Selasa, 18 Desember 2007

BUKAN!!!!


BUKAN. Itu kata yang terbersit di pikiran ketika hendak memulai tulisan ini. Heran juga mengapa kata itu yang muncul. Kata 'bukan' tentu berbeda makna dengan 'tidak'. Bukan sering diikuti kata benda, sedang kata 'tidak' dirangkai dengan kata kerja. Semisal kalimat: Saya bukan pencuri. Kalau menggunakan kata 'tidak' berubah menjadi: Saya tidak mencuri.
Mungkin alam bawah sadar saya tengah mengolah sebuah bentuk perlawanan. Kata 'bukan' memang bisa bermakna melawan atau menggugat. "Bukan ini keinginan saya." Apa arti kalimat itu? Sang pembicara ingin melawan sesuatu yang tidak ia inginkan.

Apa sih yang sebernanya saat ini ingin saya lawan? Bingung juga menjawabnya. Pikiran melayang ke peristiwa yang terjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu, Nusakambangan, Cilacap, Sabtu (8/12/2007) lalu. Terpidana mati kasus bom Bali I Imam Samudra mendadak mengamuk ketika ada seorang wartawan Australia mengambil gambar ibunya, Ny Embay Badriah.
Sang ibu bersama keluarga besar Imam Samudra tengah berkunjung ke Nusakambangan. Saling melepas rindu. kebahagiaan langka Imam Samudra terusik oleh langkah standar (dalam dunia jurnalistik) sang reporter asing. "Saya tak suka ibu dan keluarga saya yang perempuan diambil gambarnya," ujar Imam.
Pria asal serang itu melawan. Melawan standar jurnalistik. Sah saja, toh Imam Samudra dan keluaganya punya hak untuk melindungi privacy-nya. Bagi Imam, ibu dan keluarganya yang perempuan bukan objek pengambilan gambar untuk pemberitaan.
Abdul Azis, nama asli Imam Samudra, mengaku melakukan teror bom di Bali untuk melawan 'setan besar' . "Mereka (sang musuh) bukan kita," begitu kira-kira jalan pikiran Imam Samudra Cs. Mantan mujahid di Afghanistan itu merasa gerah melihat kondisi sekelilingnya. Bukan kayak begini kehidupan yang benar menurut keyakinan Imam Samudra.
Bisa jadi saya tengah punya perasaan seperti Imam. Lagi gerah melihat kondisi sekeliling. Kalau tak pandai mengelola, bisa berubah jadi 'teroris'. bagi orang lain. Teroris menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mengubah situasi. Blarrrrr!!! Bom itu meledak. Semua hancur lebur... Sayang tak ada perubahan seperti yang diinginkan.

Panggilan Jiwa dan Sakit Jiwa



Gila!!! Sudah dua bulan blog ini tidak saya up-date. Otak lagi puyeng, kerjaan bejibun. Baru teringat ngisi blog ketika ngobrol santai dengan Hasan Aspahani, Pemimpin Redaksi Pos Metro Batam yang juga seorang penyair. "Saya baca blognya lho mas. Bagus juga," ujar Hasan dalam obrolan santai di Hotel Goodway, Batam, Selasa (18/12/2007). Di hotel itu tengah dihelat pelantikan pengurus Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Cabang Kepulauan Riau sekaligus lokakarya mengenai manejemen pers. Kebetulan awak 'dipajang' jadi Wakil Ketua SPS Cabang Kepulaun Riau.
CEPLAS-ceplos memang gaya khas Dahlan Iskan, bos Jawa Pos Grup. Kalau bicara seolah tak ada beban. "Saya tak punya misi apa-apa. Saya menulis buku ini hanya kegatalan tangan seorang wartawan," ujar pria kelahiran Magetan, Jawa Timur, itu ketika tampil dalam bedah buku Ganti Hati, di Hotel Goodway, Batam, Selasa (18/12).
Baginya, menulis merupakan sebuah kredo yang tak bisa ditawar. Boleh dikata, kalau tak lagi mau menulis, sudah bukan wartawan namanya. Meminjam term di militer, soldier never die, boleh jadi wartawan juga bisa menggunakan istilah journalist never die.
Kalimat itu bisa bermakna ganda. Bisa ditafsirkan seorang wartawan tidak pernah bisa berhenti menulis sampai ajal menjemput. Bisa juga bermakna profesi wartawan akan selalu ada, now and forever. Apa yang membuatnya tak bisa behenti? Panggilan jiwa. Konon jiwa berbeda dengan ruh. Jiwa bisa sakit, buktinya ada istilah sakit jiwa. Jiwa bisa pula lepas dari badan wadag. Buktinya ada kalimat di koran berbunyi, "Bom Bali I Membawa 202 Korban Jiwa."
Jiwa memberi makna bagi manusia. Kalau hanya punya raga dan ruh tetapi jiwanya sakit, tidak sempurnalah hidupnya. Otak-atik gathuk, profesi wartawan baru punya makna ketika sang empunya sebutan menghasilkan karya berupa tulisan. Tapi saya tak menyebut wartawan yang tak lagi mau menulis sebagai orang sakit jiwa. Lebih tepatnya ganti profesi.
Pengalaman Dahlan Iskan menjalani operasi transplantasi lever (hati) di Tianjin, Cina, tak bermakna apa-apa kalau tak dipublikasikan kepada khalayak. Mungkin tak jadi 'heboh' kalau saja Dahlan bukan lah siapa-siapa. Kebetulan ia seorang wartawan dan bos sebuah perusahaan media. Ada panggilan jiwa plus punya sarana. Klop jadinya.
Bos Kelompok Kompas Gramedia, Jakob Oetama, juga banyak meluncurkan buku. Tentu tentang pers dan media. PK Ojong, pendiri Kompas, begitu pula. Tak heran Ketua PWI Kepri yang juga Pemimpin Umum Batam Pos, Socrates, pernah bercuap-cuap di acara buka puasa PWI Kepri mengenai tulis menulis buku. "Baru disebut wartawan senior kalau sudah menulis buku. Kalau tidak, ia hanya seorang wartawan tua," kira-kira begitu kalimat yang dilontarkan Socrates.
Ia tengah ancang-ancang meluncurkan dua buku mengenai pers/jurnalistik. "Saya mengumpulkan bahan buku itu selama 10 tahun," katanya. Waktu yang cukup panjang. late more better than nothing. Soal jadi best seller atau tidak, rasanya tidak terlalu penting.
Hasan Aspahani juga telah meluncurkan sebuah buku mengenai kiat membuat puisi. "Ini lho mas buku saya," ujarnya sambil menunjukkan buku ukuran handy bersampul putih. Mungkin kawan-kawan saya itu tak ingin disebut kehilangan jiwa wartawan. Lho, lha saya sendiri gimana? Yang jelas belum sakit jiwa... Ngaco ah, wuakakakakakakakakakaka!!!!!

Keterangan foto:

DILANTIK - Ketua harian SPS Ridlo Eisy menyerahkan pataka kepada Marganas Nainggolan, Ketua SPS Cabang Kepulauan Riau, dalam acara pelantikan di Hotel Goodway, Batam, Selasa (18/12). FOTO: IMAN SURYANTO