Minggu, 30 September 2007
YANG PENTING NGGAYA, MAN!!!
KENA TEMBAK.... NGAKU NGGAK YA?
AWAS!!!! Musuh membidik dari sisi kanan. Bubarkan konsentrasinya dengan rentetan tembakan. "Tarr!!!" Sebuah 'peluru' tepat mengarah kepala. "Mati aku!!
Ketika meraba kepala sebelah kanan, ada benjolan. Rupanya peluru plastik yang dilepaskan 'musuh' tepat menyasar jidat kanan saya. Alamakkkkk terasa perih sedikit.
Kok bisa kena ya, padahal saya membawa senjata laras panjang jenis AK-47 lengkap dengan dua (double) magazin. Berondongan peluru ke arah 'musuh' rupanya meleset. Ketika melepaskan tembakan saya keluar dari tempat perlindungan. Dengan mudah sang musuh membidik. Ruang tembak terbuka lebar. "Sorry ya Pak. Sakit ya," kata sang 'musuh' sambil tersenyum.
Sore itu kami tengah menggelar permainan air shoot gun di Delta Force, sebuah lokasi di kawasan Pelita, Batam. Sekadar buat refreshing sekalian cari keringat. Empat lawan empat. Iwan, pemilik Delta Foce, jadi lawan main kami. 'Perang' dilakukan di out door base lantai III. Ada ajang 'perang' in door di lantai II. Lebih seru di out door, tempatnya lebih lapang. Kayak perang kota beneran.
Dari empat kali permainan, saya selalu tertembak. Selain kena di jidat, juga kaki dan pantat. Berbeda dengan permainan pin ball yang menggunakan tinta, air soft gun tak menggunakan penanda apapun. Jadi kalau tidak jujur, bisa saja pemain meneruskan pertempuran meskipun tubuhnya 'tertembus peluru'. Sedangkan di pin ball, permain yang kena tembakan langsung ketahuan karena ada tinta melekat di pakaian.
Permainan air soft gun melibatkan juri yang mengawasi jalannya 'perang', terutama siapa yang terkena tembakan. Tapi mata juri kan tidak bisa mengawasi semua pemain. Saya sempat beberapa kali tak mengaku meski terkena tembakan. "Ah yang kena kan cuma tangan. Kalau perang beneran, tangan kena peluru kan tidak mati," ujar saya dalam hati.
Perbedaan lain dari pin ball, senjata yang dipakai di air soft gun, plekkk sama persis dengan senjata aslinya. Ukuran, berat, dan bentuknya sama persis dengan senapan beneran. Dengan seragam loreng, rompi dan kedok pengaman, kaus tangan, shebo, serta helm, sudah seperti pasukan antiteror. Pada saat main, saya tidak pakai helm, maksudnya biar tak bertambah berat. Alhasil, jidat saya benjol kena peluru plastik.
Mario, Manajer Studio 21 Batam, lawan main saya, satu-satunya player yang tak pernah kena tembakan. Tubuhnya yang tambun ternyata tak mudah dibidik. Ia membawa M-16 dengan magazin jumbo. Tembakannya lumayan. Kepala saya benjol ya akibat tembakan dia.
Kian banyak peminat air soft gun. Tak heran ketika Tribun Batam menggelar lomba air soft gun pada akhir Agustus 2007, pesertanya lumayan banyak. Lomba dibuka Ketua KONI Kepri yang juga Ketua DPRD Kepri, Nur Syafriadi. Usai pembukaan sebenarnya ada 'perang' klas VIP. Sayang, Nur Syafriadi buru-buru karena ditunggu rapat Partai Golkar, sedang saya sendiri lagi tak sehat.
Trettttt!!!..Trettttt!!!! Serang..... Ayo jujur kena tembakan nggak? Arena untuk belajar jujur. Tak mudah bersikap jujur. Bisa jadi dengan bermain air soft gun semakin banyak orang jujur di negeri ini... Bukan begitu Pak Iwan?
BEREBUT DOORPRIZE SAHUR BARENG
Sabtu, 29 September 2007
MENYANYI SAMBIL MENULIS, ASYIK DONG!
MYANMAR...OH...MYANMAR
Jumat, 28 September 2007
PERAMPOK CERDAS, ATAU BRI TELEDOR?
Rabu, 26 September 2007
KONTROVERSI PEMBUNUHAN SANDRIANI
4. Mengapa dokter forensik yang melakukan otopsi tidak menemukan sedikitpun bekas perkosaan, padahal ia digilir lima pria sekaligus?
Digital People, Digital World
Tema konferensi itu sangat menarik dan ada hubungan erat dengan cover story Time, yaitu “Connecting with the Digital Consumer” alias menjalin hubungan dengan konsumen di era digital. Dalam pengantar undangan dikatakan, benturan revolusi digital dengan surat kabar konvesional –media massa cetak-- merupakan sebuah tantangan baru.
Fenomena itu sekaligus memberi kemungkin dan peluang-peluang baru, terutama dalam menjalin hubungan dengan konsumen media. Terjadi perubahan yang sangat dramatis pada tahun lalu akibat munculnya web 2.0. Para konsumen yang semula hanya sebagai pengguna pasif internet, tumbuh menjadi pengisi konten sesuai keinginan mereka.
Panita konferensi menggunakan kalimat menarik untuk mengajak para penerbit dan editor menghadirinya. “Jangan sia-siakan kesempatan untuk memahami tren-tren terkini di dunia online, dan saling bertukar pandangan dengan para pengusaha di seluruh dunia,” begitu kalimat penutup dalam undangan itu, disertai kalimat tambahan, “Kami menunggu Anda datang ke Dublin.”
Pembicara utama konferensi, Prof Dr Jo Groebel, Direktur German Digital Institute, akan memberi materi mengenai pelaku baru pengguna informasi, dan konsekuensi bagi penyedia informasi, yang menarik perhatian industri media. Kisi-kisi dari materi itu antara lain apa yang dicari konsumen web 2.0, dan apa pengaruh terhadap media konvensional .
Pembicara lain adalah para pengelola website dan portal yang pada intinya akan membahas pengembangan komunitas di era digital baik dari segi konten maupun penggarapan iklan.
Semua tema menarik. Saya sendiri pernah mengikuti konferensi yang digelar IFRA di Manila, Filipina, yang membahas mengenai multimedia, maret 2007. Semua pembicara mengungkapkan perlunya para penerbit mengintegrasikan media cetak dengan media online, dan video streaming melalui sebuah portal.
Langkah itu perlu dilakukan ya karena terjadi revolusi informasi menuju era digital. Media cetak tak mampu lagi memberikan informasi real time dan live kepada konsumen. Tak pelak, kalau para penerbit mati langkah, besar kemungkinan akan menjadi bagian dari sejarah masa lalu.
Membalik pola pikir
Rupanya Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang CEO-nya menjadi pengurus di IFRA cukup tanggap pada fenomena baru itu. Pada awal September, saya dan para pemimpin redaksi di daerah-daerah diundang untuk menghadiri rapat koordinasi pembentukan Megaportal Kompas.
Portal yang akan diberi nama Kompas.Com tersebut ya mirip dengan para provider (penyedia) jasa layanan informasi yang lain seperti yahoo, google, MSN, dll. Memang sebuah kerja berat, karena harus mengubah pola pikir dan kebiasaan kru media cetak, terutama para reporter hingga editor.
Informasi tidak bisa lagi ditunda hingga esok untuk sampai kepada konsumen. Up-dating berita terus menerus merupakan sebuah keniscayaan. Selain itu harus memberi ruang kepada masyarakat untuk dapat menyampaikan informasi secara langsung melalui media digital. Informasi yang diberikan masyarakat itu dikenal dengan istilah citizen journalism.
Pembuat informasi dan berita bukan lagi monopoli reporter reguler. Kebutuhan masyarakat menyampaikan opini. Di era digital, pendapat, gagasan, dan isi pikirannya tidak bisa lagi dibelenggu oleh para editor. Tak ada pilihan lain kecuali mewadahi komunitas digital itu, agar para penerbit dan produk media massa tidak menjadi bagian dari masa lalu. (febby mahendra)
Selasa, 25 September 2007
SAHUR BARENG ANAK YATIM
Perkelaminan
SABTU (5/8/2006) malam, kantor Redaksi Tribun Jabar kedatangan tamu. Seorang pria berambut panjang dan berkacamata. Selintas tak ada yang istimewa dari laki-laki berusia 28 tahun tersebut. Namanya Moammar Emka. Begitu memperkenalkan diri, langsung terbayang buku best seller Jakarta Undercover I, yang kontroversial itu. Buku itu mengupas kehidupan seks di luar nikah yang dilakukan kalangan papan atas di metropolitan.
Emka ke Bandung untuk ‘memasarkan’ buku terbarunya, In The Bed with Models. Seperti Jakarta Under Cover I, isi In The Bed with Models tak jauh dari urusan seks. Lebih spesifik lagi, seks di kalangan para model, mulai dari yang berklas supermodel hingga model jdi-jadian. Menurut sang penulis, para model yang menjadi narasumbernya melakukan ‘job sampingan’ sebagai pemuas seks para pria berduit .
Terasa gayeng berdialog dengan Emka selama dua jam. Selama kami bicara di ruang rapat, beberapa kali ia terima SMS dan telepon. “Ini, Mas, ada undangan party di Bandung. Mau Ikut? Saya jadi penasaran, apakah party di Bandung seheboh di Jakarta,” ujarnya. Tak lama kemudian pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, itu mendapat telepon. “Dari seorang eksekutif Bank BNI. Ia mengajak saya party. Jangan ditulis lho, Mas.” Katanya sambil tertawa lepas.
Penasaran membaca buku-buku Emka, saya tak melepas kesempatan itu untuk mengajukan barbagai pertanyaan ala presenter CNN Oprah Winfrey di Oprah Show yang sangat kondang itu. “Apa sampeyan mengalami sendiri peristiwa yang bikin bulu kaki merinding? Artinya apa sampeyan ikut di dalamnya,” tanya saya menggebu-gebu sambil membayangkan sex party yang ada dalam buku Jakarta Undercover I. “Lha iya tho Mas. Pekerjaan saya memang bergelut di dunia begituan. Isi buku saya itu sebenarnya menelanjangi saya sendiri, soalnya saya menjadi bagian dari mereka,” ujar alumnus Syarief Hidayatullah, IAIN Ciputat, Jakarta itu.
Wahhh…seru ya kalau bisa ikut dalam pesta begituan. Emka mengaku sudah qatam dengan semua tempat hiburan malam di Jakarta, termasuk lokasi-lokasi yang biasa dipakai untuk melakukan fantasi seksual. “Semua lokasi seperti itu di Jakarta punya empat orang saja. Konsepnya mengambil dari Thailand, Hongkong, dan Las Vegas. Kalau urusan begituan, Bandung kalah jauh dengan Jakarta Mas. Dengan Surabaya aja kalah kok,” kta Emka.
Buku-buku Emka laris bak kacang goreng, bahkan Jakarta Undercover I sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh sebuah penerbit di Singapura, untuk pasar Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Dalam waktu dekat ia berencana meluncurkan Jakarta Undercover II dan Jakarta Senang-senang. Dalam buku Jakarta Senang-senang, Emka menampilkan alamat dan nomor kontak semua tempat hibuaran malam di Jakarta, ya semacam guide book. “Tapi saya tidak bermaksud mengajari orang untuk bermaksiat lho. Nama dan alamat tempat hiburan itu mau dipakai untuk apa, ya terserah yang membaca,” katanya enteng.
Iseng saya tanya, apa saja yang telah diperolehnya dari hasil menulis buku-buku tersebut. “Saya punya 30 ekor sapi, Mas. Serius ini! Sapi-sapi itu ada di kampung, Tuban, Jawa Timur. Selain itu bisa beli rumah yang layak dan mobil. Tak kalah penting saya juga punya modal untuk membiayai penulisan buku-buku selanjutnya. Hidup di dunia gaul itu mahal lho Mas,” terangnya.
Ada yang menarik di tengah obrolan dengan pria yang masih melajang itu. Sebelum diluncurkan ke pasar, isi, cara penyajian, hingga judul setiap bab dan cover memalui proses diskusi. Diskusi pertama dilakukan sebuah panel yang terdiri dari para pelajar SMA, mahasiswa, dan orang-orang yang akrab dengan dugem. Hasilnya dipertajam lagi di panel kedua beranggotakan kru dari penerbit dan orang lingkar dalam sekitar Emka. “Diskusinya seru… Ya itu dimaksudkan agar buku tersebut dapat diterima pasar,” katanya serius.
Ahhhh… ternyata buku semacam itu harus melalui proses quality control juga ya. Apalagi sebuah surat kabar harian yang konon merupakan karya intelektual di bidang jurnalistik. Perlu pendapat ‘orang luar’ untuk menilai sebuah karya. Tak perlu malu. Apalagi surat kabar kini bukan sekadar media informasi saja tetapi sudah menjadi entitas bisnis.Naif rasanya kalau terlalu pede (percaya diri) kepada quality control yang dilakukan intern sebuah surat kabar. Dalam situasi dilingkungi rutinitas, tak mustahil kepekaan kalangan internal menjadi tumpul.
Rupanya, Emka dan timnya sangat memahami teori kebutuhan ala Abraham Maslow. Menurut pakar sosiologi ekonomi tersebut, seks dengan segala fantasinya merupakan bagian terpenting dari kehidupan dasar manusia. Seks tidak dibatasi dimensi ruang, tempat, dan waktu. Seks mampu menembus dimensi. Pakar psikologi analisa, Sigmund Freud, bahkan menyebut seluruh aktivitas manusia digerakkan oleh apa yang disebut nafsu seks.
Tak heran kalau kemudian majalah pria dewasa yang mengadopsi induknya di Amerika Serikat (AS), Playboy Indonesia, menjadi pembicaraan hangat. Pokoknya seru abiss deh!!! Dicaci sekaligus bikin penasaran sehingga selalu ditunggu kehadirannya. Petinggi negara setingkat Wakil Presiden Jusuf Kalla, sampai ikut membverikan komentar terhadap kehadiran Play Boy Indonesia. Ya boleh dibilang seorang Wapres ikut nimbrung bicara terkait seks.
Saya kemudian berpikir, bagaimana ya caranya menampilkan berita dengan topik seks dan seksualitas di media cetak harian tapi tidak vulgar, tidak memancing kontroversi, dan kontraproduktif. Barangkali saya harus bergaul lebih akrab dan lebih dalam dengan orang semacam Moammar Emka. Dengan begitu saya sekaligus berkesempatan melihat dengan mata kepala sendiri dan merasakan bagaimana mendebarkannya berada di tengah perempuan cantik yang bergaya bak manusia purba, tanpa busana. Huahahahahahahaha… Tapi saya kan punya istri yang setia menunggu di rumah dan empat gadis kecil hasil perkawinan kami. Ahhh bingung euy!!!! (febby mahendra/medio Agustus 2006)
Senin, 24 September 2007
Minggu, 23 September 2007
Political show ala SBY
ANTIKLIMAKS perseteruan antara Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution dan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan terjadi di Kantor Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Sabtu (22/9). SBY bersama Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assihiddiqie menjadi mediator islah (perdamaian), dengan hasil BPK bisa mengaudit pengelolaan dana yang berasal dari biaya perkara setelah adanya peraturan pemerintah (PP) sebagai dasar hukum.
PUNCAK perseteruan dua pejabat lembaga tinggi negara itu terjadi ketika Anwar Nasution melaporkan Bagir Manan ke Mabes Polri 13 September lalu. Tuduhannya tidak main-main, yaitu Bagir menghalang-halangi tugas BPK mengaudit keuangan lembaga negara berdasarkan Undang- undang (UU) No 15 Thn 2004 tentang Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.Sebelum terjadi islah Bagir bersikeras biaya perkara bukan merupakan objek pemeriksaan BPK karena tidak termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
MA mendasarkan diri pada UU No 20 thn 2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dalam pasal 2 tidak menyebut biaya perkara sebagai PNBP karena hanya bersifat titipan.Penyelesaian silang sengkarut melalui mediasi oleh Presiden dan Ketua Mahkamah Konstitusi menimbulkan pro dan kontra. Pihak yng mendukung menyebut, penyelesaian out of court ( di luar lembaga peradilan) tersebut merupakan langkah elegan, cepat, dan lebih efektif daripada penyelesaian melalui pengadilan.
Hanya dengan serangkaian pembicaraan selama beberapa hari dan berpuncak dengan pertemuan empat pihak di Kantor Presiden, dihasilkan penyelesaian win-win solution. Tak perlu bertele-tele melewati proses penyidikan di Mabes Polri hingga persidangan pidana di pengadilan atau pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi.Pihak yang kontra menyebut langkah Presiden merupakan intervensi dan mencedarai proses law enforcement (pengakan hukum).
Langkah politis tersebut dinilai tidak mendidik. Muncul kesan solusi yang dihasilkan merupakan hasil kompromi sehingga akan menjadi preseden buruk di kemudian hari.Munculnya pro dan kontra merupakan sebuah kewajaran di alam demokrasi. Kelompok pro dan kontra mempunyai logikan sendiri yang kalau dicermati dapat diambil hikmah terpentingnya.
Pepatah tua dari Tiongkok menyatakan, kalau ingin mendinginkan air panas di tungku, lebih tepat mengambil kayu bakar yang menyala di bawahnya.Makna dari pepatah itu, kalau ingin menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien, cari akar persoalan. Dari kasus silang pendapat antara BPK dan MA tersebut dapat diketahui adanya ketidak selarasan antara dua UU.
Sebuah fenomena yang sering terjadi di negeri ini sehingga memicu terjadinya konflik.Muncul pertanyaan, apakah kontradiksi antara satu UU dengan UU lainnya dapat diselesaikan melalui penerbitan sebagai Peraturan Pemerintah? Bukankah secara hirarkis Peraturan pemerintah punya derajd lebih rendah daripada UU? Secara formal yuridis jawabanya yang muncul dari dua pertanyaan itu adalah Peraturan Pemerintah tidak bisa meniadakan sebuah ketentuan UU karena derajadnya lebih rendah.
Dari sudut pandang prosedural, yang punya kewenangan menyelesaikan kontradiksi antar-UU adalah Mahkamah Konstitusi.Selain itu, bisa juga dilakukan penyelesaian melalui amandemen (perubahan) UU yang dilakukan DPR agar terjadi sinkronisasi alias keselarasan. Tak heran kalau kemudian muncul anggapan bahwa solusi konflik BPK dan MA yang dilakukan di Kantor Presiden bersifat kompromistis dan bisa menjadi bom waktu.Oleh karena itu, alangkah lebih bijaksana kalau solusi kompromi tersebut ditindaklanjuti dengan penyempurnaan UU. Rasanya lebih elegan dan dapat menyelesaikan akar persoalan tanpa ada pihak yang merasa dikorbankan. (febby mahendra)