Senin, 30 November 2009

BPK VERSUS BI, SERU!!!


LAIN Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lain pula Bank Indonesia (BI). Silang sengkarut antara BPK dan BI terjadi dalam memandang kasus Bank Century yang mendapat dana penempatan modal sementara (PMS) dari Lembaga Penjamin Simpanan sebesar Rp 6,75 triliun.
Hasil audit investigasi BPK terhadap PMS di Bank Century menyebutkan terjadi beberapa penyimpangan. Sorotan utama diarahkan kepada terbitnya keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani, 21 November 2008, untuk menyelamatkan Bank Century. Begitu pula tindakan BI memberikan fasiltas pinjaman jangka pendek (FPJP) Rp 689,394 miliar kepada Bank Century pada 14 November dan 17 November 2008 --sebelum dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik-- karena mengalami krisis likuiditas.
BPK berpendapat, Bank Century tidak layak mendapat FPJP karena rasio kecukupan modalnya tidak mencapai 8 persen (maksudnya 8 persen dari total dana pihak ketiga di bank bersangkutan) seperti dipersyaratkan dalam Peraturan BI. BPK mencatat, pada saat mendapat FPJP tahap pertama sebesar Rp 356,813 miliar, 14 November 2008, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) negatif/minus 3,53 persen.
Selain itu pemberian FPJP tidak disertai jaminan senilai minimal 150 persen dari dana yang dikucurkan BI untuk membantu menstabilkan likuiditas Bank Century. Menurut BPK jaminan yang diberikan Bank Century hanya 80 persen.
Begitu pula keputusan KSSK dianggap tidak punya dasar yang jelas. BPK menyebut keputusan yang menyebutkan Bank Cenutry sebagai bank gagal berdampak sistemik hanya berdasarkan judgement semata.
Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Bank Indonesia meradang. BI memberi penjelasan panjang lebar mengenai dua sorotan utama itu. Intinya, hasil audit investigasi BPK tidak benar dan tidak mempertimbangkan penjelasan Menteri Keuangan dan BI.
BI membantah rasio kecukupan modal Bank Century saat pemberian FPJP dalam kondisi negatif/minus. Hingga 30 September 2008 rasio kecukupan modal Century sebesar 2,5 persen. Mengenai jumlah jaminan, BI menyatakan perhitungan yang dilakukan BPK kurang tepat sehingga jumlahnya tidak mencapai 150 persen dari FPJP.
Aliran dana Century
Begitu pula mengenai keputusan menyatakan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, didasari oleh parameter-parameter yang jelas. BI menyebut keputusan itu merupakan profesional judgement.
Jadilah dua lembaga negara dalam posisi head to head. Mana yang benar?? Entah!! Waktu juga yang akan membuktikan, siapa yang benar. Di tengah berdebatan itu muncul publikasi mengenai aliran dana Bank Century ke sejumlah pihak ke lingkar dalam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Publikasi yang disampaikan Jaringan Aktivis, Senin, 30 November 2009, tersebut boleh dibilang mengejutkan. Dana Century yang mengalir ke sejumlah tokoh (di antaranya menteri Kabinet Indonesia Bersatu II), institusi swasta, partai politik, dan lembaga penyelenggara pemilu itu mencapai Rp 1,8 triliun.
Validkah data itu? Jaringan Aktivis mengaku siap bertanggungjawab bahkan hingga ke pengadilan kalau data aliran dana itu bohong belaka. Mereka mengaku mendapat data tersebut dari orang dalam lembaga negara. Padahal lembaga yang punya wewenang dan akses ke pembukuan bank hanya Bank Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK).
PPATK hanya memberi lontaran adanya 50 transaksi mencurigakan di Bank Century yang melibatkan 17 pihak (perorangan dan institusi). Apakah 17 pihak segaris dengan temuan Jaringan Aktivis? Belum jelas...
BPK sendiri tidak punya akses terhadap hasil pemeriksaan yang dilakukan PPATK karena terkendala ketentuan undang-undang. PPATK hanya bisa memberikan hasil penelusuran kepada penyidik Polri dan kejaksaan.
Heboh Century tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Ongkos sosial dan politik hingar bingar kasus Bank Century, tidak kecil. Apalagi setelah para politisi pengagas hak angket (hak melakukan penyelidikan) melakukan manuver tajam dengan menggelar safari politik ke sejumlah tokoh nasional.
Kalau tak dikelola dengan benar, isu kasus Bank Century bakal menjadi bola liar, menghantam ke sana ke mari. Tak mustahil akan memporakporandakan struktur bangunan politik yang dibangun dengan susah payah dan biaya luar biasa banyak melalui pemilu legislatif dan pemilihan presiden-wakil presiden 2009.
Diakui atau tidak, kasus Century mengarah kepada pimpinan nasional, Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono. Saat penyelamatan Bank Century dilakukan, Boediono menjabat Gubernur Bank Indonesia . Tak pelak, kasus Century merupakan isu yang panasnya berlipat-lipat dibanding kasus kriminalisasi terhadap dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Semoga saja tak sampai membakar habis negeri ini......

Caption foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Plt Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution

Jumat, 27 November 2009

TEKA-TEKI UANG BUDI SAMPOERNA


BUDI Sampoerna. Sebuah nama yang tercatat sebagai seorang deposan kakap Bank Century sebelum lembaga keuangan tersebut diambil alih pengelolaannya oleh Lambaga Penjamin Simpanan (LPS).
Konon, keluarga mantan pemilik PT HM Sampoerna (perusahaan rokok besar) tersebut mempunyai deposito sebesar Rp 2 triliun di Bank Century.
Setelah Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal akibat kesulitan likuiditas, nama Budi Sampoerna mendadak meroket. Pasalnya, duit Budi sebesar 18 juta dolar AS tak dapat dicairkan meski ia memegang warkat deposito yang diterbitkan Bank Century.
Wajar saja kalau Budi panik. Uang 18 juta dolar AS atau setara Rp 180 miliar bukan sedikit. Manajemen baru Bank Century menolak mencairkan uang tersebut dengan alasan di pembukuan yang disusun manajemen lama, saldo deposito Budi nol alias kosong melompong. Lho kok bisa? Pemilik lama Bank Century, Robert Tantular, mengaku deposito tersebut dipinjam dirinya atas persetujuan sang deposan. Namun Budi membantah keras dan menuding Robert Tantular tak lebih dari seorang pencuri yang menggarong duitnya.
Perjalanan uang itu boleh dibilang unik. Fulus yang semula disimpan di Bank Century Cabang Surabayatersebut dipecah menjadi 247 Negotiable Certificate Deposit (NCD) masing-masing senilai Rp 2 miliar.
Konon pemecahan itu dilakukan untuk mengantisipasi kalau Bank Century dilikuidasi karena ada kententuan simpanan nasabah yang diganti LPS hanya Rp 2 miliar. Selanjutnya uang dipindahkan ke Kantor Pusat Bank Century di Jakarta.
Perjalanan selanjutnya, duit dikirimkan ke sebuah bank di luar negeri untuk menutup utang pribadi Dewi Tantular --kakak kandung Robert Tantular-- terkait bisnis valuta asing. Takpelak saldo doposito atas nama Budi Sampoerna di Bank Century menjadi nol.
Ketika kasus Bak Century disidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareksrim) Mabes Polri, Budi Sampoerna melalui pengacara Lucas SH, minta bantuan Komisaris Jenderal Pol Susno Duadji sebagai Kepala Bareskrim untuk menerbitkan sebuah surat yang menyatakan deposito tersebut tidak bermasalah.
Lucas mengaku penerbitan surat keterangan dari Bareskrim itu atas permintaan manajemen baru Bank Century yang dipimpin Direktur Utama Maryono. Anehnya, meski Susno mengeluarkan dua surat (tertanggal 7 dan 17 April 2009) ditujukan kepada Direksi bank Century, Lucas mengaku hingga kini uang kliennya tak kunjung cair.
Lebih aneh lagi, hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, "Bank Century mengalami kerugian karena mengganti deposito milik nasabah yang dipinjamkan/ digelapkan sebesar 18 juta dolar AS dengan dana berasal dari penyertaan modal sementara (PMS)."
Kalimat itu bisa ditafsirkan sebagian uang PMS yang dikucurkan LPS telah dicairkan kepada Budi Sampoerna. Kalau benar telah cair, mengapa tidak sampai ke tangan Budi Sampoerna? Lalu ke mana fulus segitu banyak mengalir?
Menurut Maryono, uang PMS dari LPS yang telah dibayarkan kepada para deposan mencapai Rp 4 triliun, dengan perincian nasabah kecil Rp 2,2 triliun dan nasabah besar Rp 1,8 triliun. Sayang ia tidak menyebut apakah di antara nasabah besar itu terdapat nama Budi Sampoerna sebagai penerima pembayaran deposito?
Tak pelak, nasib uang Budi Sampoerna menjadi teka-teki hingga kini. Apakah mengalir kepada pihak lain, atau memang belum dicairkan dengan alasan tertentu? Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani mengaku deposito Budi Sampoerna itu masih ada di Bank Century (sekarang beralih nama menjadi Bank Mutiara).
Firdaus mengaku dana tersebut memang belum dicairkan Budi karena ada kesepakatan dengan pihak manajemen Bank Mutiara. Pencairan dana, menurutnya, dapat mengganggu kinerja bank tersebut sehingga manajemen Bank Mutiara menjalin komitmen dengan Budi.
Namun, mengapa Budi Sampoerna dan pengacaranya tidak pernah mengungkapkan adanya komitmen dengan Bank Century/Bank Mutiara untuk tidak menciarkan depositonya? Mengapa pula kepada publik Lucas selalu mengatakan belum menerima pembayaran?
Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) tak bersedia menjawab aliran dana Bank Century dengan alasan kententuan pasal 26 ayat g UU PPATK menyatakan pemeriksaan aliran dana hanya dapat disampaikan kepada penyidik Polri dan kejaksaan.
Akibat ketentuan UU tersebut, BPK tidak dapat mengakses data hasil pemeriksaan PPATK terhadap aliran dana di Bank Century. Oleh karena itu cukup beralasan bagi kalangan DPR ingin mengamandemen UU PPATK sehingga bukan hanya penyidik Polri dan kejaksaan, tetapi juga BPK, yang bisa mempoleh data aliran dana melalui perbankan. Selamat berjuang!!!!

Caption foto: Robert Tantular saat menjalani persidangan

Kamis, 26 November 2009

MAKELAR KASUS ATAU PENIPU?


ENTAH benar-benar bingung atau pura-pura bingung. Mabes Polri mengaku kesulitan menjaring Anggodo Widjojo sebagai tersangka. Adik tersangka Anggoro Widjojo (Direktur PT Masaro Radiokom) itu berperan sebagai perantara uang suap Rp 5,1 miliar dari kakaknya kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anggodo juga dianggap sebagai rekayator kriminalisasi dua pimpinan nonaktif KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Semua tergambar jelas dalam rekaman hasil sadapan pembicaraan telepon Anggodo dengan sejumlah oknum, seperti diperdengarkan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Wakabareskrim) Polri Irjen Dikdik Mulyana Arief sampai harus datang ke KPK untuk berkoordinasi membahas bagaimana menjaring Anggodo sebagai tersangka. Alasannya, KPK lebih punya bukti untuk mengusut Anggodo karena punya rekaman hasil sadapan pembicaraan telepon Anggodo.
Dalam proses pengumpulan bukti, KPK telah beberapa kali memeriksa Ari Muladi, perantara yang dimintai tolong Anggodo untuk menyerahkan uang kepada pimpinan KPK. Keterangan Ari memang kunci pembuka tuduhan percobaan suap terhadap Anggoro-Anggodo.
KPK perlu punya bukti untuk mengungkap secara gamblang peran Anggodo yang sebelumnya mengakui telah menyerahkan sejumlah uang kepada Ari Muladi dalam tiga tahap. Anggodo selalu beralasan, kakaknya terpaksa merocoh kocek karena 'diperas' oknum pimpinan KPK melalui Ari Muladi.
"Ari Muladi pernah bilang kepada saya kenal baik dengan Ade Rahardja, Deputi Penindakan KPK. Menurut Ari, Ade menyatakan Anggoro perlu memberikan atensi (suap) kalau ingin perkaranya di KPK beres," begitu pengakuan Anggodo.
Namun Ari Muladi menyatakan hanya mengaku-ngaku mengenal Ade Rahardja dan pimpinan KPK lainnya. Ia justru menunjuk sosok misterius bernama Yulianto sebagai orang yang menyerahkan uang suap kepada oknum pimpinan KPK.
Ari mengaku melihat sendiri bagaimana Yulianto menyerahkan uang kepada sejumlah orang yang disebutnya sebagai pimpinan KPK. Tak pelak muncul kecurigaan, Ari dan Yulianto merupakan sindikat penipu, bukan makelar kasus.
Bisa jadi mereka memanfaatkan oknum pegawai rendahan di KPK untuk membuat sinetron berjudul Menyuap Pimpinan KPK. Saya jadi teringat ulah oknum pegawai rendahan di Mahakmah Agung (MA) yang menipu pengusaha kakap Probosutedjo.
Pengacara Probo, Harini Wiyoso (mantan hakim), menyerahkan suap Rp 6 miliar kepada lima oknum pegawai MA yang mengaku dekat dengan Ketua MA Bagir Manan dan sejumlah hakim agung. Ternyata lima oknum itu hanya mengaku-ngaku dan tidak punya akses kepada para hakim agung, termasuk Bagir Manan, yang mengadili kasus Probosutedjo.
Mirip kasus Probo
Tidak tertutup kemungkinan drama suap Probosutedjo terulang kembali. Kali ini Ari Muladi berposisi mirip Harini Wiyoso, sedang Yulianto dan orang-orang yang disebutnya sebagai oknum pimpinan KPK mirip lima pegawai rendahan MA.
Bukankah sebelum muncul kasus Bibit-Chandra sering terjadi penipuan dilakukan orang-orang yang mengaku sebagai penyidik KPK. Bukan tidak mungkin Yulianto Cs --kalau memang benar-benar ada-- merupakan kelompok penipu profesional.
Kalau dugaan itu benar, Anggoro dan Anggodo hanyalah korban penipuan alias rekayasa Ari Muladi dan Yulianto Cs. Anggodo ganti melakukan rekayasa untuk menjebloskan Bibit dan Chandra karena merasa dipermainkan. Sudah mengeluarkan duit tapi kok perkara kakaknya di KPK jalan terus.
Bisa dipahami bagaimana paniknya Anggodo ketika mengetahui gagal membantu kakaknya lolos dari jeratan KPK, padahal Anggoro sudah mengeluarkan uang Rp 6 miliar. Ya memang tak ada jalan lain kecuali memperkarakan Bibit-Chandra yang dianggapnya wanprestasi alias ingkar janji.
Kalau jalan ceritanya seperti itu Ari Muladi lah yang harus menanggung akibat hukumnya. Ia harus menanggung sendirian karena tak mampu mengarahkan penyidik kepada sosok Yulianto dan oknum KPK yang kabarnya menerima duit itu di Pasar Festival, Jakarta.
Agak janggal juga menyimak pengakuan Ari Muladi yang mengaku sudah kenal lama dengan Yulianto tapi tidak mampu menunjukkan jati diri sosok bersangkutan secara jelas dan lengkap. Kalau pengakuannya benar, bagaimana mungkin sesoerang percaya menyerahkan uang miliaran rupiah kepada orang yang tak jelas jati diri dan keberadaannya? Aneh!!!!!!

BIBIT-CHANDRA BELUM AMAN


TERNYATA tebakan saya mengenai sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap kasus Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah, meleset jauh. Semula saya mengira SBY akan mencopot Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supanji agar kasus dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut tak diajukan ke pengadilan.
Prediksi SBY bakal mengeluarkan abolisi supaya tidak melanggar konstitusi juga meleset. Ternyata pria asal Pacitan, Jawa Timur, itu hanya mengeluarkan keputusan pendek, yaitu minta agar kasus Bibit-Chandra tak perlu diajukan ke pengadilan dan menginstruksikan Kapolri serta Jaksa Agung melakukan tindak korektif ke dalam.
Lebih mengejutkan saya ketika sehari setelah SBY berpidato di Istana Negara, 23 November 2009, Jaksa Agung menyatakan berkas perkara Chandra Hamzah yang sudah ada di kantornya, akan dinyatakan P-21 alias lengkap dan cukup bukti. Hendarman hanya memberi sinyal kejaksaan bakal menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) setelah jaksa penuntut umum melakukan kajian apakah perkara itu layak disidangkan atau tidak.
Saya bingung sekaligus harap-harap cemas karena mengeluarkan SKPP setelah menyatakan berkas P-21, sangat berisiko. Mengapa? Ada sebuah kontradiksi nyata antara P-21 dengan SKPP. Bagaimana mungkin sebuah berkas hasil kerja penyidik yang telah dinyatakan lengkap (cukup bukti) tapi kemudian dihentikan penuntutannya?
Menurut saya, tindakan itu sama saja memberi ruang kepada Anggoro Widjojo/penasihat hukumnya mengajukan gugatan praperadilan untuk mempersoalkan SKPP. Penasihat hukum Anggoro Widjojo sangat mudah membuktikan SKPP kasus Chandra cacat hukum dan tak berdasar.
Pengadilan yang memeriksa gugatan penasihat hukum Anggoro, terlalu naif untuk menolak permohonan praperadilan tersebut. Apalagi, jika kejaksaan sebagai pihak tergugat tidak terlalu bernafsu mempertahankan argumen hukum dalam menerbitkan SKPP.
Bukankah sejak awal hingga setelah pidato SBY, kejaksaan tetap berkeyakinan hasil penyidikan kasus Bibit-Chandra memenuhi syarat dibawa ke pengadilan. Bagi kejaksaan, gugatan praperadilan Anggoro bisa diibaratkan pucuk dicinta ulam tiba. Wong memang maunya membawa Bibit dan Chandra ke pengadilan.
Kalau pengadilan mengeluarkan putusan yang memerintahkan kejaksaan mencabut SKPP dan membawa kasus Bibit-Chandra ke pengadilan, tidak ada satu pun pihak di negeri ini yang bisa lagi mengintervensi.
Pasal 140 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan jaksa penuntut umum dapat menerbitkan SKPP manakala tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana, atau ditutup demi hukum. Bukankah dengan menyatakan P-21 berarti jaksa penuntut umum berpendapat tindak pidana yang disangkakan cukup bukti?
Apa pula yang dimaksud perkara ditutup demi hukum? Perkara dikatakan ditutup demi hukum manakala tersangka meninggal dunia atau kadaluarsa. Dalam perkara Bibit-Chandra, jelas alasan perkara ditutup demi hukum untuk menerbitkan SKPP, tidak memenuhi syarat.
Dalam perkara mantan Presiden Soeharto, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memenangkan kejaksaan yang menerbitkan SKPP. Alasan yang dipakai cukup kuat,meski tidak memenuhi syarat tersangka meninggal dunia dan kadaluarsa, yaitu tersangka Soeharto dalam kondisi sakit permanen sesuai keterangan tim dokter independen.
Dua cara
Lalu bagaimana solusi yang seharusnya dilakukan supaya penghentian kasus Bibit-Chandra tak terbelenggu ancaman praperadilan? Ada dua cara yaitu:
* Jaksa Penuntut Umum yang memeriksa berita acara pemeriksaan (BAP) dari penyidik menyatakan tindakan Bibit-Chandra menerbitkan cekal terhadap Anggoro dan Djoko Tjandra bukan tindak pidana. Sedangkan untuk sangkaan pemerasan tidak cukup bukti.
Dengan demikian, penyidik dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) setelah menerima pengembalian BAP dan pendapat Jaksa Penuntut Umum.
* Jaksa Penuntut Umum mengembalikan BAP kepada penyidik karena tidak lengkap dan meminta penyidik menyerahkan kembali 14 hari kemudian dengan pernyataan optimal (tidak sanggup lagi menyempurnakan BAP). Selanjutnya jaksa mengambil alih penyidikan/melakukan penyidikan tambahan. Kemudian mengeluarkan SP3.
Skenario tersebut di atas pernah menjadi bahan pembicaraan antara Anggodo Widjojo dengan seorang jaksa untuk menghentikan penyidikan sebuah perkara pidana di Surabaya. Patgulipat antara Anggodo-oknum jaksa itu tersadap oleh KPK dan kemudian diperdengarkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK)
Wajar saja kalau Chandra Hamzah tak begitu gembira meski Presiden SBY sudah bersikap agar kasus menghebohkan itu perlu dilanjutkan ke persidangan. "Belum ada langkah konkret," ujar Chandra setiap kali ditanya wartawan.
Hingga tulisan ini dibuat kejaksaan masih belum menyatakan sikap secara jelas. "Semua tergantung hasil kajian tim jaksa penuntut umum yang meneliti berkas perkara Bibit-Chandra. Kalau dinilai tidak layak diajukan ke pengadilan ya diterbitkan SKPP," ujar Hendarman.
Bung Chandra dan Bibit, perjalanan masih panjang! Be carefull guys....

Jumat, 20 November 2009

BANK CENTURY DAN IBU SAYA

PADA suatu malam, Kamis, 19 November 2009, ibu saya yang tinggal di Madiun, sebuah kota kecil di Jawa Timur, menghubungi handphone saya.Tanpa basa-basi, ibu saya yang berusia 70 tahun mengajukan pertanyaan mengejutkan.
"Ibu ingin tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Bank Century. Siapa yang bersalah sebenarnya? Mengapa banyak nasabah Bank Century mengaku belum dibayar," tanya ibu saya. Tentu saja pertanyaan disampaikan dalam bahasa Jawa.
Saya yang tengah berada di kantor bingung juga ketika hendak menjawab. Kalau dijawab tuntas, tentu memerlukan waktu yang panjang. Kasihan ibu saya yang sudah sepuh harus mendengarkan penjelasan panjang lebar melalui saluran telepon.
Kalau tidak saya jawab, tentu ibu akan kecewa. Sudah mengorbankan pulsa untuk menelepon saya yang tengah berada di Jakarta, kok tidak mendapat jawaban. "Singkatnya begini Bu, Bank Century dibobol oleh pemilik bank dan keluarganya. Nah, kerugian yang dialami Bank Century ditutup dengan uang negara," jawab saya.
Ehhh ternyata ibu tak puas dengan jawaban saya. "Lho mengapa pemerintah mau menutup kerugian yang diakibatkan ulah pemilik Bank Century? Apa pemilik bank itu masih ada hubungan keluarga dengan pejabat pemerintah," tanya ibu.
Walahhhh, saya harus menjawab apa. Soalnya jawaban pertanyaan itu juga sangat panjang. "Pendeknya, pemerintah tak ingin hancurnya Bank Century merembet ke mana-mana. Soal apakah pemilik Bank Century ada hubungan keluarga dengan pejabat pemerintah, yang pasti tidak. Tak tahu lagi kalau di antara orang-orang yang berkepentingan dengan Bank Century sohibnya pejabat," begitu jawaban saya.
Untung ibu tak lagi melanjutkan pertanyaan. Sebelum menutup telepon beliau bergumam, "Berapa banyak ya uang Rp 6,7 trilun yang diberikan negara kepada Bank Century?" Dialog itu bukan fiktif atau karangan saya... Kejadian itu benar-benar nyata!
Saya bertanya-tanya dalam hati, mengapa ibu yang sudah sepuh, tinggal sendirian di rumah, masih tertarik mengikuti pemberitaan kasus klas berat semacam kolapsnya Bank Century yang membuat pemerintah harus memerintahkan Lembaga Penjamin Simpanan (KPS) mengucurkan duit sebanyak Rp 6,7 triliun.
Bisa jadi, perhatian ibu saya mencerminkan sikap warga masyrakat pada umumnya yang belakangan ini disuguhi bom pemberitaan mengenai Bank Century, selain konflik KPK-Polri, dan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Begitu dahsyatnya pengaruh media massa terhadap persepsi publik, termasuk ibu saya. Di hari tua, ibu mengisi hari-harinya dengan menonton televisi, membaca koran dan majalah, serta bersosialisasi dengan sesama manula.
Membingungkan
Pertanyaannya, apakah media massa mampu memberikan informasi yang cukup pada masyarakat agar mereka memahami duduk soal berbagai fenomena aktual belakangan ini? Wallahuallam. Dugaan saya, orang-orang yang berkecimpung di media massa sendiri, termasuk saya, tak mudah memahami konteks dan konten kasus-kasus itu.
Para politisi di Senayan, pengamat, pakar, dan pejabat pemerintah ramai berdebat melalui berbagai forum, termasuk media massa. Masing-masing menyampaikan persepsinya sendiri-sendiri. Mana yang benar? Ahhh... tak jelas benar.
Pemerintah dan Partai Demokrat menyebut tak ada masalah dalam pengucuran duit LPS kepada Bank Century (sekarang berubah nama menjadi Bank Mutiara). "Kolapsnya Bank Century berdampak sistemik. Akan berdampak serius terhadap kondisi moneter dan perekonomian nasional. Oleh karena itu, BankCentury perlu dibantu melalui penyertaan modal LPS," begitu argumen pemerintah dan para politisi Partai Demokrat.
Para penentang kucuran dana LPS ke Bank Century, termasuk mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution, punya pendapat lain. Ia bilang, Bank Century selayaknya dilikuidasi saja karena terjadi fraud (kecurangan) yang dilakukan sendiri.
Selain itu, likuidasi terhadap Bank Century tidak akan berdampak apa-apa terhadap kondisi moneter dan perekonomian nasional. "Biaya likuidasi Bank Century jauh lebih kecil dibandingkan dengan menyelamatkannya. Bank Century itu bank kecil sehingga kalau ditutup tidak akan berdampak apa-apa," begitu pendapat Anwar Nasution.
Tambah seru lagi setelah PDI Perjuangan menggagas dilakukannya hak angket (hak melakukan penyelidikan) terhadap proses dan prosedur pencairan uang LPS kepada Bank Century. Partai berlambang banteng moncong putih itu melihat adanya kejanggalan dan menengarai adanya tindak pidana.
Singkatnya, terjadi beda pendapat apakah ambruknya Bank Century berdampak sistemik atau tidak dan apakah dana dari LPS merupakan uang negara atau bukan.Sebuah diskursus rumit, yang tentu saja tidak mudah dicerna kalangan akar rumput (grass root) seperti ibu saya .....

HARAP-HARAP CEMAS MENUNGGU SBY



MUNCUL berbagai diskusi di ruang-ruang publik mengenai apa yang akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk merespon hasil kerja Tim 8 (dibentuk untuk melakukan verifikasi kasus Bibit Samad Rianto-Chandra M Hamzah)? Ada yang bilang, rekomendasi Tim 8 tidak bermakna apapun karena Presiden SBY tidak mungkin melakukan intervensi terhadap proses hukum Bibit dan Chandra.
Namun ada pihak yang menyebut, Presiden memang tidak boleh melakukan intervensi proses hukum dalam kondisi normal. Dalam kondisi abnormal seperti sekarang ini, sah-sah saja Presiden memberi arahan kepada Kapolri dan Jaksa Agung sebagai bawahannya sehingga rekomendasi Tim 8 bisa terealisasi.
SBY baru bersikap pada Senin (23/11) alias tiga hari sebelum tulisan ini saya buat. Sembari menunggu sikap SBY, orang mulai menebak-nebak sesuai persepsinya masing-masing. Nah saya juga akan menebak apa kira-kira sikap yang akan dilakukan SBY.
Saya membayangkan SBY tengah berpikir keras, setelah berkali-kali memanggil Jaksa Agung Hendarman Supandji, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, serta menggelar rapat kabinet. Kata kuncinya, kasus Bibit Chandra terselesaikan sesuai rekomendasi Tim 8 tetapi tidak melanggar konstituasi.
Dalam bayangan saya, SBY tengah menimbang-nimbang penggunaan wewenangnya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sesuai dengan kententuan konstitusi dan undang-undang, Jaksa Agung dan Kapolri berada di bawah presiden sehingga SBY punya wewenang untuk menilai kinerja mereka dan melakukan reposisi.
Kalau Presiden menilai kinerja Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Kapolri Bambang Hendarso tidak memenuhi standar, tentu saja SBY berwenang mengganti mereka. Tentu saja penilaian didasarkan subyektivitas Presiden karena tidak ada aturan mengenai bagaimana Presiden menilai kinerja para pembantunya.
Secara formal tak ada keharusan SBY menerangkan apa alasan mengganti Jaksa Agung dan Kapolri. Sama halnya dengan Presiden tidak perlu menyampaikan alasan mengapa seseorang ditunjuk sebagai menteri, Jaksa Agung dan Kapolri. Alasannya singkat. Ini hak prerogratif Bung!!!
Kalau SBY setuju pada rekomendasi Tim 8, tentu akan memilih Jaksa Agung yang bisa merealisasikannya. Sedangkan untuk menunjuk Kapolri baru, SBY perlu menjalani prosedur agak berliku karena harus mengajukan calon ke Komisi III DPR untuk mendapatkan persetujuan.
Namun bukan berarti SBY tidak bisa segera mencopot Bambang Hendarso dari posisi Kapolri. Selama DPR memproses calon Kapolri yang diajukan, SBY bisa menunjuk pelaksana tugas atau memfungsikan Wakil Kepala Polri.
Kriminalisasi Part II
Mengganti dua pejabat itu menjadi sebuah keniscayaan alias pilihan satu-satunya agar kasus Bibit-Chandra tidak menguras energi masyarakat dan SBY sendiri. Mengapa? Kapolri Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman tetap pada pendapatnya, kasus Bibit-Chandra cukup bukti untukdiajukan ke persidangan.
Meski sudah diminta SBY mempelajari dan mempertimbangkan rekomendasi Tim 8, tetap saja mereka bergeming pada pendapatnya. Bahkan, di tengah turbulensi kasus Bibit-Chandra Part I, Mabes Polri berusaha kembali melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dengan cara memproses laporan Anggodo Widjojo.
Anggodo memperkarakan pimpinan KPK karena tidak terima pembicaraan teleponnya dengan sejumlah orang, termasuk penyidik kasus Bibit-Chandra Part I, disadap lembaga superbody tersebut. Saat penyadapan dilakukan Bibit dan Chandra masih berstatus sebagai pimpinan KPK alias belum dinonaktifkan.
Upaya menjerat kembali Bibit dan Chandra dimulai dengan pemanggilan pimpinan media massa (wartawan), Jumat, 20 November 2009. Dalam surat panggilan kepada redaksi Kompas, secara jelas Mabes Polri menyebutkan dasar pemanggilan yaitu laporan Anggodo dan penasihat hukumnya, Bonaran Situmeang terkait sadapan KPK.
Kemungkinan besar wartawan hendak digiring untuk membuka siapa pihak yang memberi transkrip rekaman pembicaran telepon Anggodo Cs. Harapannya, wartawan mengakui mendapat bahan berita itu dari KPK, Bibit-Chandra atau penasihat hukumnya.
Bambang Hendarso tentu tidak bisa berkelit bahwa proses hukum terhadap laporan Anggodo dan pemanggilan wartawan di luar pengetahuannya. Bukankah para penyidik merupakan bawahannya dan kasus yang mereka tangani, apalagi bersifat sensitif dan menarik perhatian masyarakat, harus dilaporkan kepada sang atasan.
Proses hukum terhadap laporan Anggodo segaris dengan isi jumpa pers Kapolri sehari setelah Bibit-Chandra ditahan. Saat itu Bambang Hendarso menyatakan akan mengusut publikasi transkrip hasil sadapan KPK terhadap Anggodo, kalau perlu melakukan penyitaan.
Kalau langkah tersebut diteruskan, tidak mustahil akan menimbulkan kegemparan dan blunder kedua. Lagi-lagi bangsa ini akan terkuras energinya untuk memperdebatkan pepesan kosong yang digelindingkan Anggodo.
Bagaimana kalau SBY tidak menggunakan wewenang itu? Entahlah!!!!!
(Baca juga: Mencari Asal Muasal Transkip)
Caption: Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Nanan Sukarna, ketika menerima aksi demo para wartawan terkait pemanggilan pimpinan Kompas dan Seputar Indonesia ke Mabes Polri, Jumat (20/11)

Jumat, 30 Oktober 2009

SIKAP YANG TAK MEMENUHI HARAPAN


PRESIDEN SBY menggelar jumpa pers di Istana Negara, Jumat (30/10), setelah sebelumnya memanggil Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri, Jaksa Agung Hendarman Supanji, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, Menkopolhukam Djoko Suyanto, serta Sekretaris Negara Sudi Silalahi. Topiknya apalagi kalau bukan penanganan kasus dan penahanan dua pimpinan nonaktif KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

Inti jumpa pers, SBY menyatakan tidak ingin mengintervensi proses hukum terhadap Chandra dan Bibit. Ia menyebutkan selama periode pemerintahan pertama (2004-2009) hingga memasuki 10 hari pemerintahan periode kedua, tidak pernah turut campur masalah teknis penegakan hukum.

SBY mengaku pernah berharap proses hukum terhadap pejabat pemerintahan (Gubernur/Wakil Gubernur, Wali Kota/Wakil Wali Kota, dan Bupati/Wakil Bupati) tidak perlu disertai penahanan manakala memang tidak perlu. Secara pribadi ia berpendapat, selama menjalani proses hukum, para pejabat tersebut dapat melaksanakan tugasnya sehari-hari kalau tidak ditahan.

Namun harapannya tersebut tak bergayung sambut. KPK tetap menahan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan yang terjerat kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran.

Apakah SBY jengkel pada KPK? Seharusnya tidak. Karena ia tahu persis KPK merupakan lembaga independen yang tidak boleh diintervensi siapapun termasuk presiden.

Saat ini posisinya memang dilematis. Di satu sisi SBY memang harus tetap berada dalam domeinnya yaitu tidak ikut campur dalam teknis proses penegakan hukum. Namun di sisi lain muncul desakan sangat kuat untuk menekan bawahannya, dalam hal ini Kapolri dan Jaksa Agung, agar menghentikan proses penyidikan terhadap pimpinan KPK.

Adakah jalan tengah yang tetap dalam koridor hukum? Saya langsung teringat gaya Jusuf Kalla ketika menjabat sebagai Wakil Presiden. Ia sempat memanggil Kapolri dan memberi dealine selama satu minggu untuk menyelesaikan penyidikan kasus Chandra-Bibit. Deadline terlampaui sehingga Kapolri menyatakan lempar handuk.

Tengat waktu yang diberikan Kalla bisa ditafsirkan sebagai sebuah peringatan kepada Polri agar bekerja secara serius, profesional, dan akuntable. Kalau memang kesulitan membuktikan tuduhan, mengapa tidak segera menghentikan penyidikan.

Kalau punya bukti cukup, mengapa berlarut-larut dan terlihat ragu-ragu sehingga memicu munculnya opini publik berupa rasa tidak percaya. Apalagi dalam proses penyidikan, Polri melibatkan Kejaksaan Agung sehingga seharusnya berita acara pemeriksaan (BAP) Chandra-Bibit tidak harus dikembalikan lagi kepada polisi untuk disempurnakan.

Sikap serupa sebenarnya bisa dilakukan SBY. Beri deadline kepada Polri dan Kejaksaan Agung. Dengan begitu tidak muncul sikap seperti Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy. Ia mengatakan tidak perlu terburu-buru menyatakan sikap terhadap BAP penyidik Polri yang telah disetorkan kepada Kejaksaan Agung.

Marwan beralasan, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi waktu 14 hari (2 minggu) untuk memeriksa BAP. Amboi, gampang nian mengeluarkan jawaban seperti itu. Inikah sikap profesional?

Bukankah BAP tersebut sebelumnya telah dikembalikan Kejaksaan Agung kepada penyidik untuk disempurnakan (P-18 dan P-19)? Bukankah forum konsultasi antara penyidik-penuntut umum dalam menyusun BAP sudah menjadi sebuah keniscayaan?

Sah saja bagi seorang presiden memberi target kepada bawahannya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Tindakan tersebut bukan intervensi terhadap teknis penegakan hukum, tetapi justru cambuk bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan sikap profesional.

Sikap SBY yang hanya memerintahkan Kapolri memberi penjelasan segamblang-gamblangnya kepada publik melalui jumpa pers, tidak menjawab harapan publik. Begitu pula permintaan agar publik mempercayakan kasus dua pimpinan KPK tersebut kepada proses hukum, mulai dari tingkat penyidikan hingga persidangan di pengadilan.

Solusi lainnya, Presiden SBY sebenarnya bisa meminta Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisiil, untuk melakukan monitoring terhadap penanganan kasus yang menarik perhatian masyarakat tersebut. Itulah langkah nyata dan konkret yang masih dalam koridor rule of the game di negeri ini.

MEMBURU ASAL MUASAL TRANSKRIP


ANGGODO Widjojo, sosok kontro-versial di balik kasus yang menimpa dua pimpinan nonaktif KPK, akhirnya muncul juga. Pria itu selama ini banyak disebut ikut terlibat dalam urus mengurus pencabutan cegah tangkal (cekal) Anggoro Widjojo Cs , pengemba-lian barang bukti yang disita KPK, dan penyidikan kasus tersangka Chandra Hamzah-Bibit Samad Rianto.
Anggodo muncul di Mabes Polri, Jumat (30/10), untuk melaporkan penyebaran dan publikasi transkip rekaman hasil sadapan yang merugikan dirinya. Tak jelas siapa pihak yang dilaporkan Anggodo.
KPK tidak pernah mengeluarkan dokumen berisi transkrip rekaman hasil sadapan yang beredar sekarang ini. KPK juga belum mempublikasikan isi rekaman. Tak jelas juga apakah Anggodo berniat melaporkan pers yang mempublikasikan transkrip tersebut.
Pada hari yang sama, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri mengaku telah memerintahkan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) untuk menyidik penyebaran dan substansi transkrip tersebut. Ia bahkan memerintahkan dilakukannya penyitaan terhadap transkrip yang isinya dikutip berbagai media massa.
Apakah transkrip yang dipunyai para awak media massa akan ikut disita? Belum jelas benar. Kalau polisi memang menyita transkrip yang dipunyai para wartawan, apakah pekerja pers dan para pengelola media massa akan dimintai keterangan mengenai asal muasal barang tersebut.
UU Pers mengatur hak ingkar, yaitu hak untuk tidak mengungkapkan siapa sumber berita yang memberikan bahan-bahan berita, termasuk dalam hal ini transkrip rekaman hasil sadapan. Hak seperti itu mirip dengan hak imunitas yang diberikan UU kepada rohaniawan Katholik, advokat , dan notaris.
Rohaniwan Katholik punya hak untuk tidak menceritakan kepada penyidik apa isi pengakuan dosa umatnya. Advokat juga punya hak untuk tidak mengungkapkan apa pengakuan yang disampaikan kliennya. Demikian pula seorang notaris.
Khusus untuk wartawan, hak ingkar bisa gugur kalau ada putusan pengadilan atas dasar untuk kepentingan umum. Jadi sepanjang tidak ada putusan pengadilan yang memerintahkan wartawan membuka jati diri sang narasumber, termasuk pemberi transkrip rekaman, polisi tidak bisa melakukan upaya paksa.
Namun, tanggungjawab pidana terhadap materi informasi yang diberikan sang narasumber beralih kepada wartawan/media bersangkutan. Artinya wartawan dan media bisa dijaring sebagai tersangka pencemaran nama baik (kalau isi transkrip itu ternyata tidak benar) dan/atau membocorkan rahasia negara kalau isi transkrip itu sesuai dengan hasil sadapan KPK terhadap Anggoro Cs.
Celakanya, tuduhan membocorkan rahasia negara tidak bisa diselesaikan melalui hak jawab. Berbeda halnya kalau tuduhan hanya pencemaran nama baik. Orang-orang yang disebut-sebut dalam transkrip dan diberitakan di media massa bisa menggunakan hak jawab dan koreksi lebih dulu.
Publikasi hasil sadapan memang hanya dimungkinkan kalau ada izin dan/atau perintah pengadilan (majelis hakim). Bisa juga dipublikan oleh lembaga negara yang punya wewenang menyadap dan memublikasikannya untuk kepentingan proses penegakan hukum.
Tak ada jeleknya, kalangan pers bersiap diri ketika nantinya mendapat panggilan dari polisi. Wajar saja, karena media massa lah yang pertama kali mempublikasikan transkrip itu. Penasihat hukum tersangka Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto hanya memberi keterangan mengenai adanya rekaman pembicaraan yang mengarah rekayasa.
Para penasihat hukum itu secara formal tidak pernah secara rinci dan detail menjelaskan isi rekaman hasil sadapan KPK, seperti dimuat media massa. Oleh karena itu untuk membuka siapa yang memberikan transkrip bersangkutan, kunci pembukanya adalah para wartawan.
Lepas dari persoalan itu, lebih penting dan substansiil adalah mengungkap siapa saja terlibat dalam pembicaraan telepon yang disadap KPK. Termasuk menentukan apakah mereka yang terlibat pembicaraan memang berniat mengintervensi dan merekayasa kasus Chandra-Bibit.
Jangan sampai semangat untuk memburu sang penyebar transkrip justru mengubur tujuan mengungkap masalah utamanya.Bukankah apa yang dilakukan wartawan dan kalangan pers memublikasikan transkrip tersebut semata-mata bertujuan untuk mendapatkan kebenaran, bukan mencemarkan nama baik orang per orang.
Kecuali kalau negeri ini memang berniat membungkam pers agar tidak lagi bersikap kritis mengenai kejanggalan-kejanggalan yang muncul di tengah masyarakat. Mengorbankan formalisme sangat lebih baik daripada membiarkan praktik KKN kian menggurita dan membunuh negeri ini.
Caption: Anggodo Widjojo (baju merah) saat berada di Mabes Polri.

Kamis, 29 Oktober 2009

PINTARNYA SANG SUTRADARA

MENGEJUTKAN... Bukan hanya penahanan mendadak terhadap dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, yang menghebohkan. Tetapi juga perubahan pasal tuduhan dari penyalahgunaan wewenang dan suap, menjadi penyalahgunaan wewenang dan pemerasan.

Ada perbedaan besar antara tuduhan penyuapan dan pemerasan. Kalau Chandra Hamzah dan Bibit dijaring dengan pasal penyuapan, berarti sang penyuap --dalam hal ini Direktur Utama PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dan adiknya, Anggodo Widjojo-- harus juga dijaring sebagai tersangka.

Manakala tuduhan diubah menjadi pemerasan, dua kakak beradik itu hanya berposisi sebagai korban. Sebuah pengalihan yang cerdas untuk menyelamatkan posisi Anggoro-Anggodo, sehingga kriminalisasi terhadap pimpinan KPK bisa berjalan lancar.

Uniknya lagi, dasar yang dipakai penyidik Mabes Polri untuk menjaring Chandra dan Bibit sebagai tersangka adalah laporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Padahal Antasari mengakui sengaja digiring membuat laporan polisi setelah Polda Metro Jaya yang tengah menyidik dirinya sebagai tersangka kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen menemukan sebuah rekaman di laptop Antasari.

Dalam laptop tersebut terdapat rekamam pembicaraan Antasari dengan Anggoro Widjojo di sebuah hotel di Singapura. Terekam pengakuan Anggoro yang telah mengeluarkan uang suap Rp 4,1 miliar untuk pimpinan KPK agar perkara yang membelitnya tidak diteruskan.

Anggoro terkena cegah tangkal (cekal) karena diduga menyuap mantan Ketua Komisi IV DPR, Emir Yusuf Faisal, untuk memuluskan proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan. KPK juga menyita sejumlah barang dari kantor PT Masaro.

Dalam pertemuan dengan Antasari, Anggoro mengaku menggelontorkan uang suap melalui adiknya, Anggodo. Ia juga mengeluh karena KPK tetap meneruskan kasus SKRT , padahal sudah merasa memberi suap.

Antasari sendiri mengaku tidak begitu saja percaya kepada cerita Anggoro sehingga merasa perlu melakukan pengumpulan fakta dan data lebih akurat. Upaya belum selesai, Antasari keburu ditangkap dan ditahan Polda Metro Jaya dengan sangkaan sebagai aktor intelektual kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.

Ketika menjalani penahanan di Polda Metro Jaya, Antasari 'ditekan' untuk membuat testimoni mengenai pertemuan dengan Anggodo. Selanjutnya digiring membuat laporan polisi.

Kalau kasus Chandra-Bibit dimulai dari laporan Antasari, lalu bagaimana dengan penggelontoran uang Rp 4,1 miliar yang dilakukan untuk menyuap pimpinan KPK melalui orang bernama Ari Muladi? Pemberian uang dilakukan sebelum Anggoro bertemu Antasari.

Lebih mengejutkan lagi, Ari Muladi yang disebut sebagai saksi kunci kasus itu kemudian mengeluarkan keterangan bertolak belakang. Ia mengaku terus terang tidak pernah menyampaikan duit pemberian Anggodo --total Rp 5,1 miliar-- kepada pimpinan KPK (baca tulisan Pengakuan Sang Kurir).

Ari bahkan mengakui sebagian dari uang itu dipakai untuk kepentingan pribadinya dan diberikan kepada seorang bernama Yulianto. Ari sendiri dijaring sebagai tersangka penipuan dan penggelapan sesauai laporan Anggodo. Artinya, Anggodo mengakui bahwa uang suap yang dimaksudkan untuk pimpinan KPK digelapkan oleh orang suruhannya sendiri.

Kalau tuduhan pemerasan yang disangkakan kepada Chandra dan Hamzah tetap dipaksakan, tentu sangat tidak klop dengan tuduhan terhadap Ari Muladi. Lebih tidak klop lagi kalau Ari Muladi dikategorikan sebagai kaki tangan pimpinan KPK untuk memeras Anggoro, seperti skenario yang disusun Anggoro Cs. Ironis!!!

Dapat dilihat dengan jelas siapa yang paling berkepentingan dalam kasus tersebut. Jawabannya jelas, Anggoro Widjojo Cs. Pantaskah dia disebut sebagai korban pemerasan?? Jauh panggang dari api.

Layakkah orang yang kini berleha-leha di Singapura, sebuah negeri asing yang tak punya perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, mendapat perlindungan dan pelayanan luar biasa. Betapa tidak, untuk meminta kesaksian dalam kasus Chandra dan Bibit, penyidik harus terbang ke Singapura.

Padahal posisinya adalah tersangka dan buron kasus korupsi proyek SKRT Rp 180 miliar. Selain itu seharusnya dia dijaring sebagai tersangka penyuapan, atau setidak-tidaknya percobaan penyuapan, terhadap pimpinan KPK.

Amboi sungguh naif seorang Anggoro Widjojo ternyata mampu mengadu domba lembaga penegak hukum dari jarak jauh. Bisa 'memerintah' para petinggi lembaga penegak hukum menemui dirinya di Singapura. Bisa mengatur isi berita acara pemeriksaan (BAP).

Presiden Republik Indonesia saja tidak punya wewenang turut campur dalam penanganan perkara, tapi seorang Anggoro punya pengaruh terhadap arah hasil penyidikan pimpinan lembaga negara. Luar biasa... Luar biasa!!!
Caption foto: Dari kiri: Bibit Samad Rianto, Bambang Widjojanto (penasihat hukum), dan Chandra Hamzah.

PENGAKUAN SANG KURIR



Berikut ini pengakuan tersangka Ari Muladi, orang yang dimintai bantuan Anggodo Widjojo menyerahkan uang suap Rp 5,1 miliar kepada pimpinan KPK agar kasus PT Masaro tak dilanjutkan. Pengakuan Ari disampaikan kepada penyidik Mabes Polri Kombes Pol Martuani Sormin, 26 Agustus 2009. Inikah saksi kunci tuduhan pemerasan yang menjadi dasar Mabes Polri untuk menjebloskan Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dua pimpinan nonaktif KPK, ke dalam tahanan? Sungguh naif!!!

SEKITAR Juli 2008, ketika tengah berada di Bali saya dihubungi Anggoro Widjojo melalui telepon. Anggodo bertanya apakah saya punya kenalan di KPK. Pada saat itu Anggodo menceritakan kantor PT Masaro digeledah KPK, padahal menurut Anggodo PT Masaro tidak ada kesalahan.
Pada waktu itu saya minta waktu untuk memastikan bisa tidaknya dibantu. Kemudian saya menghubungi Yulianto alias Anto. Saya tanyakan kepada Anto apakah ada teman di KPK. Yulianto minta waktu dan akan mengabari saya untuk kepastiannya.
Saat berkomunikasi lagi, Yulianto mengatakan masih memungkinkan untuk dibantu. Yulinato mengajak saya bertemu di jakarta setelah saya kembali dari Bali. Saya dan Yulianto bertemu di Pondok Indah.
Saat itu dia bilang sudah berkoordinasi dengan Ade Rahardja (Deputi Bidang Penindakan KPK Brigjen Pol Ade Rahardja). Menurut Yulianto, Ade Rahardja bisa membantu. Saya tidak pernah memberitahu Anggodo tentang permintaan bantuan kepada Yulianto untuk mengurus masalah PT Masaro Radiokom.
Pada 11 Agustus 2008 saya menerima uang 404.600 dolar AS dari Anggoro Widjojo untuk disampaikan kepada pimpinan KPK melalui Ade Rahardja. Pemberian uang dimaksudkan agar barang bukti yang disita KPK dikembalikan kepada PT Masaro.
Saya menerima uang di Karaoke Deluxe, kamar 01, Hotel Peninsula, Jakarta. Anggodo menyerahkan uang kepada saya yang perincian jumlahnya sebagai berikut:
* Rp 1,5 Miliar (Untuk Bapak Bibit S Rianto dalam bentuk dolar AS)
* Rp 1 Miliar (Untuk bapak Jasin dalam bentuk dolar AS)
* Rp 1 Miliar (Untuk Bapak Bambang dalam bentuk dolar AS)
* Rp 250 juta (Untuk media massa)
Kesemuanya berada dalam amplop warna cokelat yang di sebelah pojok kiri atas masing-masing amplop tertera angka sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Pada saat menyerahkan uang tersebut Anggodo mengatakan kepada saya , "Ini uang sesuai permintaan orang dalam, jangan lupa tanyakan kapan pengembalian barang bukti dan penghentian perkara PT Masaro."
Tak kenal Ade Rahardja
Kenyataannya saya tidak kenal, tidak pernah bertemu, dan tidak pernah berkomunikasi dengan Ade Rahardja. Namun kepada Anggodo saya laporkan bahwa saya telah memberikan uang tersebut kepada masing-masing orang sebagaimana daftar tersebut di atas.
Sekitar 13 November 2008, saya pernah menerima penyerahan uang dari Anggodo Rp 400 juta di kantor PT Masaro Radiokom, Jl Talang Betutu, Jakarta. Anggoro mengatakan ada permintaan uang lagi Rp 400 juta untuk penyidik.
Uang tersebut ditempatkan pada kantong kertas jinjing cokelat. Uang dibungkus amplop warna cokelat. Pada saat menyerahkan uang itu Anggodo mengatakan, ini adalah pemberian terakhir untuk penyidik KPK.
Penerimaan uang itu berkaitan dengan penyampaian saya kepada Anggodo Widjojo yang seolah-olah saya telah berkoordinasi dengan Ade Rahardja, bahwa uang itu untuk diberikan kepada penyidik KPK sehingga dengan pemberian uang tersebut maka tidak akan ada lagi pemanggilan-pemanggilan terhadap karyawan PT Masaro Radiokom.
Uang Rp 400 juta itu kemudian saya serahkan kepada Yulianto di Heli Bellagio Residence. Kemudian saya laporkan kepada Anggodo bahwa saya telah menyerahkan uang tersebut kepada Ade Rahardja sehingga dia percaya.
Kemudian, pada 13 Februari 2009, Anggodo Widjojo menyarahkan uang kepada saya 124.920 dolar Singapura. Uang saya terima di kamar 01 Deluxe Karaoke di Hotel Peninsula. Anggodo memerintahkan agar uang tersebut kepada Ade Rahardja untuk selanjutnya diserahkan kepada Chandra Hamzah.
Uang yang saya terima dari Anggodo dibungkus dalam kotak dompet blueberry kemudian diletakkan di dalam kantong kertas jinjing blueberry. Pemberian uang bertujuan untuk mencabut larangan bepergian ke luar negeri (maksudnya cegah tangkal/cekal) kepada Anggoro.
Bikin surat palsu
Saya tidak menyerahkan uang tersebut kepada Ade Rahardja karena saya tidak kenal. Uang saya serahkan kepada Yulianto untuk selanjutnya ke Ade Rahardja, lalu kepada Chandra Hamzah. Kepada Anggodo saya saya sampaikan bahwa uang telah saya serahkan kepada Ade Rahardja.
Saya pernah memberikan surat kepada Anggodo yaitu surat pencabutan pencegahan ke luar negeri yang seolah-olah dibuat KPK. Surat itu berawal dari desakan Anggodo kepada saya yang meminta surat pencabutan cekal atas nama Anggoro Widjojo, Anggono Widjojo, Putranefo, dan David Angkawijaya.
Adanya desakan itu saya mendesak Yulianto agar segera meminta Ade Rahardja menerbitkan surat pencabutan cekal sebagaimana dijanjikan Yulianto. Sekitar 6 atau 7 Jui 2009, Yulianto bertemu saya di parkiran depan Menara Imperium, kemudian kami berangkat ke daerah Matraman, tempat pengetikan komputer.
Karena waktu itu kondisinya ramai, saya dan Yulianto pergi meninggalkan toko tersebut. Pada 8 Juni, sekitar pukul 22.00 WIB, saya dan Yulianto pergi ke toko di daerah Matraman yang sebelumnya kami datangi.
Tujuan kami adalah untuk membuat surat pencabutan cekal dari KPK. Yulianto turun sambil membawa konsep surat pencabutan cekal. Saya melihat Yulianto menata dan menyusun lambang burung garuda. Kira-kira 30 menit kemudian Yulianto selesai membawa surat pencabutan cekal namun belum ditandatangani Chandra Hamzah.
Kami kembali ke parkiran Imperium. Saat itu Yulianto mengatakan surat pencabutan cekal yang baru kami buat tersebut akan ditandatangani Chandra Hamzah melalui Ade Rahardja. Selanjutnya kami berpisah.

Selasa, 27 Oktober 2009

MANUVER MENGHEBOHKAN SANG PENYUAP


HEBOH adanya rekaman hasil sadapan pembicaraan sejumlah orang yang diduga kuat terlibat rekayasa untuk menjerat dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, kian memperjelas karut marutnya proses penegakan hukum di negeri ini.
Berbagai keterangan dan komentar bukannya menjerniskan persoalan, tetapi justru makin menjauhkan dari substansi masalah. Padahal, sebenarnya sangat sederhana dan tidak perlu diseret-seret ke ranah lebih luas sehingga kian membingungkan.
Bermula dari adanya tuduhan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah dalam menerbitkan surat perintah cegah tangkal (cekal) terhadap Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom, terkait proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan senilai Rp 180 miliar. Cekal dilakukan setelah ada dugaan kuat Anggoro memberikan suap untuk mendapat proyek tersebut.
KPK mendapat bukti awal adanya penyuapan ketika menyidik perkara tersangka Yusuf Emir Faisal, anggota DPR periode 2004-2009. Mantan Ketua Komisi IV DPR tersebut divonis 4,5 tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena dinilai terbukti menerima suap Rp 5 miliar dari pengusaha Chandra Antony, rekanan Pemprov Sumatera Selatan yang mendapat proyek pembangunan pelabuhan Tanjung Apiapi.
Anggoro tak terima masuk dalam daftar cekal sehingga berusaha keras mencari jalan agar terbebas dari urusan tersebut. Melalui sang adik bernama Anggodo Widjojo, ia berupaya menyuap pimpinan dan pejabat di KPK.
Anggodo minta bantuan orang bernama Ari Muladi yang mengaku mengenal Brigjen Pol Ade Rahardja, Deputi Penindakan KPK. Ari Muladi menerima uang sebanyak Rp 5,1 miliar dari Anggodo untuk membungkam KPK. Rupanya Ari Muladi minta bantuan orang lain bernamaYulianto.
Beres? Ternyata tidak. KPK tidak mencabut cekal, bahkan penyidikan terhadap Anggoro jalan terus. Merasa sudah mengeluarkan uang suap, Anggoro mencari jalan untuk bertemu Antasari Azhar, Ketua KPK. Jalan terbuka ketika Anggodo berkenalan dengan Edi Sumarsono, kenalan dekat Antasari.
Anggoro dan Antasari bertemu di Singapura. Anggoro cerita kepada Antasari telah bagi-bagi suap kepada pimpinan dan pejabat KPK, namun cekal tetap tidak dicabut. Rupanya pembicaraan itu sengaja direkam Antasari untuk keperluan penyelidikan lebih lanjut, apakah cerita Anggoro itu benar atau tidak.
Ternyata Anggoro tidak tahu bahwa duit Rp 5,1 miliar memang tidak sampai ke orang-orang yang dituju. Sebagian dipakai sendiri oleh Ari Muladi (seperti diakui dalam BAP yang disusun penyidik Mabes Polri), sebagian diberikan Yulianto.
Sayang Yulianto belum dapat ditemukan. Padahal dia lah kunci pembuka kasus itu. Namun Ari mengakui Yulianto pernah membuat surat pencabutan cekal palsu, seolah-olah ditandangani Chandra Hamzah, setelah Anggoro terus bertanya mengenai hasil penyuapan kepada pimpinan KPK.
Dari cerita itu, tidak ada bukti duit dari Anggoro sampai ke kantong Chandra dan Bibit, karena aliran dana suap terputus di sosok orang bernama Yulianto. Apakah Yulianto menggelapkan uang dari Ari Muladi atau telah menyerahkan kepada Ade Rahardja? Muncul pertanyaan lain, apakah orang bernama Yulianto benar-benar ada? Hanya Ari Muladi yang tahu.
Niatnya menyuap
Penanganan kasus ini jadi merusak logika hukum ketika Mabes Polri menjaring Chandra dan Bibit sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang, pemerasan, dan penyuapan. Dalam kasus suap, pihak penyuap harus ikut dijaring sebagai tersangka, bukan hanya penerima.
Muncul pertanyaan, mengapa Anggoro Widjojo, Anggodo Widjojo (adik Anggoro), dan Ari Muladi tidak dijaring sebagai tersangka kasus suap oleh Mabes Polri? Padahal jelas-jelas mereka mengakui terlibat dalam upaya tersebut.
Uniknya, Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Komjen Sisno Duadji dan stafnya bertemu Anggoro di Singapura untuk penyusunan berita acara pemeriksaan (BAP). Dalam kapasitas apa Anggoro menjalani pemeriksaan di luar negeri?
Kalau sebagai saksi untuk perkara kasus suap terhadap tersangka Chandra dan Bibit, bukankah dia penyuapnya yang seharusnya juga berstatus sebagai tersangka. Apakah BAP Anggoro yang dibuat di tempat pelariannya (Singapura) mempunyai kekuatan pembuktian, padahal seorang saksi BAP wajib dihadirkan ke persidangan untuk memberikan keterangan secara langsung.
Uniknya lagi, Ari Muladi jadi tersangka dengan tuduhan melakukan pemerasan dan penggelapan terhadap kakak beradik Anggoro-Anggodo. Seorang penyuap melaporkan orang suruhannya yang gagal mengatur perkara di KPK. Mabes Polri menerima dan memproses laporan dari seorang penyuap. Luar biasa!!!
Pertanyaan sederhana bisa diajukan. Apakah Anggoro-Anggodo akan melaporkan Ari Muladi ke Mabes Polri kalau duit suap Rp 5,1 miliar sampai ke tangan Chandra Hamzah, Bibit Samad, dan Ade Rahardja? Jawabannya bisa di tebak, tidak!!!
Andai saja uang suap sampai ke tangan yang dituju dan maksud Anggoro tercapai (cekal dicabut dan penyidikan kasus SKRT dihentikan), apakah bos PT Masaro Radiokom akan melapor kepada Antasari dan membukanya ke publik? Tentu tidak. Kalau begitu, mengapa aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi dan kejaksaan, memberi pelayanan luar biasa kepada seorang penyuap yang gagal mencapai tujuannya?
Wajar saja kalau kemudian muncul dugaan kuat adanya konspirasi menyusun rekayasa memperlemah posisi KPK sebagai institusi melalui kriminalisasi para pimpinannya. Bertambah kuat lagi setelah terungkap rekaman hasil sadapan pembicaraan orang-orang yang terkait dengan kasus Chandra dan Bibit. Apakah semua itu benar adanya, Wallahuallam.
=======================================================
Keterangan foto: Anggoro Widjojo

Jumat, 16 Oktober 2009

MISTERI KASUS ANTASARI

KASUS yang menimpa Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membetot perhatian saya.
Bukan hanya karena ada bumbu perselingkuh-an seperti tertuang dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), tetapi adanya per-tanyaan besar yang barangkali menggelayuti banyak orang, yaitu apakah sekonyol itu Antasari memerintahkan menghabisi Nasrudin.
Mungkinkah terjadi missperception di antara Antasari, Sigid Haryo Wibisino, dan Kombes Pol Wiliardi Wizar? Fakta yang tak dibantah para pihak dalam perkara itu adalah Antasari pernah curhat kepada karibnya, Sigid Haryo Wibisono (penguasa sekaligus pemilik koran terbitan Jakarta), mengenai ulah Nasrudin Zulkarnaen yang terus melakukan pemerasan dan teror.
Fakta lainnya, Sigid kemudian memperkenalkan Antasari kepada Wiliardi, perwira menengah di Mabes Polri yang menjabat Kepala Subdit Pariwisata dan Pengamanan Objek Vital, Babinkam.Wiliardi mendapat dana Rp 500 juta dari Sigid untuk menyelesaikan urusan dengan Nasrudin Zulkarnaen.
Siapa yang paling berpeluang mempunyai ide untuk menghentikan ulah Nasrudin dengan cara menyewa pembunuh bayaran? Mari kita telusuri satu per satu dari data yang tersedia.
Setelah dimintai bantuan menyelesaikan keruwetan yang dialami Antasari, Wiliardi menghubungi Jerrry Lo. Pengusaha asal Pontianak tersebut selanjut-nya mengontak kenalannya, Eduardus Ndopo Mbete (Edo). Orang inilah yang menerima biaya operasional Rp 500 juta, langsung dari tangan Wiliardi di Cilandak Town Square (Citos).
Cerita berikutnya, Edo yang mengkoordinasi para pelaksana di lapangan (eksekutor).Bisa jadi Antasari tidak pernah punya pikiran hingga ke hal teknis untuk menyelesaikan masalahnya. Sebagai petinggi lembaga penegak hukum yang tengah naik daun, bisa jadi detail teknis dipercayakan kepada Sigid dan Wiliardi.
Sejumlah kalangan percaya, tidak pernah terlontar perintah Antasari untuk membunuh Nasrudin. Pikiran menyelesaikan masalah dengan cara menghabisi korban kemungkinan besar datang dari Sigid dan/atau Wiliardi. Kalau teori itu dianut, apakah mungkin Sigid dan Wiliardi tidak menyampaikan kepada Antasari? Apalagi penyelesaian masalah memerlukan dana setidaknya Rp 500 juta, sebuah jumlah yang tidak sedikit.
Tampak benar, pemegang kunci persoalan ini adalah Sigid dan Wiliardi. Uniknya, Wiliardi beberapa kali mengubah keterangan. Awalnya, mantan Kapolres Metro Jakarta Selatan tersebut mengaku perintah membunuh berasal dari Antasari. Lalu ia mencabut keterangan pertama sembari menyebut Antasari tidak pernah mengeluarkan perintah menghabisi korban.
Kalau memang benar Antasari tidak pernah minta menghabisi Nasrudin, apakah dengan demikian Wiliardi ingin mengatakan perintah berasal dari Sigid atau inisiatif dirinya sendiri? Tidak mudah menentukan karena masing-masing mempunyai kepentingan untuk meloloskan diri dari tuduhan atau setidak-tidaknya meringankan posisinya.
Tidak tertutup kemungkinan mereka berdua salah menafsirkan keinginan Antasari, atau punya inisiatif sendiri untuk menuntaskan masalah. Istilahnya kebablasan. Di atas kertas, memang tidak ada cara lain untuk menghentikan gerakan Nasrudin yang menekan dan meneror Antasari.
Kalau Antasari menuruti semua keinginan Nasrudin, risikonya mempertaruh-kan posisi, reputasi, dan jabatannya. Kalau tidak dituruti, Nasrudin bisa kian menjadi-jadi. Membungkam Nsrrudin melalui jalur hukum juga justru bisa jadi bumerang.
Inilah dilema yang dihadapi Antasari Cs sehingga logis saja kalau penyidik yakin betul pada tuduhannya. Motifnya cukup terang benderang. Namun, adakah orang lain, di luar kelompok Antasari yang menginginkan kematian Nasrudin?
Mungkin para pejabat di PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang dibidik Nasrudin sebagai pesakitan kasus korupsi, tidak suka pada pria asal Sulawesi Selatan tersebut. Bukankah Nasrudin ikut berperan memberikan data mengenai korupsi di PT RNI kepada Antasari.
KPK baru menjaring Direktur Keuangan PT RNI, Ranedra Dangin, sebagai pesakitan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum Ranedra tiga tahun penjara, karena terbukti terlibat korupsi impor gula.
Kabarnya, Nasrudin ingin menggusur para petinggi RNI --holding company PT Putra Rajawali Banjaran, tempat kerja Nasrudin-- dengan menjebloskan mereka ke penjara melalui tangan Antasari. Dengan demikian ia dapat menduduki jabatan di perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) tersebut. Orang-orang yang dirugikan Nasrudin tersebut bukan berarti ikut terlibat atau teridikasi terlibat. Begitu pula orang-orang yang terganggu oleh gebrakan Antasari dan KPK , tidak bisa begitu saja bisa dituding berada di balik kematian Nasrudin.
Dalam eksepsinya Antasari telanjur melontarkan pernyataan ada grand skenario untuk melumpuhkan dirinya sebagai Ketua KPK dan lembaga pemberantas korupsi yang dipimpinnya. Benarkah lontaran Antasari tersebut?
Akankah waktu akan menjawab misteri tersebut? Atau hanya akan terkubur sebagai File X, seperti kasus kematian Munir dan Marsinah?? Entah!!!

Kamis, 15 Oktober 2009

ANTASARI, DI BALIK DAKWAAN SYUR


ISI surat dakwaan jaksa dalam kasus terdakwa Antasari Azhar, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jadi buah bibir.
Bukan kronologis rapat perencanaan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, yang bikin heboh. Justru di bagian yang mendiskripsikan secara detil adegan syur di kamar 803 Hotel Gran Mahakam, Jakarta, antara Antasari dengan Rani Juliani, istri muda Nasrudin.
Muncul pertanyaan logis, apakah uraian adegan yang bisa bikin nafas tersengal-sengal itu benar-benar terjadi? Kalau itu tercetak di buku roman picisan klas stensilan, sudah pasti hanya imajinasi sang penulis.
Antasari dan tim penasihat hukumnya menyebut isi dakwaan jaksa, termasuk yang mengungkap adegan mesum di kamar hotel, hanya lah sebuah isapan jempol alias tak ada bedanya dengan isi buku roman picisan. Sebaliknya tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) bentukan Kejaksaan Agung yakin betul sebuah fakta empiris, true story, dan bukan rekaan semata.
Bingung, mana yang benar. Memang, dalam ilmu hukum ada adagium yang menyebut, "Satu saksi bukan saksi (Unus testis nullus testis)." Logis saja kalau ada yang menganggap cerita heboh dalam kamar hotel patut diragukan karena hanya berdasar cerita Rani seorang.
Rasanya tim jaksa penuntut umum (JPU) bukan orang kemarin sore dalam menangani perkara. Apalagi, terdakwa yang disidangkan juga bukan orang sembarangan. Antasari seorang jaksa senior, mantan bos lembaga superbody di negeri ini.
Tim JPU tentu sudah hafal di luar kepala apa makna unus testis nullus testis. Apalagi sebelum diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, rencana dakwaan (rendak) sempat diperiksa Jaksa Agung Hendarman Supanji. Boleh dibilang isi dakwaan itu sudah melewati beberapa saringan hingga orang pertama di jajaran Korps Adhyaksa.
Apa kira-kira maksudnya? Saya teringat adagium dalam kriminologi. "Pembunuhan tanpa motif hanya bisa dilakukan orang gila!" Bisa jadi Tim JPU terdorong untuk mengungkapkan secara gamblang motif pembunuhan Nasrudin, yang dikenal punya hubungan dekat dengan Antasari.
Dari semua terdakwa, logikanya memang hanya Antasari yang punya kepentingan paling dekat dengan kematian Nasrudin. Terdakwa Sigid Haryo Wibisono --pengusaha yang juga pemilik sebuah koran terbitan ibukota-- tidak mengenal Nasrudin. Demikian pula Kombes Pol Wiliardi Wizar. Apalagi para pelaksana di lapangan (eksekutor), tambah sama sekali tidak mengenal korban.
Kalau hanya disebut motifnya dendam, tentu akan dipertanyakan apa pemicu munculnya dendam. Celakanya, untuk merangkai cerita mengenai penyebab dendam, hanya sosok Rani yang bisa menerangkan. Nasrudin tak mungkin lagi bersaksi.
Pengungkapan cerita syur tampaknya untuk melogiskan pemicu utama munculnya dendam. Bukankah rasa dendam bisa muncul dan terus memuncak ketika reputasi seseorang yang tengah berada di puncak popularitas menjadi taruhan?
Di sisi lain muncul misteri, benarkah penyidik punya sejumlah bukti berupa rekaman suasana yang terjadi di kamar 803? Kalaupun ada, rekaman tersebut secara yuridis tidak membuktikan apa-apa manakala Antasari tidak mengakuinya.
Dalam ranah pidana umum (seperti kasus pembunuhan Nasrudin), rekaman dan foto tidak diakui sebagai alat bukti. Hanya rekaman yang dibuat lembaga penegak hukum tertentu (harus diatur dalam UU) dalam kasus terorisme dan korupsi, bisa jadi alat bukti.
Ada satu celah sempit yang bisa memperjelas simpul krusial itu. Bukankah Antasari mengakui adanya pertemuan dengan Rani di kamar Hotel Gran Mahakam, Jakarta, termasuk cerita munculnya Nasrudin di kamar itu beberapa saat kemudian.
Bukankah tidak disangkal pula adanya ketegangan antara Antasari dengan Nasrudin yang menunjukkan rasa keterkejutan ketika mendapati istri mudanya berada dalam satu kamar dengan sang kawan. Selanjutnya, ada fakta tak terbantah yang menyebut Antasari minta bantuan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri setelah mendapat teror dari pasangan Nasrudin-Rani.
Tim hasil bentukan Kapolri untuk menghentikan ulah Nasrudin kabarnya tak membawa hasil. Penyebabnya bisa ditebak. Antasari ogah memperkarakan Nasrudin-Rani, karena khawatir sang buruan malah membongkar cerita aib di depan persidangan ketika dijaring sebagai terdakwa teror.
Bukan tidak mungkin Nasrudin punya senjata berupa cerita seru lainnya selain insiden di kamar 803. Kalau Nasrudin-Rani dijaring sebagai terdakwa teror, mau tak mau Antasari harus bersaksi di pengadilan sebagai korban teror dan pelapor. Bisa dibayangkan betapa ribetnya. Bisa-bisa malah jadi bumerang.
Logika tersebut di atas bukan berarti Antasari hanya satu-satunya orang yang berkepentingan terhadap kematian Nasrudin. Inilah yang harus dibuktikan pria berkumis tebal itu beserta tim penasihat hukumnya.
Tidak mudah dan sangat berisiko tinggi. Membuktikan terori konspirasi bukan seperti menelan sepotong pisang. Apalagi kalau baru tahap sinyalemen. Lepas dari semua itu, lebih baik kita tunggu jalannya persidangan hingga tuntas. Selamat berimajinasi... Fiat justitia ruat caelum (Tegakkan keadilan walau langit akan runtuh)

Note: Sebuah tulisan ketika sudah sekian lama tidak meng- up date blog.