 2008 saya menerima uang 404.600 dolar AS dari Anggoro Widjojo untuk disampaikan kepada pimpinan KPK melalui Ade Rahardja. Pemberian uang dimaksudkan agar barang bukti yang disita KPK dikembalikan kepada PT Masaro.
Saya menerima uang di Karaoke Deluxe, kamar 01, Hotel Peninsula, Jakarta. Anggodo menyerahkan uang kepada saya yang perincian jumlahnya sebagai berikut:
* Rp 1,5 Miliar (Untuk Bapak Bibit S Rianto dalam bentuk dolar AS)
* Rp 1 Miliar (Untuk bapak Jasin dalam bentuk dolar AS)
* Rp 1 Miliar (Untuk Bapak Bambang dalam bentuk dolar AS)
* Rp 250 juta (Untuk media massa)
Kesemuanya berada dalam amplop warna cokelat yang di sebelah pojok kiri atas masing-masing amplop tertera angka sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Pada saat menyerahkan uang tersebut Anggodo mengatakan kepada saya , "Ini uang sesuai permintaan orang dalam, jangan lupa tanyakan kapan pengembalian barang bukti dan penghentian perkara PT Masaro."
Tak kenal Ade Rahardja
Kenyataannya saya tidak kenal, tidak pernah bertemu, dan tidak pernah berkomunikasi dengan Ade Rahardja. Namun kepada Anggodo saya laporkan bahwa saya telah memberikan uang tersebut kepada masing-masing orang sebagaimana daftar tersebut di atas.
Sekitar 13 November 2008, saya pernah menerima penyerahan uang dari Anggodo Rp 400 juta di kantor PT Masaro Radiokom, Jl Talang Betutu, Jakarta. Anggoro mengatakan ada permintaan uang lagi Rp 400 juta untuk penyidik.
Uang tersebut ditempatkan pada kantong kertas jinjing cokelat. Uang dibungkus amplop warna cokelat. Pada saat menyerahkan uang itu Anggodo mengatakan, ini adalah pemberian terakhir untuk penyidik KPK.
Penerimaan uang itu berkaitan dengan penyampaian saya kepada Anggodo Widjojo yang seolah-olah saya telah berkoordinasi dengan Ade Rahardja, bahwa uang itu untuk diberikan kepada penyidik KPK sehingga dengan pemberian uang tersebut maka tidak akan ada lagi pemanggilan-pemanggilan terhadap karyawan PT Masaro Radiokom.
Uang Rp 400 juta itu kemudian saya serahkan kepada Yulianto di Heli Bellagio Residence. Kemudian saya laporkan kepada Anggodo bahwa saya telah menyerahkan uang tersebut kepada Ade Rahardja sehingga dia percaya.
Kemudian, pada 13 Februari 2009, Anggodo Widjojo menyarahkan uang kepada saya 124.920 dolar Singapura. Uang saya terima di kamar 01 Deluxe Karaoke di Hotel Peninsula. Anggodo memerintahkan agar uang tersebut kepada Ade Rahardja untuk selanjutnya diserahkan kepada Chandra Hamzah.
Uang yang saya terima dari Anggodo dibungkus dalam kotak dompet blueberry kemudian diletakkan di dalam kantong kertas jinjing blueberry. Pemberian uang bertujuan untuk mencabut larangan bepergian ke luar negeri (maksudnya cegah tangkal/cekal) kepada Anggoro.
Bikin surat palsu
Saya tidak menyerahkan uang tersebut kepada Ade Rahardja karena saya tidak kenal. Uang saya serahkan kepada Yulianto untuk selanjutnya ke Ade Rahardja, lalu kepada Chandra Hamzah. Kepada Anggodo saya saya sampaikan bahwa uang telah saya serahkan kepada Ade Rahardja.
Saya pernah memberikan surat kepada Anggodo yaitu surat pencabutan pencegahan ke luar negeri yang seolah-olah dibuat KPK. Surat itu berawal dari desakan Anggodo kepada saya yang meminta surat pencabutan cekal atas nama Anggoro Widjojo, Anggono Widjojo, Putranefo, dan David Angkawijaya.
Adanya desakan itu saya mendesak Yulianto agar segera meminta Ade Rahardja menerbitkan surat pencabutan cekal sebagaimana dijanjikan Yulianto. Sekitar 6 atau 7 Jui 2009, Yulianto bertemu saya di parkiran depan Menara Imperium, kemudian kami berangkat ke daerah Matraman, tempat pengetikan komputer.
Karena waktu itu kondisinya ramai, saya dan Yulianto pergi meninggalkan toko tersebut. Pada 8 Juni, sekitar pukul 22.00 WIB, saya dan Yulianto pergi ke toko di daerah Matraman yang sebelumnya kami datangi.
Tujuan kami adalah untuk membuat surat pencabutan cekal dari KPK. Yulianto turun sambil membawa konsep surat pencabutan cekal. Saya melihat Yulianto menata dan menyusun lambang burung garuda. Kira-kira 30 menit kemudian Yulianto selesai membawa surat pencabutan cekal namun belum ditandatangani Chandra Hamzah.
Kami kembali ke parkiran Imperium. Saat itu Yulianto mengatakan surat pencabutan cekal yang baru kami buat tersebut akan ditandatangani Chandra Hamzah melalui Ade Rahardja. Selanjutnya kami berpisah.

Selasa, 27 Oktober 2009

MANUVER MENGHEBOHKAN SANG PENYUAP


HEBOH adanya rekaman hasil sadapan pembicaraan sejumlah orang yang diduga kuat terlibat rekayasa untuk menjerat dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, kian memperjelas karut marutnya proses penegakan hukum di negeri ini.
Berbagai keterangan dan komentar bukannya menjerniskan persoalan, tetapi justru makin menjauhkan dari substansi masalah. Padahal, sebenarnya sangat sederhana dan tidak perlu diseret-seret ke ranah lebih luas sehingga kian membingungkan.
Bermula dari adanya tuduhan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dalam menerbitkan surat perintah cegah tangkal (cekal) terhadap Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom, terkait proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan senilai Rp 180 miliar. Cekal dilakukan setelah ada dugaan kuat Anggoro memberikan suap untuk mendapat proyek tersebut.
KPK mendapat bukti awal adanya penyuapan ketika menyidik perkara tersangka Yusuf Emir Faisal, anggota DPR periode 2004-2009. Mantan Ketua Komisi IV DPR tersebut divonis 4,5 tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena dinilai terbukti menerima suap Rp 5 miliar dari pengusaha Chandra Antony, rekanan Pemprov Sumatera Selatan yang mendapat proyek pembangunan pelabuhan Tanjung Apiapi.
Anggoro tak terima masuk dalam daftar cekal sehingga berusaha keras mencari jalan agar terbebas dari urusan tersebut. Melalui sang adik bernama Anggodo Widjojo, ia berupaya menyuap pimpinan dan pejabat di KPK.
Anggodo minta bantuan orang bernama Ari Muladi yang mengaku mengenal Brigjen Pol Ade Rahardja, Deputi Penindakan KPK. Ari Muladi menerima uang sebanyak Rp 5,1 miliar dari Anggodo untuk membungkam KPK. Rupanya Ari Muladi minta bantuan orang lain bernamaYulianto.
Beres? Ternyata tidak. KPK tidak mencabut cekal, bahkan penyidikan terhadap Anggoro jalan terus. Merasa sudah mengeluarkan uang suap, Anggoro mencari jalan untuk bertemu Antasari Azhar, Ketua KPK. Jalan terbuka ketika Anggodo berkenalan dengan Edi Sumarsono, kenalan dekat Antasari.
Anggoro dan Antasari bertemu di Singapura. Anggoro cerita kepada Antasari telah bagi-bagi suap kepada pimpinan dan pejabat KPK, namun cekal tetap tidak dicabut. Rupanya pembicaraan itu sengaja direkam Antasari untuk keperluan penyelidikan lebih lanjut, apakah cerita Anggoro itu benar atau tidak.
Ternyata Anggoro tidak tahu bahwa duit Rp 5,1 miliar memang tidak sampai ke orang-orang yang dituju. Sebagian dipakai sendiri oleh Ari Muladi (seperti diakui dalam BAP yang disusun penyidik Mabes Polri), sebagian diberikan Yulianto.
Sayang Yulianto belum dapat ditemukan. Padahal dia lah kunci pembuka kasus itu. Namun Ari mengakui Yulianto pernah membuat surat pencabutan cekal palsu, seolah-olah ditandangani Chandra Hamzah, setelah Anggoro terus bertanya mengenai hasil penyuapan kepada pimpinan KPK.
Dari cerita itu, tidak ada bukti duit dari Anggoro sampai ke kantong Chandra dan Bibit, karena aliran dana suap terputus di sosok orang bernama Yulianto. Apakah Yulianto menggelapkan uang dari Ari Muladi atau telah menyerahkan kepada Ade Rahardja? Muncul pertanyaan lain, apakah orang bernama Yulianto benar-benar ada? Hanya Ari Muladi yang tahu.
Niatnya menyuap
Penanganan kasus ini jadi merusak logika hukum ketika Mabes Polri menjaring Chandra dan Bibit sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang, pemerasan, dan penyuapan. Dalam kasus suap, pihak penyuap harus ikut dijaring sebagai tersangka, bukan hanya penerima.
Muncul pertanyaan, mengapa Anggoro Widjojo, Anggodo Widjojo (adik Anggoro), dan Ari Muladi tidak dijaring sebagai tersangka kasus suap oleh Mabes Polri? Padahal jelas-jelas mereka mengakui terlibat dalam upaya tersebut.
Uniknya, Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Komjen Sisno Duadji dan stafnya bertemu Anggoro di Singapura untuk penyusunan berita acara pemeriksaan (BAP). Dalam kapasitas apa Anggoro menjalani pemeriksaan di luar negeri?
Kalau sebagai saksi untuk perkara kasus suap terhadap tersangka Chandra dan Bibit, bukankah dia penyuapnya yang seharusnya juga berstatus sebagai tersangka. Apakah BAP Anggoro yang dibuat di tempat pelariannya (Singapura) mempunyai kekuatan pembuktian, padahal seorang saksi BAP wajib dihadirkan ke persidangan untuk memberikan keterangan secara langsung.
Uniknya lagi, Ari Muladi jadi tersangka dengan tuduhan melakukan pemerasan dan penggelapan terhadap kakak beradik Anggoro-Anggodo. Seorang penyuap melaporkan orang suruhannya yang gagal mengatur perkara di KPK. Mabes Polri menerima dan memproses laporan dari seorang penyuap. Luar biasa!!!
Pertanyaan sederhana bisa diajukan. Apakah Anggoro-Anggodo akan melaporkan Ari Muladi ke Mabes Polri kalau duit suap Rp 5,1 miliar sampai ke tangan Chandra Hamzah, Bibit Samad, dan Ade Rahardja? Jawabannya bisa di tebak, tidak!!!
Andai saja uang suap sampai ke tangan yang dituju dan maksud Anggoro tercapai (cekal dicabut dan penyidikan kasus SKRT dihentikan), apakah bos PT Masaro Radiokom akan melapor kepada Antasari dan membukanya ke publik? Tentu tidak. Kalau begitu, mengapa aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi dan kejaksaan, memberi pelayanan luar biasa kepada seorang penyuap yang gagal mencapai tujuannya?
Wajar saja kalau kemudian muncul dugaan kuat adanya konspirasi menyusun rekayasa memperlemah posisi KPK sebagai institusi melalui kriminalisasi para pimpinannya. Bertambah kuat lagi setelah terungkap rekaman hasil sadapan pembicaraan orang-orang yang terkait dengan kasus Chandra dan Bibit. Apakah semua itu benar adanya, Wallahuallam.
=======================================================
Keterangan foto: Anggoro Widjojo

Jumat, 16 Oktober 2009

MISTERI KASUS ANTASARI

KASUS yang menimpa Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membetot perhatian saya.
Bukan hanya karena ada bumbu perselingkuh-an seperti tertuang dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), tetapi adanya per-tanyaan besar yang barangkali menggelayuti banyak orang, yaitu apakah sekonyol itu Antasari memerintahkan menghabisi Nasrudin.
Mungkinkah terjadi missperception di antara Antasari, Sigid Haryo Wibisino, dan Kombes Pol Wiliardi Wizar? Fakta yang tak dibantah para pihak dalam perkara itu adalah Antasari pernah curhat kepada karibnya, Sigid Haryo Wibisono (penguasa sekaligus pemilik koran terbitan Jakarta), mengenai ulah Nasrudin Zulkarnaen yang terus melakukan pemerasan dan teror.
Fakta lainnya, Sigid kemudian memperkenalkan Antasari kepada Wiliardi, perwira menengah di Mabes Polri yang menjabat Kepala Subdit Pariwisata dan Pengamanan Objek Vital, Babinkam.Wiliardi mendapat dana Rp 500 juta dari Sigid untuk menyelesaikan urusan dengan Nasrudin Zulkarnaen.
Siapa yang paling berpeluang mempunyai ide untuk menghentikan ulah Nasrudin dengan cara menyewa pembunuh bayaran? Mari kita telusuri satu per satu dari data yang tersedia.
Setelah dimintai bantuan menyelesaikan keruwetan yang dialami Antasari, Wiliardi menghubungi Jerrry Lo. Pengusaha asal Pontianak tersebut selanjut-nya mengontak kenalannya, Eduardus Ndopo Mbete (Edo). Orang inilah yang menerima biaya operasional Rp 500 juta, langsung dari tangan Wiliardi di Cilandak Town Square (Citos).
Cerita berikutnya, Edo yang mengkoordinasi para pelaksana di lapangan (eksekutor).Bisa jadi Antasari tidak pernah punya pikiran hingga ke hal teknis untuk menyelesaikan masalahnya. Sebagai petinggi lembaga penegak hukum yang tengah naik daun, bisa jadi detail teknis dipercayakan kepada Sigid dan Wiliardi.
Sejumlah kalangan percaya, tidak pernah terlontar perintah Antasari untuk membunuh Nasrudin. Pikiran menyelesaikan masalah dengan cara menghabisi korban kemungkinan besar datang dari Sigid dan/atau Wiliardi. Kalau teori itu dianut, apakah mungkin Sigid dan Wiliardi tidak menyampaikan kepada Antasari? Apalagi penyelesaian masalah memerlukan dana setidaknya Rp 500 juta, sebuah jumlah yang tidak sedikit.
Tampak benar, pemegang kunci persoalan ini adalah Sigid dan Wiliardi. Uniknya, Wiliardi beberapa kali mengubah keterangan. Awalnya, mantan Kapolres Metro Jakarta Selatan tersebut mengaku perintah membunuh berasal dari Antasari. Lalu ia mencabut keterangan pertama sembari menyebut Antasari tidak pernah mengeluarkan perintah menghabisi korban.
Kalau memang benar Antasari tidak pernah minta menghabisi Nasrudin, apakah dengan demikian Wiliardi ingin mengatakan perintah berasal dari Sigid atau inisiatif dirinya sendiri? Tidak mudah menentukan karena masing-masing mempunyai kepentingan untuk meloloskan diri dari tuduhan atau setidak-tidaknya meringankan posisinya.
Tidak tertutup kemungkinan mereka berdua salah menafsirkan keinginan Antasari, atau punya inisiatif sendiri untuk menuntaskan masalah. Istilahnya kebablasan. Di atas kertas, memang tidak ada cara lain untuk menghentikan gerakan Nasrudin yang menekan dan meneror Antasari.
Kalau Antasari menuruti semua keinginan Nasrudin, risikonya mempertaruh-kan posisi, reputasi, dan jabatannya. Kalau tidak dituruti, Nasrudin bisa kian menjadi-jadi. Membungkam Nsrrudin melalui jalur hukum juga justru bisa jadi bumerang.
Inilah dilema yang dihadapi Antasari Cs sehingga logis saja kalau penyidik yakin betul pada tuduhannya. Motifnya cukup terang benderang. Namun, adakah orang lain, di luar kelompok Antasari yang menginginkan kematian Nasrudin?
Mungkin para pejabat di PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang dibidik Nasrudin sebagai pesakitan kasus korupsi, tidak suka pada pria asal Sulawesi Selatan tersebut. Bukankah Nasrudin ikut berperan memberikan data mengenai korupsi di PT RNI kepada Antasari.
KPK baru menjaring Direktur Keuangan PT RNI, Ranedra Dangin, sebagai pesakitan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum Ranedra tiga tahun penjara, karena terbukti terlibat korupsi impor gula.
Kabarnya, Nasrudin ingin menggusur para petinggi RNI --holding company PT Putra Rajawali Banjaran, tempat kerja Nasrudin-- dengan menjebloskan mereka ke penjara melalui tangan Antasari. Dengan demikian ia dapat menduduki jabatan di perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) tersebut. Orang-orang yang dirugikan Nasrudin tersebut bukan berarti ikut terlibat atau teridikasi terlibat. Begitu pula orang-orang yang terganggu oleh gebrakan Antasari dan KPK , tidak bisa begitu saja bisa dituding berada di balik kematian Nasrudin.
Dalam eksepsinya Antasari telanjur melontarkan pernyataan ada grand skenario untuk melumpuhkan dirinya sebagai Ketua KPK dan lembaga pemberantas korupsi yang dipimpinnya. Benarkah lontaran Antasari tersebut?
Akankah waktu akan menjawab misteri tersebut? Atau hanya akan terkubur sebagai File X, seperti kasus kematian Munir dan Marsinah?? Entah!!!

Kamis, 15 Oktober 2009

ANTASARI, DI BALIK DAKWAAN SYUR


ISI surat dakwaan jaksa dalam kasus terdakwa Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jadi buah bibir.
Bukan kronologis rapat perencanaan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, yang bikin heboh. Justru di bagian yang mendiskripsikan secara detil adegan syur di kamar 803 Hotel Gran Mahakam, Jakarta, antara Antasari dengan Rani Juliani, istri muda Nasrudin.
Muncul pertanyaan logis, apakah uraian adegan yang bisa bikin nafas tersengal-sengal itu benar-benar terjadi? Kalau itu tercetak di buku roman picisan klas stensilan, sudah pasti hanya imajinasi sang penulis.
Antasari dan tim penasihat hukumnya menyebut isi dakwaan jaksa, termasuk yang mengungkap adegan mesum di kamar hotel, hanya lah sebuah isapan jempol alias tak ada bedanya dengan isi buku roman picisan. Sebaliknya tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) bentukan Kejaksaan Agung yakin betul sebuah fakta empiris, true story, dan bukan rekaan semata.
Bingung, mana yang benar. Memang, dalam ilmu hukum ada adagium yang menyebut, "Satu saksi bukan saksi (Unus testis nullus testis)." Logis saja kalau ada yang menganggap cerita heboh dalam kamar hotel patut diragukan karena hanya berdasar cerita Rani seorang.
Rasanya tim jaksa penuntut umum (JPU) bukan orang kemarin sore dalam menangani perkara. Apalagi, terdakwa yang disidangkan juga bukan orang sembarangan. Antasari seorang jaksa senior, mantan bos lembaga superbody di negeri ini.
Tim JPU tentu sudah hafal di luar kepala apa makna unus testis nullus testis. Apalagi sebelum diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, rencana dakwaan (rendak) sempat diperiksa Jaksa Agung Hendarman Supanji. Boleh dibilang isi dakwaan itu sudah melewati beberapa saringan hingga orang pertama di jajaran Korps Adhyaksa.
Apa kira-kira maksudnya? Saya teringat adagium dalam kriminologi. "Pembunuhan tanpa motif hanya bisa dilakukan orang gila!" Bisa jadi Tim JPU terdorong untuk mengungkapkan secara gamblang motif pembunuhan Nasrudin, yang dikenal punya hubungan dekat dengan Antasari.
Dari semua terdakwa, logikanya memang hanya Antasari yang punya kepentingan paling dekat dengan kematian Nasrudin. Terdakwa Sigid Haryo Wibisono --pengusaha yang juga pemilik sebuah koran terbitan ibukota-- tidak mengenal Nasrudin. Demikian pula Kombes Pol Wiliardi Wizar. Apalagi para pelaksana di lapangan (eksekutor), tambah sama sekali tidak mengenal korban.
Kalau hanya disebut motifnya dendam, tentu akan dipertanyakan apa pemicu munculnya dendam. Celakanya, untuk merangkai cerita mengenai penyebab dendam, hanya sosok Rani yang bisa menerangkan. Nasrudin tak mungkin lagi bersaksi.
Pengungkapan cerita syur tampaknya untuk melogiskan pemicu utama munculnya dendam. Bukankah rasa dendam bisa muncul dan terus memuncak ketika reputasi seseorang yang tengah berada di puncak popularitas menjadi taruhan?
Di sisi lain muncul misteri, benarkah penyidik punya sejumlah bukti berupa rekaman suasana yang terjadi di kamar 803? Kalaupun ada, rekaman tersebut secara yuridis tidak membuktikan apa-apa manakala Antasari tidak mengakuinya.
Dalam ranah pidana umum (seperti kasus pembunuhan Nasrudin), rekaman dan foto tidak diakui sebagai alat bukti. Hanya rekaman yang dibuat lembaga penegak hukum tertentu (harus diatur dalam UU) dalam kasus terorisme dan korupsi, bisa jadi alat bukti.
Ada satu celah sempit yang bisa memperjelas simpul krusial itu. Bukankah Antasari mengakui adanya pertemuan dengan Rani di kamar Hotel Gran Mahakam, Jakarta, termasuk cerita munculnya Nasrudin di kamar itu beberapa saat kemudian.
Bukankah tidak disangkal pula adanya ketegangan antara Antasari dengan Nasrudin yang menunjukkan rasa keterkejutan ketika mendapati istri mudanya berada dalam satu kamar dengan sang kawan. Selanjutnya, ada fakta tak terbantah yang menyebut Antasari minta bantuan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri setelah mendapat teror dari pasangan Nasrudin-Rani.
Tim hasil bentukan Kapolri untuk menghentikan ulah Nasrudin kabarnya tak membawa hasil. Penyebabnya bisa ditebak. Antasari ogah memperkarakan Nasrudin-Rani, karena khawatir sang buruan malah membongkar cerita aib di depan persidangan ketika dijaring sebagai terdakwa teror.
Bukan tidak mungkin Nasrudin punya senjata berupa cerita seru lainnya selain insiden di kamar 803. Kalau Nasrudin-Rani dijaring sebagai terdakwa teror, mau tak mau Antasari harus bersaksi di pengadilan sebagai korban teror dan pelapor. Bisa dibayangkan betapa ribetnya. Bisa-bisa malah jadi bumerang.
Logika tersebut di atas bukan berarti Antasari hanya satu-satunya orang yang berkepentingan terhadap kematian Nasrudin. Inilah yang harus dibuktikan pria berkumis tebal itu beserta tim penasihat hukumnya.
Tidak mudah dan sangat berisiko tinggi. Membuktikan terori konspirasi bukan seperti menelan sepotong pisang. Apalagi kalau baru tahap sinyalemen. Lepas dari semua itu, lebih baik kita tunggu jalannya persidangan hingga tuntas. Selamat berimajinasi... Fiat justitia ruat caelum (Tegakkan keadilan walau langit akan runtuh)

Note: Sebuah tulisan ketika sudah sekian lama tidak meng- up date blog.