Jumat, 20 November 2009

BANK CENTURY DAN IBU SAYA

PADA suatu malam, Kamis, 19 November 2009, ibu saya yang tinggal di Madiun, sebuah kota kecil di Jawa Timur, menghubungi handphone saya.Tanpa basa-basi, ibu saya yang berusia 70 tahun mengajukan pertanyaan mengejutkan.
"Ibu ingin tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Bank Century. Siapa yang bersalah sebenarnya? Mengapa banyak nasabah Bank Century mengaku belum dibayar," tanya ibu saya. Tentu saja pertanyaan disampaikan dalam bahasa Jawa.
Saya yang tengah berada di kantor bingung juga ketika hendak menjawab. Kalau dijawab tuntas, tentu memerlukan waktu yang panjang. Kasihan ibu saya yang sudah sepuh harus mendengarkan penjelasan panjang lebar melalui saluran telepon.
Kalau tidak saya jawab, tentu ibu akan kecewa. Sudah mengorbankan pulsa untuk menelepon saya yang tengah berada di Jakarta, kok tidak mendapat jawaban. "Singkatnya begini Bu, Bank Century dibobol oleh pemilik bank dan keluarganya. Nah, kerugian yang dialami Bank Century ditutup dengan uang negara," jawab saya.
Ehhh ternyata ibu tak puas dengan jawaban saya. "Lho mengapa pemerintah mau menutup kerugian yang diakibatkan ulah pemilik Bank Century? Apa pemilik bank itu masih ada hubungan keluarga dengan pejabat pemerintah," tanya ibu.
Walahhhh, saya harus menjawab apa. Soalnya jawaban pertanyaan itu juga sangat panjang. "Pendeknya, pemerintah tak ingin hancurnya Bank Century merembet ke mana-mana. Soal apakah pemilik Bank Century ada hubungan keluarga dengan pejabat pemerintah, yang pasti tidak. Tak tahu lagi kalau di antara orang-orang yang berkepentingan dengan Bank Century sohibnya pejabat," begitu jawaban saya.
Untung ibu tak lagi melanjutkan pertanyaan. Sebelum menutup telepon beliau bergumam, "Berapa banyak ya uang Rp 6,7 trilun yang diberikan negara kepada Bank Century?" Dialog itu bukan fiktif atau karangan saya... Kejadian itu benar-benar nyata!
Saya bertanya-tanya dalam hati, mengapa ibu yang sudah sepuh, tinggal sendirian di rumah, masih tertarik mengikuti pemberitaan kasus klas berat semacam kolapsnya Bank Century yang membuat pemerintah harus memerintahkan Lembaga Penjamin Simpanan (KPS) mengucurkan duit sebanyak Rp 6,7 triliun.
Bisa jadi, perhatian ibu saya mencerminkan sikap warga masyrakat pada umumnya yang belakangan ini disuguhi bom pemberitaan mengenai Bank Century, selain konflik KPK-Polri, dan kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Begitu dahsyatnya pengaruh media massa terhadap persepsi publik, termasuk ibu saya. Di hari tua, ibu mengisi hari-harinya dengan menonton televisi, membaca koran dan majalah, serta bersosialisasi dengan sesama manula.
Membingungkan
Pertanyaannya, apakah media massa mampu memberikan informasi yang cukup pada masyarakat agar mereka memahami duduk soal berbagai fenomena aktual belakangan ini? Wallahuallam. Dugaan saya, orang-orang yang berkecimpung di media massa sendiri, termasuk saya, tak mudah memahami konteks dan konten kasus-kasus itu.
Para politisi di Senayan, pengamat, pakar, dan pejabat pemerintah ramai berdebat melalui berbagai forum, termasuk media massa. Masing-masing menyampaikan persepsinya sendiri-sendiri. Mana yang benar? Ahhh... tak jelas benar.
Pemerintah dan Partai Demokrat menyebut tak ada masalah dalam pengucuran duit LPS kepada Bank Century (sekarang berubah nama menjadi Bank Mutiara). "Kolapsnya Bank Century berdampak sistemik. Akan berdampak serius terhadap kondisi moneter dan perekonomian nasional. Oleh karena itu, BankCentury perlu dibantu melalui penyertaan modal LPS," begitu argumen pemerintah dan para politisi Partai Demokrat.
Para penentang kucuran dana LPS ke Bank Century, termasuk mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Anwar Nasution, punya pendapat lain. Ia bilang, Bank Century selayaknya dilikuidasi saja karena terjadi fraud (kecurangan) yang dilakukan sendiri.
Selain itu, likuidasi terhadap Bank Century tidak akan berdampak apa-apa terhadap kondisi moneter dan perekonomian nasional. "Biaya likuidasi Bank Century jauh lebih kecil dibandingkan dengan menyelamatkannya. Bank Century itu bank kecil sehingga kalau ditutup tidak akan berdampak apa-apa," begitu pendapat Anwar Nasution.
Tambah seru lagi setelah PDI Perjuangan menggagas dilakukannya hak angket (hak melakukan penyelidikan) terhadap proses dan prosedur pencairan uang LPS kepada Bank Century. Partai berlambang banteng moncong putih itu melihat adanya kejanggalan dan menengarai adanya tindak pidana.
Singkatnya, terjadi beda pendapat apakah ambruknya Bank Century berdampak sistemik atau tidak dan apakah dana dari LPS merupakan uang negara atau bukan.Sebuah diskursus rumit, yang tentu saja tidak mudah dicerna kalangan akar rumput (grass root) seperti ibu saya .....

Tidak ada komentar: